
sumber foto : ketahui.com
Oleh : M. Hamdan*
Editor : Dias Alauddin
Pelita Perdamaian, akhir-akhir ini simbol menjadi lebih penting untuk sebagian orang. Misalnya pada ranah agama, ada saja orang beranggapan bahwa Islam adalah Arab, pun sebaliknya Arab adalah Islam. Maka, apa-apa saja yang tidak berbau Arab berarti bukan ajaran Islam. Semua hanya dilihat dari permukaannya, tanpa menyelami esensinya.
Dalam teori bahasa, apa yang dinamakan teks tidak lebih dari himpunan huruf yang membentuk kata atau kalimat yang dirangkai dengan sistem tanda yang telah disepakati oleh masyarakat, sehingga sebuah teks ketika dibaca, bisa mengungkapkan kata yang dikandungnya.
Al-qur’an dengan bahasa sastra yang indah, tentu tidak mudah untuk diketahui apa maksudnya. Maka untuk memahami ayat Tuhan itu, diperlukan keilmuan yang tinggi, dari mulai ilmu tata bahasa Arab (nahwu-shorof), ilmu tafsir, logika (mantiq), sastra (balaghah), dan ilmu lainnya. Buku-buku terjemahan yang beredar di pasaran, tidak selayaknya diterima begitu saja, harus ada telaah lebih dalam. Jangan sampai terjebak hanya kepada teks-teks belaka.
Di antara kita juga masih ada yang anti barat, karena bukan Arab. Anti terhadap istilah-istilah asing yang datangnya dari barat, seperti istilah gender, toleransi dan pluralisme. Bahkan tradisi tanah kelahirannya sendiri disalahkan, karena tidak ada dalam ayat suci. Padahal Nabi sendiri mengajarkan untuk mencintai tanah air. Lebih dari itu, kita harus menyadari bahwa banyak ajaran yang tidak ke-Arab-an tapi mengandung pesan-pesan ajaran Islam, salah satu contohnya adalah toleransi.
Toleransi itu bernama Tasamuh
Toleransi adalah kata serapan dari Bahasa Inggris “tolerance”, makna toleransi sendiri adalah suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok atau antar individu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Sikap toleransi menghindarkan terjadinya diskriminasi sekalipun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu kelompok masyarakat. Jika ditelisik, ada kata dalam bahasa Arab yang memiliki kemiripan makna, yaitu tasamuh.
Istilah “tasamuh” oleh para cendikiawan muslim dipakai untuk mengungkapkan satu sikap dimana seorang muslim tidak merasa terbebani dengan keadaan keberagamaan orang lain atau orang lain yang berbeda agama, tidak fanatik (berlebihan).
Sebagai warga negara Indonesia dengan keragaman agama di dalamnya, maka nilai toleransi/tasamuh harus benar-benar kita amalkan dalam kehidupan sehari. Terlebih lagi ada dasar hukum yang menjamin, yaitu Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Menanamkan Sikap Toleran
Sikap toleransi perlu ditanamkan untuk menghindari terjadinya konflik yang diakibatkan perbedaan. Diperlukan pemahaman kelimuan yang benar dalam menghargai keberagaman. Mengutip kata bijak Cendikiawan Gus Dur: “semakin tinggi ilmu seseorang semakin besar rasa toleransinya“. Orang yang banyak tahu akan berupaya menyikapi satu fenomena dari berbagai sudut pandang sehingga tidak gampang menghakimi, dan lebih bijak.
Menyikapi perbedaan, berpijak pada landasan budi pekerti mulia, lapang dada, serta komunikasi atau dialog yang baik. Dari sini Islam sudah meletakkan pedoman kokoh, dasar kuat serta kolaborasi seirama antara kewajiban muslim agar saling ayom dan asih dengan sesamanya. Juga elok dalam bergaul ketika dihadapkan pada kondisi di mana mereka berinteraksi dengan yang berbeda agama/paham. Meski bergaul dengan yang berbeda keyakinan, itu tidak otomatis akan mengubah keyakinan kita.
Konsep tasamuh yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, apabila berkaitan dengan keyakinan internal (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak boleh disamakan dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam pun melarang penganutnya mencela tuhan dari agama manapun.
Melihat pemaparan diatas, sudah seharusnya kita tidak terjebak oleh simbol. Mari kita beragama dengan menyelami esensi dari ajaran-ajaranya, tanpa fanatik dan terjebak kepada teks. Meski istilah toleransi berasal dari barat, bukan berarti ia tidak boleh dipakai oleh umat Islam. Sekali lagi, kita jangan terjebak hanya pada kata dan bahasa. Islam sendiri juga mengajarkan untuk saling menghormati dan menghargai, istilah itu disebut dengan Tasamuh.
*Penulis adalah Pengurus Departemen Riset dan Kajian Pelita Perdamaian 2018-2020 dan Mahasiswa Filsafat Agama (FA) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.
Comments Closed