SEPENGERTIAN DALAM PERBEDAAN AGAMA-AGAMA (2)

SEPENGERTIAN DALAM PERBEDAAN AGAMA-AGAMA (2)

Sumber Foto: Pictaram

Pokok-Pokok Pemikiran Etik Global

Oleh : DEVIDA*

Dalam kata pengantar buku ini, Dr. Th. Sumartana menguraikan posisi asumsi agama-agama di Dunia sudah mengalami pergeseran. Dunia telah menjadi satu, menjadi dunia yang polisentris, multi-kultur dan multi-religius. Dalam konteks dunia semacam ini maka satu-satunya jalan bagi hubungan antar agama adalah “persaudaraan antaragama”.

Semangat nilai atas pandangan terhadap kamanusian yang tidak bisa lepas dari Teks kitab suci masing-masing agama, ini mencerminkan secara utuh sebenarnya agama untuk manusia. Sehingga hal-hal tentang keberlangsungan hidup manusia seyogyanya menjadi catatan terpenting dari inti ajaran agama tersebut. Namun, kenyataan pahit bahwa agama justru bisa menjadi alat pembunuh melebihi senjata mutakhir. Dari realitas tersebut ada yang mengasumsikan bahwa agama adalah penyebab penderitaan atas manusia dimuka bumi ini atas kejahatan perang “atas nama Agama”.

Tiga pandangan esensial:

  1. Tak terhindarkan lagi-dengan melihat situasi dunia saat ini-perlu untuk menjelaskan perbedaan antara level etika dan level yang semata-mata hukum atau politik, dan disaat yang sama memberikan defenisi yang tepat mengenai terma ‘etik global’ (bagian I).
  2. Tuntutan etik yang fundemental bagi semua laki-laki dan perempuan dan semua masyarakat manusia atau institusi-institusi, seharusnya menjadi perinsif dasar, yang sejak awalnya ditemukan dalam setiap tradisi agama besar atau tradisi etik: ‘semua manusia harus diperlakukan secara manusiawi.’ Juga ada ‘Kaidah Kencana’ (Golden Rule), yang juga sama-sama dapat ditemukan dalam semua tradisi –tradisi besar: ‘Jangan lakukan pada orang lain apa yang kamu tidak ingin terjadi pada dirimu!’ (bagian II).
  3. Tuntutan etik fundemental ini dapat dikonkritkan dalam empat ajaran yang bisa juga ditemukan dalam semua agama-agama besar: ‘Jangan membunuh, jangan berbohong, jangan melakukan pelangaran seksual’ (Bagian III).

Hubungan- hubungan komunikasi yang berlangsung dalam abad terakhir ini telah menyadarkan tumbuhnya hubungan saling ketergantungan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Sehingga perlu disusun sebuah Etik yang melandasi posisi sejarah yang baru ini bagi kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.

Dalam hubungan ini, secara positif, pertama-tama etik global mengandung nilai-nilai yang mengikat, yaitu kriteria yang tidak bisa dibatalkan begitu saja, serta sikap dasar yang mendalam. Kedua, etik global harus mampu membawa konsensus antar agama. Ketiga, etik global Harus bersifat kritis terhadap diri sendiri. Keempat, etik global harus mempunyai pijakan kuat pada kenyataan demi kenyataan. Kelima, etik global harus dipahami secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong dan gampang dimerngerti. Keenam, etik global harus memiliki dasar keagamaan yang kuat.

Sebagai refleksi sebaiknya kita menyimak kembali dari ajaran kemanusiaan. Dalam buku ini diistilahkan sebagai Kaidah kencana.

  • Confusius (abad 551-486 SM): ‘ Apa yang kamu sendiri tidak inginkan, jangan kau lakukan pada orang lain’ (Peribahasa 15.23).
  • Rabbi Hillel (60 SM sampai 10 M): ‘Jangan lakukan pada orang lain apa yang kamu tidak ingin mereka lakukan padamu’ (Shabat 31a).
  • Yesus dari Nazareth: ‘Apa yang kamu inginkan dari orang lain untuk lakukan padamu , lakukan juga mereka’ (Mat. 7.2; Luk. 6.31).
  • Islam: ‘Tak seorang pun di antara kamu yang beriman sepanjang tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri’ (Empat Puluh Hadist Nawawi, 13).
  • Jainisme: ‘Manusia seharusnya acuh terhadap benda-benda duniawi dan memperlakukan semua ciptaan di dunia sebagaimana mereka sendiri ingin diperlakukan’ (Sutrakritanga I, 11, 33).
  • Budhisme: ‘keadaan yang tidak menyenagkan ataupun menyenagkan bagiku akan juga demikian bagi dia; dan bagaimana saya bisa membebani pada orang lain dengan keadaan yang tidak menyenagkan bagi saya?’ (Samyutta Nikaya V, 353.35-342.2).
  • Hinduisme: ‘siapapun tak boleh memperlakukan orang lain dalam cara yang tidak menyenagkan bagi mereka sendiri; demikian esensi moralitas’ (Mahabarata XIII 114,8).
Relevensi Etik Global di Indonesia

Pertanyaan awal yang bisa dikemukakan adalah, seberapa jauh pemikiran atau wacana tentang etik global ini relevan untuk konteks kehidupan dan hubungan antara agama-agama di Indonesia?. Pertanyaan ini yang sering muncul dalam wacana nation bulding. Tidak bisa dipungkiri etik global merupakan cara berfikir komunal, bagaimana etik ini bisa bersingungan dengan agama apapun.

Semakin hari orang beragama semakin sadar bahwa persoaalan Nasional tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri, apalagai itu berkaitan dengan Isu SARA. Etik dimasing-masing agama memang sudah lama ada semisal, ada Etik Yahudi, Etik Kristen, Etik Islam, etik Hindu, etik Budha, dan etik Kepercayaan. Namun itu belum cukup untuk menyelesaikan kekerasan SARA, misalnya konfik Ambon. Dua agama saling berseteru antara Kristen dan Islam. Walaupun diakui atau tidak sebenarnya itu bukan konflik agama.

Bagaimana itu kita sikapi?, dengan formula SARA konflik Ambon bisa diselesaikan. Jika diluar Ambon ada dialog atau hubungan harmonis antara Islam – Kristen. Maka orang Ambon bisa melihat itu dengan sudut pandang yang berbeda yaitu kekuatan Kebangsaan. Sumbangsih besar etik global adalah untuk mendudukan persoalan konflik kebangsaan dalam bingkai perdamaian antar agama-agama.



*Penulis adalah Dewan Penasehat Pelita Perdamaian, Dosen Studi Lapangan Perbandingan Agama Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, dan  Alumni Youth Interfaith Camp (YIC) 2013.

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.