Wayang dan Moralitas Kekuasaan; Catatan Kecil Pemilu Legislatif 2014

Wayang dan Moralitas Kekuasaan; Catatan Kecil Pemilu Legislatif 2014
(ilustrasi : internet)

 

Oleh : Abdurrahman Wahid*

 

Kesenian wayang berperan besar dalam proses tranformasi kultural dan sosial peradaban Nusantara. Dengannya, cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana –yang berempukan kebudayaan dari Tanah India- diakulturasikan melalui lakon-lakon wayang yang bernafaskan ajaran keluwesan Islam. Sehingga, masyarakat yang kala itu mayoritas masih beragama Hindu-Budha, perlahan-pasti beralih kepercayaan. Islam dapat diterima, bahkan menjadi kepercayaan kolektif sampai hari ini. adalah walisanga-lah yang memakai instrumen kebudayaan dan kearifan lokal, seperti gamelan dan wayang untuk media dakwahnya. Dari sinilah, keniscayaan memahami atau paling tidak, mengerti bahwa masuknya Islam di Nusantara semata-semata atas proses tawar antara kearifan lokal dan seni tradisi yang ada di daerah-daerah.

Sebagaimana pembelahan stratifikasi-stratifikasi sosial yang melekat pada kerajaan kuno dulu, yakni dalam tradisi Hindu, ajaran Islam pertama kali dibawakan oleh mereka yang pada umumnya pedagang dari tanah Ghujarat, Arab dan Cina. Maka dari itu, posisi stratifikasi sosialnya berada pada tingkat yang paling bawah, golongan Sudra. Orang akan memandang, bahwa apa gunanya masuknya Islam, karena mereka umumnya masuk pada tingkatan Sudra. Bahwa kemudian Walisanga memakai metode wayang, agar dapat merangkul mereka yang berada pada poros tingkatan Brahma (kaum elite).

Tentu saja, potret akan keberlanjutan kesenian wayang dewasa ini, cukup memprihatinkan. Padahal, jika ditelisik melaluli analisis sejarah, kehadiran wayang di tengah-tengah pergulatan kebudayaan Nusantara, tidak saja berjasa dalam media dakwah. Ia berfungi ganda, di satu sisi, secara hierarkis relasi masyarakat dengan Negara, yakni sebagai instrumen dalam mengoreksi jalannya pemernitahan, media dalam pengaplikasian antara wacana dan moralitas kekuasaan. Di sisi lain, berfungsi dalam merekatkan kohesi antar masyarakat, perwujudan nilai etis dan estetis dalam kebudayaan. Idealnya, kesenian wayang merupakan cermin tolak ukur atau ‘tiang penyanggah’ keberlangsungan pemerintahan yang demokratis dan kesejahteraan masyarakat.

Di tahun 60-an, kebudayaan Cirebon melahirkan -seorang pegiat kesenian wayang atau disebut juga Dalang- yakni Dalang Ki Abyor. Beliau adalah anak Dalang Cita. Kedua-duanya dalang yang revolusioner, kalau tidak disebut populer di masanya. Pembawaan dalam setiap lakonnya, senantiasa sangat mengesankan, menghibur, menyenangkan, dan juga mampu mengkritik jantung kekuasaan pemerintahan. Suatu ketika, Ki Abyor, membawakan lakon ‘Semar Naik Haji’. Semar adalah Lurah Kudapawana dan Punakawan Pandawa yang setia. Secara tersirat, ia hendak merobohkan kesalehan orang Islam yang bersifat artifisial atau dibuat-buat, dipoles dengan sedemikian rupa agar memperoleh nilai sosial tinggi di masyarakat. Dalam masyarakat kala itu, orang-orang berduyun-duyun berangkat Haji. Tapi rukun Islamnya yang sebelumnya belum terpenuhi. Tentu saja, kritik tajam dalam lakon-lakonnya, tidak berhenti sampai di situ. Dalam konteks pemerintahan, ia memakai plotting tempat di Negara Astina. Terang saja, ia menyinggung tentang kelakuan pejabat Negara Astina yang hobinya meminta upeti dan memeras pedang kecil: Polisi. Saat pagi hari, sehabis pentas itu, Ki Abyor dihajar habis-habisan oleh polisi, yang kebetulan menyaksikan pertujukan pada malam itu.

Efektifkah wayang memainkan peranan yang sama lagi, seperti saat dulu, utamanya mengoreksi pesta demokrasi 2014 saat ini?

Peranan seorang dalang dalam kesenian wayang terhadap koreksi jalannya pemerintahan adalah sebagai pengumpul pendapat (post setter). Di mana pola-pola dalam lakonnya dilakukan secara kultural dan se-unik mungkin. Tentu saja, berhubungan dengan aksentuasi dan situasi politik saat ini: pragmatis dan pencitraan politik. Misalnya, salah satu lakon ‘Kunthi Pilih dan Dewa Amral’. Di dalamya menproyeksikan bagaimana peralihan kekuasaan terjadi, pergulatan antar kubu partai-partai yang saling berlawanan dan saling menjatuhkan, terlebih lagi degradasi moralitas dalam perebutan tampuk kekuasaan.

Sejalan dengan itu, sungguhpun dengan demikian, kita bisa membuka tabir wajah kekuasaan politik saat ini. alih-alih 30%  kehadiran calon legislatif perempuan hendak menampilkan wajah keadilan demokrasi, namun senyatanya hal tersebut hanya sebagai instrumen pencitraan dalam bentuk lain, sebatas kepentingan agar partai politik tertentu diakui oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan tampilan yang begitu mempesona, wajah caleg perempuan dipasang di bahu jalan, pohon-pohon, sayangnya tanpa diserta visi dan misi yang jelas. Di lain pihak, kehadiran generasi muda kita yang ikut gemuruh mencalonkan dirinya sebagai wakil rakyat. Tentu tidak ada yang salah. Namun pertanyaannya kemudian: sebarapa jauh mereka bergulat dalam mengetahui dan mengarungi kondisi sosial dan kemasyarakatan di daerah? Kehadiran caleg perempuan dan caleg muda tentu dengan sendirinya mempertahankan status-quo elite politisi yang sedang berkuasa. Bukankah hanya dalang yang menentukan jalannya lakon wayang?

Tentu saja, yang paling segar adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang baru-baru ini memfatwakan bahwasnya Golput itu haram. Apakah memang benar demikian? Adakah hak privilege seorang warga Negara mesti dicampuri. Jika ingin masyarakat ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi, tentu caranya melalui kultur yang membangun pula. Bahwa kemudian, pengalaman masyarakat sejak era reformasi membuka pengetahuan lebih cerdas dalam memilih dan memilah calon pemimpin mereka. dalam hal ini, misalnya, kenapa MUI tidak memfatwakan haramnya money politik atau kampanye partai politik yang menyalahi aturan? Atau raja dangdut yang hendak menjadi capres tapi tak tahu-menahu soal sistem pemerintahan kita?

Walhasil, peranan wayang sebagai alat koreksi terhadap moralitas kekuasaan sejatinya hendak memproyeksikan bagaimana suatu keadaan berlangsung dan akan bermuara seperti apa. Setali tiga uang. Kehadiran lakon Pandawa dan Kurawa, misalnya, hanya bersifat dinamis. Semuanya bisa berbalik, tergantung siapa yang memegang alat kendali (dalang). Selanjutnya, lakon-lakon itu hanya mencerminkan sebuah keadaan di mana kita hari ini mengalami apa yang disebut ‘Ronggowarsito” sebagai ‘keretakan moralitas’ dan ‘kebutaan sejarah’

Abdurrahman Wahid adalah Ketua Departemen Riset dan Kajian Ilmiah PELITA

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.