Tantangan Demokrasi di Era Digital

Oleh: Zain Al Abid

Di era digital saat ini, peran media sebagai elemen demokrasi tidak lagi sekadar sebagai anjing penjaga (watchdog) atas berjalannya fungsi-fungsi pemerintah­an. (Aliansi Jurnalis Indepeneden)

Peradaban kita hari ini berada pada masa tran­sisi ketika Internet hadir dan mengoyak beragam tatanan kehidupan masyarakat, termasuk media, baik secara ju­rnalistik maupun bisnis. Kita tiba-tiba dihadapkan pada pertumbuhan pengguna Internet dan perkembangan konten yang demikian masif bahkan koenten bohong (hoax) seolah tak terbendung di era digital saat ini.

Euforia kebebasan berekspresi di dunia digital (Internet) dihadap­kan pada ketegangan antara hak asasi mengemukakan pendapat di satu pihak dan faktor keamanan serta krimi­nalisasi tuduhan pencemaran nama baik di pihak lain. Industri media sontak juga dihadapkan pada masalah transformasi digital. Pertumbuhan pengguna Internet berimplikasi pada penurunan pembaca media cetak dan bergesernya aras bisnis ke dunia maya.

Persoalan juga semakin kompleks ketika Internet membuka beragam kemungkinan konvergensi layanan informasi. Tentu saja ini menggembirakan karena publik mendapat kesempatan untuk mendapatkan beragam in­formasi secara lebih luas, beragam, dan murah. Namun, bagi media, perubahan ini menjadi tidak sederhana ke­tika Internet kemudian juga mereduksi kualitas konten dan menggoncang aspek bisnis industri.

Di seluruh dunia, Internet menimbulkan kegamangan bagi media. Peran watchdog tak lagi dimonopoli. Se­bab Internet juga membuka ruang bagi partisipasi publik untuk menyampaikan gagasan-gagasannya, bahkan mengontrol media. Internet juga telah ‘memaksa’ media tak lagi hanya menyajikan informasi satu arah, juga menye­diakan beragam layanan interaktif yang memungkinkan publik mengekspresikan pendapat mereka. Laman-la­man itu hadir dalam bentuk kolom-kolom komentar di bawah berita, forum, juga blog. Kini Internet tak terban­tahkan perannya dalam menguatkan demokrasi.

Media (di dalamnya internet) memainkan peranan penting dalam de­mokrasi. Salah satu negarawan Irlandia Edmun Burke menyebut media sebagai pilar keempat demokrasi2. Dengan menyebut media sebagai pilar keempat, menegaskan ihwal fungsi media untuk mengawasi kinerja pemerintahan dalam konsep Trias Politica Montesquieu, yaitu legislatif, ekse­kutif, dan yudikatif. Dengan kata lain fungsi media sebagai anjing penjaga (watchdog) hadir dalam setiap berita yang disajikan. Menegaskan soal ini, kerap kali dikatakan bahwa berita adalah darah kehidupan bagi demokrasi (Fenton, 2010). Sebab salah satu indikator demokrasi yang sehat, adalah adanya pertukaran informasi yang simetris.

Dalam konteks tersebut, jurnalisme memegang peranan penting dalam diseminasi informasi kepada pub­lik. Sementara, informasi merupakan salah satu atmosfer penting agar benih-benih demokrasi yang hadir antara lain dalam kesetaraan dan keterbukaan akses menyampaikan gagasan, dapat tumbuh subur. Karena itu, Fenton (2010) menegaskan, etos dan panggilan jurnalisme me­lekat erat dalam relasi gagasan demokrasi dalam segala praktiknya.

Jurnalisme juga hadir dalam beragam bentuk: cetak, ra­dio, televisi, dan kini Internet. Kerja-kerja jurnalistik sangat dipengaruhi oleh lingkungan medium itu, yang menyangkut beragam faktor seperti sosial, politik, eko­nomi, regulasi, dan teknologi di dalamnya.

Pilihan atas sistem demokrasi mensyaratkan ter­jaminnya kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers. Menurut Habermas, sebuah negara disebut demokratis jika ia menyediakan sebuah ruang publik yang “netral” bagi setiap warga negara untuk me­nyampaikan pendapatnya, gagasannya, bahkan meng­kritik kekuasaan (Habermas, 2000).

Ia mengidentifi­kasi, aktor-faktor penting yang mendorong kebangkitan revolusi demokratis abad 18 dan 19 adalah munculnya penghargaan terhadap ruang publik bagi wacana yang berkembang di masyarakat. Ruang publik adalah sebuah forum atau arena yang menjadi penengah antara negara dan masyarakat. Di dalam arena itu setiap warga negara dapat menyampaikan gagasannya secara terbuka bahkan mengkritik ketidakadilan yang dijalankan pemegang kekuasaan. Ruang publik itu bersifat independen terhadap pemerintahan dan kekuatan ekonomi dan didedika­sikan pada diskursus rasional yang bersifat terbuka dan dapat diakses setiap warga negara demi terbangunnya sebuah opini publik yang sehat.

Meskipun partisipasi di Internet ditentukan oleh beragam faktor seperti akses, biaya, dan sensor, namun secara umum dapat dikatakan Internet merupakan ruang publik masa kini (Moyo, 2009). Di Internet kita tidak mengenal batasan kelas. Inter­net menjadi ruang publik paling utama di abad ke-21, tempat bertemunya warga dunia. https://www.viagrapascherfr.com/viagra-marocain/ Siapapun yang memi­liki akses Internet dapat mencari informasi, mengeluar­kan pendapat, dan berkumpul bersama-sama secara on­line.

Beberapa pekan yang lalu Presiden ke 7 Ir. Joko Widodo dalam kunjungan politiknya di Bogor menyebut praktik demokrasi politik di Indonesia seudah kebablasan sehingga membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrem. Artikulasi ekstrem yang dimaksud adalah liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme serta ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi panasila?

Politisasi SARA (suku, agama, ras dan atargolongan) dengan menyebar fitnah, kabar bohong, saling memaki yang menurutnya akan memecah belah bangsa. Praktik itu semua terbanyak dilakukan melalui media internet yang di dalamnya seperti media jejaring  sosial (sicial network) maupun website/ blog dll.

Keresahan yang diraskan oleh presiden itu memang dirasakan oleh kita semua termasuk para-media yang berkecimpung dan hidup di dalamnya. Namun kata kebablasan dalam pidatonya ini menurut penulis terlalu berlebihan, karena praktik yang disebutkan berkaitan dengan liberalisme, fundamentalisme tentu itu hal yang lumrah dalam ruang demokrasi adapun ekses yang terjadi itulah dinamika berdemokrasi. Apa yang terjadi seperti radikalisem, terorisme penulis kira yang harus kita perangi bersama tentu dengan tidak mngenyampingkan marwah berdemokrasi dan kemanusiaannya.

Kembali ke media internet. Revolusi komputer dan kehadiran jaringan Internet di rumah-rumah atau digenggaman (gadget) seharusnya memperkuat kultur demokrasi, memberdayakan masyarakat dan or­ganisasi-organsiasi di akar rumput untuk mengartikula­sikan gagasan mereka seluas-luasnya. Jaringan Internet menerbitkan harapan akan lahirnya sebuah peradaban demokrasi yang baru, yang tidak pernah ada sebelumnya (Jenkins & Thorburn, 2003).

Lalu bagaimana ruang publik bernama Internet dapat memperkuat demokrasi? Morriset menawarkan enam hal yang dipandangnya penting bagi penguatan de­mokrasi di intenet yaitu akses, informasi dan edukasi, diskusi, musyawarah (deliberation), pilihan, dan aksi. (Morriset, 2003). Dari enam hal itu, yang paling penting adalah akses.

Akses. Masalah utama dalam partisipasi demokrasi umumnya ter­jadi pada wilayah-wilayah yang secara geografis su­lit dijangkau. Teknologi sistem informasi yang baik selayaknya menjadi solusi atas problem akses ma­syarakat terhadap ruang disksui-diskusi publik atas beragam isu. Demokrasi di Internet hanya akan menjadi kuat jika setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dapat mengakses Internet. Internet adalah ruang yang sangat me­mungkinkan diskusi dan kebebasan berekspersi ter­jadi tanpa hambatan waktu dan tempat.

Menghadirkan Informasi dan edukasi. Keterbatasan peran masyarakat pada proporsi tertentu juga disebabkan oleh minimnya informasi yang mereka terima. Internet selayaknya menjadi ruang bagi terjadinya penyebaran informasi dan pendidikan bagi segenap warga Indonesia di se­luruh penjuru tanah air.

Menjadikannya ajang Diskusi dan musyawarah yang sehat . Internet dapat menstimulasi diskusi tidak hanya antar-warga negara, juga dengan pemimpin mereka. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Kehadiran Internet membuka ruang bagi masyarakat untuk berdialog dengan para pejabat pemerintahan, apakah melalui situs resmi atau me­dia sosial. Lewat Facebook dan Twitter, masyarakat dapat dengan mudah “menjangkau” pemangku kekuasaan seperti Presiden Joko widodo atau yang lainnya. selain itu di belahan negara manapun bisa terjadi. Keterhubungan masyarakat dengan para wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat, De­wan Perwakilan Daerah, juga bupati, walikota dan perangkat desa, seharusnya dapat terbuka di dunia maya.

Berbagai macam ben­tuk sistem komunikasi interaktif di dunia maya ha­rus membuka ruang bagi terjadinya proses musyawarah. Pertimbangan yang matang adalah prasyarat bagi sebuah keputusan yang tepat. Oleh karena itu, agar proses musyarawah terjadi, setiap kepentingan atau sudut pandang harus mendapat tempat. Inter­net adalah ruang yang memungkinkan keterhubungan antar masyarakat tanpa hambatan geografis dan waktu. Inilah kenapa akses Internet penting dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di sebuah wilayan dengan gografis yang sulit.

Selanjutnya media sebagai upaya Pilihan artinya proses demokrasi terjadi ketika masyara­kat dihadapkan pada sejumlah pilihan. Diskusi dan kebebasan berpendapat mendapat porsinya ketika warga atau partisipan memahami bahwa ada bera­gam alternatif pilihan yang bisa diambil. Menurut Morriset, tanggungjawab pemerintah tidak hanya mengedukasi publik atas beragam persoalan yang ada, juga memastikan proses pengambilan suara atas pilihan yang ada berjalan adil.

Lalu Aksi. Beragam faktor di atas hanya akan percuma jika akhirnya demokrasi tidak disertai oleh partisipasi publik. Oleh karena itu, keterbukaan akses, infor­masi yang memadai, terbukanya ruang-ruang disku­si, dan tersedianya beragam pilihan, pada ujungnya adalah sarana bagi masyarakat untuk “beraksi” dan berpartisipasi dan mengawal ruang-ruang demokrasi.

NB:

Tulisan disampaikan dalam Diskusi DWI-MINGGUAN Pelita Perdamaian, 12 Maret 2017 di Cafe Yaqtin Kota Cirebon.

Penulisannya  diilhami  dari junal berjudul “Internet, Media Online dan Demokrasi di Indonesia” yang diterbitkan  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tahun 2013.

 

2 Comments

  1. ya betul, kita harus mencari solusi dari probelm-problem hari ini

Trackbacks / Pings