
Oleh: Yose Rizal Triarto
***
Pada tahun 1903, salah satu sarjana pakar keislaman dari Amerika Serikat, Duncan Black MacDonald (1863-1943) menulis bahwasanya Islam yang sekarang tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan konstitusi. Menurut dia, khalifah Islam tidak akan mendirikan suatu sistem pemerintahan yang mana sistem tersebut memungkinkan untuk melawan atau membatasi kekuasaan khalifah. Khalifah, sebagai penerus nabi seharusnya mempunyai kekuasaan yang absolut dalam memerintah.
Pernyataan yang dilontarkan oleh Duncan tadi tentu saja tak semuanya benar. Terbukti beberapa tahun setelahnya, muncul gagasan yang berkebalikan dengannya. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Mehmed Kamaluddin Effendi menyatakan bahwa mereka mendukung sistem pemerintahan konstitusi.
Sesungguhnya, timbulnya gagasan seperti tokoh Muhammad Abduh dan Mehmed Kamaluddin Effendi di atas tidak terlepas dari gerakan modernisasi Islam, yang mana gerakan ini muncul pada abad ke sembilan belas dan dua puluh. Gerakan modernisasi Islam ini mencoba unutk menyesuaikan ajaran-ajaran dan prinsip Islam dengan nilai-nilai modern sekarang, seperti nasionalisme, demokrasi, konstitusi, penyelidikan ilmiah, dan nilai-nilai lainnya. Di sini tokoh-tokoh seperti di atas, melihat bahwasanya perbedaan tensi atau ketidak sesuaian ajaran Islam dengan nilai-nilai modern bukanlah disebabkan dari prinsip dasar Islam sendiri, melainkan lebih karena faktor historitas atau sejarah. Maka dengan munculnya era modernisasi dari barat, dan menyadari ketertinggalan ummat Islam dari bangsa-bangsa lainnya, gerakan modernisasi Islam ini menjadi sebuah kebutuhan dan kepentingan untuk Islam sekarang.
Memahami Makna Modernisasi
Membicarakan gerakan modernisasi Islam, maka kita harus mengetahui sejarah modernisasi di Dunia Barat terlebih dahulu. Karena dari gerakan modernisasi di Baratlah yang mempengaruhi modernisasi di Islam.
Modernisme, modernisasi dan modernitas merupakan padanan kata dari pembaharuan. Modernisasi lahir di Dunia Barat, yang muncul sejak renaisans terkait dengan masalah agama. Menurut masyarakat Barat kata modernisasi itu mengandung pengetian pikiran, ide, aliran, gerakan dan usahan untuk mengubah paham-paham, ada istiadat, dan sebagainnya agar semua itu dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi[1].
Modernisasi ditandai dengan rasionalitas dan kreatifitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidupnyadi dunia ini. Maka dari itu, modernism khsususnya di Barat, adalah suatu antroposentrisme yang hampir tak terkekang.[2]
Bila kita menilik pada sejarah di Barat, modernisasi terjadi sejak abad ke 15, dimana sebelumny, Barat berada pada zaman kegelapan (Dark Age). Awal mula sejarah modernisasi terjadi pada era Renaissannce, yang secara harfiah berarti kelahiran kembali. Pada era ini muncul aliran-aliran pemikiran seperti rasionalisme, empirisme dan sebagainya yang kemudian merubah dunia alam pemikiran di Barat. Kemajuan dalam bidang pemikiran ini diikuti dengan kemajuan di berbagai bidang lainnya. Dalam bidang industri, era renaissance melahirkan revolusi industri yang merubah dan mempengaruhi pergerakan insdustri di seluruh Eropa. Dampak dari berbagai kemajuan dalam berbagai bidang juga menimbulkan negara-negara yang maju dan berusaha menguasai negara-negara lainnya. Maka era kolonialisasi pun dimulai. Negara-negara seperti Inggris, Perancis, Spanyol, dan Portugal berlomba-lomba dalam memajukan militernya dan menancapkan pengaruhnya di negara-negara lainnya.
Namun pada intinya, gerakan modernisasi di Barat, semula berawal dari munculnya era Renaissance, yang mana dengan era ini menimbulkan berbagai kemajuan di berbagai bidang, pemikiran, industri, militer, sains, pengetahuan dan berbagai bidang lainnya.
Masuknya Modernisasi di Islam.
Pemikiran modernisasi yang terjadi di Islam mempunyai kaitan mata rantai dengan Barat. Sebelum memasuki periode modern, kontak antara Barat danIslam sebenarnya sudah ada, terlebih antara Kerajaan Usmani yang mempunyai daerah kekuasaan di daratan Eropa dengan beberapa negara Barat. Ketika negara-negara itu mulai memasuki masa kemunduran. Sebagai akibat dari perubahan itu, Kerajaan Usmani, yang biasa menang dalam peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat. Hal ini membuat pembesar-pembesar Usmani menyelidiki rahasia kekuataan Eropa yang baru muncul itu. Menurut pemikiran, rahasianya terletak dalam kekuatan militer modern yang dimiliki Eropa.
Namun pembaharuan yang yang diusahakan pemuka-pemuka Usmani abad kedelapan belas tidak ada artinya. Usaha dilanjutkan di abad kesembilan belas dan inilah kemudian yang membawa kepada perubahan besar di Turki. Seorang terpelajar Islam memberikan gambaran pada abad kesembilan belas, Ia mengatakan betapa terbelakangnya umat Islam ketika itu. Kontak dengan kebudayaan Barat yang lebih tinggi ini ditambah dengan cepatnya kekuatan Mesir dapat dipatahkan oleh Napoleon. Ketika Napoleon memasuki Mesir, ia pun melakukan ekspedisi[3] baik itu secara kultural maupun secara politis.Sehingga mengguncang pondasi negeri yang menggunakan bahasa Arab itu. Mereka memperkenalkan budaya Perancis dan ilmu pengetahuan Barat pada orang-orang Mesir, kemudian orang-orang Arab secara keseluruhan. membuka mata pemuka-pemuka Islam Mesir untuk mengadakan pembaharuan.
Dengan sadarnya ummat islam waktu itu, akan ketertinggalan mereka dari Barat, ummat muslim sadar, mereka harus mengejar ketertinggalan dari Barat. Dengan banyaknya pelajarar-pelajar Muslim yang belajar ke Barat, dan kemudian kembali ke negara aslinya, mereka juga membawa pengetahuan dan ilmu dari Barat yang mempengaruhi perkembangan modernisasi di Islam.
Namun, gerakaan modernisasi Islam tidak bias dilepaskan dari tokoh-tokoh pembaharu gerakan ini. Figur-figur penting inilah yang menjadi magnet bagi tokoh-tokoh laiinya dalam melakukan modernisasi. Tercatat tokoh-tokoh penting seperti Jamaluddin Afghani, kemudian muridnya, Muhammad Abduh, dan murid Abduh, Muhammad rasyid Ridha yang mengusung gerakan modernisasi di Mesir. Ada juga Sayyid Ahmad Khan di India, Namik Kemal di Turku, dan Bey Gasprinski di Crimea, dan banyak lagi tokoh-tokoh lainnya dari berbagai negara di dunia. Mereka inilah yang membawa gerakan modernisasi Islam.
Ijtihad Menurut Muhammad Abduh
Sebelum memasuki era modernisasi Islam, menurut Muhammad Abduh, ummat Islam mengalami ke Jumud an. Jumud dapat diartikan dengan beku, statis, atau tak bergerak. Ummat islam hanya bersandarkan pada tradisi-tradisi klasik. Akibatnya akal dan pemikiran islam pun tak berkembang dan beku. Maka benar apa yang dikatakan oleh Jamaluddin Al Qasimi: “Apabila orang-orang hanya terbatas dalam mengkaji tradisi klasik, maka pengetahuan yang luar biasa pun akan hilang, alam pemikiran akan tersesat, lidah yang tajam akan menumpul, dan kita tidak akan mendengar apa pun kecuali pengulangan belaka”.
Muhammad Abduh sangat menentang taklid yang dipandangnya sebagai faktor yang melemahkan jiwa umat Islam. Pandangan Abduh tentang perlunya upaya pembongkaran kejumudan yang telah sedemikian lama mengalami pengerakan tersebut akan melahirkan ide tentang perlunya melaksanakan kegiatan ijtihad. Menurut Abduh, taklid akan menghentikan akal pikiran manusia pada batas tertentu, yakni taklid sangat bertentangan dengan akal, taklid bertentangan dengan tabiat kehidupan, dan taklid itu juga bertentangan dengan tabiat dasar-dasar dan ciri Islam[4]. Muhammad Abduh mengikis habis taklid sebagai suatu prinsip, dalam bentuknya yang ada pada saat itu, seperti mengikuti mazhab secara harfiah dengan pengkultusan. Fanatisme itu disebabkan oleh adanya kelemahan pemikiran, politik, dan ekonomi pada masyarakat Islam.
Ijtihad menurut Abduh, bukan hanya boleh bahkan perlu dilakukan. Namun, menurut ia bukan berati setiap orang boleh berijtihad. Hanya orang-orang tertentu dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihadlah yang boleh melakukan ijtihad tersebut. Ijtihad dilakukan langsung terhadap al-Qur’an dan hadits sebagai sumber dari ajaran Islam[5]. Lapangan ijtihad adalah mengenai soal-soal muamalah yang ayat-ayat dan haditsnya bersifat umum dan jumlahnya sedikit. Sedangkan soal ibadah bukanlah bagian dari lapangan ijtihad, karena persoalan ibadah merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, dan bukan antara manusia dengan manusia yang tidak menghendaki perubahan menurut zaman.
Pandangan Muhammad Abduh tentang perlunya ijtihad dan pemberantasan taklid, tampaknya didasari atas kepercayaannya yang tinggi terhadap akal. Karena menurut Abduh, Islam menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi. Sebab akal dapat membedakan antara baik dan yang buruk, antara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Islam adalah agama yang rasional, dan menggunakan akal merupakan salah satu dari dasar-dasar Islam. Kebenaran yang dicapai akal tidak bertentangan dengan kebenaran yang disampaikan oleh wahyu. Menurutnya dalil akal yang meyakinkan bertentangan dengan dalil naql yang tidak meyakinkan. Namun, masih menurut Abduh, ada dua cara yang dapat ditempuh jika ditemukan adanya kontradiksi antara dalil akal dengan dalil naql. Pertama, kita menerima dalil naql itu sebagai dalil yang sah, tetapi kita mengakui bahwa kita tidak mampu untuk memahaminya dan menyerahkan hal yang sesungguhnya kepada Allah SWT. Kedua, kita menta’wilkan dalil naql itu sesuai dengan tata bahasa sehingga artinya dapat menjadi sesuai dengan yang ditetapkan oleh akal.
Dari Modernisasi ke Globalisasi
Pada abad ke-15, tiga penemuan besar berupa bubuk mesiu, mesin cetak, dan kompas mengubah secara total tatanan masyarakat Eropa. Penemuan bubuk mesiu membuat rakyat Eropa mampu melepaskan diri dari feodalisme kerajaan, sedangkan keberadaan mesin cetak membuat monopoli kebenaran yang dilakukan pihak Gereja tidak lagi mendapatkan ruang. Kompas membuat orang Eropa mampu melakukan pelayaran dalam jarak yang sangat jauh untuk menemukan daerah (jajahan) baru, dimana ini adalah awal babak baru modernisasi.
Sama dengan pola di atas, globalisasi muncul karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, khususnya di bidang transportasi, telekomunikasi, dan informasi. Perkembangan teknologi membuat mobilitas dan interaksi manusia dengan dunia luar menjadi sangat tinggi. Sehingga tidak ada batas jarak (borderless) dan waktu (timeless) antar negara, dimana hal tersebut tidak ditemukan di masyarakat pra-global. Kondisi ini berdampak luas pada masyarakat dunia dan banyak mengubah tatanan yang sudah ada sebelumnya.
Gerakan Islam, Modernisasi Indonesia dan Tanggapan-Tanggapannya
Hanya dalam satu abad Indonesia mengalami perubahan formasi sosial yang sangat cepat. Separuh pertama abad ke-20 Indonesia masih berada pada era kolonialisme sampai tahun 1945. Separuh abad kedua, Indonesia memasuki era developmentalisme yang ditandai pembangunan berbagai sektor atas dasar paham modernisasi. Belum hilang rasa kaget akibat modernisasi, Indonesia sudah harus menghadapi babak baru yang disebut globalisasi.
Perubahan-perubahan tersebut berdampak besar pada tatanan masyarakat bangsa ini. Islam sebagai salah satu komponen utama masyarakat Indonesia juga merasakan dampak perubahan tersebut. Dampaknya tidak selalu negatif. Melihatnya pun harus dari kacamata peluang dan tantangannya.
Amien Rais sendiri menyebut globalisasi sebagai proses interkoneksi yang terus meningkat antar masyarakat berbagai belahan dunia dimana kejadian di satu negara mempengaruhi masyarakat negara lainnya. Semakin global pengaruh satu sama lain akan semakin erat, utamanya di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sebelum ada istilah globalisasi, proses interaksi tersebut sudah berlangsung sejak lama. Perdagangan lintas benua yang dilakukan oleh
para pelaut Muslim, China, dan Eropa pada abad pertengahan adalah contohnya. Globalisasi menjadi lebih formal pasca Perang Dunia II, setelah dibentuk badan-badan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO).
Meski sudah berlangsung lama, gembar-gembor globalisasi baru santer terdengar beberapa tahun belakangan dari gencarnya promosi ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA sendiri merupakan salah satu produk globalisasi antar negara-negara ASEAN yang dideklarasikan di Bali Summit bulan Oktober 2003 bersama dengan ASEAN Political Security Community (APSC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC).
Ditinjau lebih ke belakang, Tiga Pilar ASEAN Community tersebut merupakan tindak lanjut perwujudan Visi ASEAN 2020 hasil keputusan summit di Kuala Lumpur Desember 1997. Sehingga perlu disadari, ketika baru membahasnya sekarang, semua proses menuju ke sana sudah dipersiapkan sangat lama. Meski begitu penting untuk kita ketahui dan persiapkan karena ASEAN Community adalah globalisasi kawasan yang sudah sangat dekat dengan kita.
Membicarakan globalisasi memang tidak bisa dilepaskan dari proses modernisasi yang telah terjadi lebih dulu. Karena globalisasi akan berjalan dengan baik hanya jika masyarakat sudah modern. Dimana pandangan terhadap modernisasi secara tidak langsung akan mempengaruhi pandangan terhadap globalisasi juga. Dimana pandangan-pandangan atas modernisasi dan globalisasi sangat beragam jumlahnya. Di sini saya mengambil dua contoh pandangan.
Pandangan pertama menyebut modernitas–tujuan modernisasi- sebagai suatu dunia yang lebih stabil dan damai, dimana manusia akan merasakan keamanan dan kenyamanan, terentaskan dari kemiskinan, kepastian hukum, serta tumbuhnya rasa kebebasan individu karena mendapatkan akses dalam banyak hal. Pandangan seperti itu bisa muncul memandang kondisi pra-modern yang serba sulit, lepasnya manusia dari rezim yang sewenang-wenang, dan akrab dengan perang.
Pandangan kedua mengatakan modernisasi mengilhami teori pembangunan atau developmentalisme. Developmentalisme sendiri disebut sebagai cara para kapitalis untuk tetap menancapkan dominasinya pada negara Dunia Ketiga dengan mengontrol teori dan proses perubahan sosial mereka. Melalui diskursus pembangunan ini negara dunia ketiga disebut kekurangan teknologi dan tenaga profesional, sehingga harus didatangkan dari negara-negara Barat. Logika yang sama diterapkan dalam eksplorasi kekayaan alam, hingga pemberian utang dari IMF.
Dua sikap yang berbeda tersebut berdampak pada sikap terhadap globalisasi. Sikap yang pertama adalah mendorong seluas-luasnya terjadinya globalisasi, bahkan ekonomi pasar bebas disebut dapat mengurangi kemiskinan. Sedangkan sikap yang kedua adalah menolak globalisasi dan pasar bebas, karena keduanya merupakan cara baru kaum kapitalis untuk terus mengakumulasi kapital dari negara-negara Dunia Ketiga. Di antara keduanya tentu ada sikap pertengahan dengan argumentasi masing-masing. Lalu, dimanakah posisi Islam?
Pluralitas Respon Islam
Aspek ekonomi yang dijelaskan panjang lebar di atas hanyalah dampak yang ditimbulkan oleh modernisasi. Kemajuan dan pertumbuhan ekonomi seringkali dipersepsikan sebagai modernisasi itu sendiri, padahal bukan. Modernisasi adalah proses sosial-budaya yang menyertai pertumbuhan ekonomi tersebut. Itulah mengapa modernisasi sangat berkaitan erat dengan penerimaan sebuah ideologi terhadapnya.
Modernisasi merupakan perubahan sikap mental manusia dalam memandang dunia. Nurcholis Madjid menyebutnya identik dengan rasionalisasi, sedangkan Sudjatmoko mengartikannya sebagai proses pembebasan manusia dari paksaan adat kebiasaan. Hal tersebut dilatarbelakangi kemunculan modernisasi sendiri, di mana masyarakat pra-modern di Eropa terkungkung oleh dominasi dan ortodoksi Gereja.
Dalam perkembangannya, Islam sebagai agama sering diposisikan sama dengan Gereja (Katholik) dalam pembahasan modernisasi dan globalisasi. Agama dianggap menghambat karena doktrin-doktrin yang tidak pro-rasionalitas. Padahal Islam sebagai institusi yang memiliki ajaran sendiri tidak bisa disamakan dengan Gereja kendati digolongkan sebagai agama. Di sinilah perlunya mencari relasi antara Islam dengan modernisasi dan globalisasi.
Dalam tataran pemikiran, Nurcholis Madjid adalah salah satu tokoh muslim yang concern pada masalah modernisasi. Kesimpulan dari berbagai pemikirannya adalah perlunya sekularisasi dan liberalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam. Namun ternyata pendapat tersebut ditentang oleh beberapa kelompok Islam. Karena sekularisasi dipandang membuat pengaruh agama semakin memudar atas rasionalisasinya pada lingkungan secara menyeluruh. Jadi, respon golongan Islam terhadap modernisasi sendiri beragam. Masing-masing memiliki dalil dan argumentasinya masing-masing.
Perbedaan pandangan itu juga terwujud dalam perbedaan gerakan. Yudi Latif menyebutkan ada dua arus utama Gerakan Islam dalam menyikapi sekularisasi: pertama, gerakan yang menekankan “modernisasi Islam”; dan kedua, gerakan yang menekankan “Islamisasi modernitas”. Gerakan pertama dapat menerima masyarakat yang sekuler-pluralis dimana Islam merupakan salah satu prinsip etika yang akan bersanding bersama dengan prinsip agama lain. Sedangkan gerakan kedua mengidealkan masyarakat neo-religius dimana Islam sebagai identitas utama yang mendominasi budaya politik negara dan masyarakat.
Selain respon terhadap sekularisasi, ada pula pengelompokan ideologi golongan Islam dalam merespon kemiskinan oleh Mansour Fakih, yakni: (1) tradisionalis, yakni mereka yang memandang kemiskinan datang dari Tuhan sehingga tidak ada kaitannya dengan globalisasi dan modernisasi meskipun dalam keseharian di antara mereka ada yang hidup modern; (2) modernis, yang berpandangan liberal bahwa orang miskin karena ada yang salah pada sikap budaya, mental, atau teologi mereka sendiri, bukan karena globalisasi atau modernisasi. Kalau perlu umat Islam harus jadi liberal agar siap bersaing; (3) revivalist, atau yang sering dilabeli dengan istilah fundamentalis, dimana mereka berpandangan bahwa kemiskinan terjadi disebabkan banyaknya umat Islam yang mulai meninggalkan ideologi Islam dan menggunakan ideologi lain sebagai dasar ketimbang Al-Qur’an; dan (4) transformatif, berpandangan bahwa kemiskinan terjadi karena ketidakadilan struktur ekonomi, politik, dan kultur. Sehingga, mereka melakukan transformasi untuk menciptakan struktur dan relasi sosial yang lebih adil.
Pembagian dua arus utama Yudi Latif dan empat pengelompokan dari Mansour Fakih tersebut menunjukkan pluralitas gerakan Islam dalam merespon modernisasi dan globalisasi. Bedanya, Yudi Latif lebih berbicara visi, Mansour Fakih menekankan pada praksis gerakan. Namun, pilihan-pilihan tersebut tetap mempengaruhi bagaimana Gerakan Islam bergerak menghadapi tantangan globalisasi.
Kesimpulan
Sebelum memasuki era modernisasi Islam, ummat Islam berada pada masa statis dan kemunduran, dimana salah satu sebabnya adalah masuknya Islam pada ke jumud an yang berakibat pada beku nya alam pemikiran dan pengetahuan.
Adanya interaksi dengan Barat membuka mata ummat Islam akan ketertinggalan mereka dari bangsa-bangsa lainnya, dan mendorong untuk melakukan modernisasi Islam untuk mengejar ketertinggalan mereka. Modernisasi yang dilakukan pun meliputi berbagai bidang: pemikiran, pendidikan, pemerintahan, militer, dan lainnya. Di balik gerakan modernisasi ini ada tokoh-tokoh yang memegang peranan penting, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan masih banyak yang lainnya
Muhammad Abduh sangat menentang periode ke jumud an yang dialamiummat Islam, dan sebagai solusinya,ia membuka kembali pintu Ijtihad yang smepat tertutup. Dengan terbukanya pintu Ijtihad inilah yang akan memajukan kembali alam pemikiran dan pengetahuan Islam.
Di titik ini kita hendak merumuskan gerakan untuk menghadapi globalisasi. Kita perlu menggali lebih dalam apa itu globalisasi dan pengaruhnya terhadap sosial-budaya masyarakat Indonesia. Selain itu diperlukan cendekiawan Muslim yang mampu mendudukkan Islam, Indonesia, dan Globalisasi di satu meja sebagaimana Nurcholis Madjid mendudukkan Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, meskipun pendapatnya menuai kontroversi.
Setelah mampu merumuskan relasi Islam, Indonesia, dan Globalisasi, kita dituntut bersikap atas isu-isu yang berkembang di medan globalisasi. Banyak isu global yang membutuhkan perhatian dan sikap dari umat Islam, seperti agresi Militer Israel atas Palestina, munculnya Islamophobia di Eropa akibat insiden Charlie Hebdo, hak beragama Muslim Xinjiang yang dicabut pemerintah, dan lain sebagainya. Termasuk konsolidasi umat Islam di bidang ekonomi, politik, budaya, dan teknologi yang sudah harus berskala global juga.
Apa yang dirumuskan Yudi Latif maupun Mansour Fakih dapat digunakan sebagai acuan untuk bergerak. Karena sikap satu kelompok berbeda dengan yang lain, tentu saja tawaran gerakan yang diberikan juga berbeda. Tetapi harapannya perbedaan sikap itu tidak menyebabkan adanya jurang pemisah antar umat Islam. Jika bisa satu sikap, tentu lebih baik.
***
Unduh versi PDF
Sumber Bacaan
- Mansour Fakih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
- ASEAN Economic Community Blueprint, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008)
- Kaisar Atmaja, Soedjatmoko & Modernisme: Catatan Atas Pemikiran Kritis Soedjatmoko (Bantul: Kreasi Wacana, 2013)
- Kishore Mahbubani, Asia Hemisfer Baru Dunia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011)
- Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008)
- Yudi Latif, Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis Atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia (Bandung: Jalasutra, 2007)
- Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta: PPSK, 2008)
[1] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. II,hal 1
[2] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan peradaban,(Jakarta, Paramadina, 2000), cet III hal 450
[3] Napoleon Bonaparte lahir pada tanggal 15 Agustus 1769 di Ajaccio (Perancis) dan meniggal dunia pada 5 Mei 1821. Napoleon menyerbu Mesir pada 2 Juli 1798, mula-mula mendarat di Iskandariyah dan dalam waktu tiga minggu ia dapat menguasai seluruh Mesir. Walaupun Napoleon hanya sekitar tiga minggu menguasai Mesir (1789-1801), namun pengaruhnya sangat besar terhadap hidup dan kehidupan bangsa Mesir. Lihat Yusran Amuni, 66-67
[4] Muhammad al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), Cet. I, hal 91
[5] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, hal 64
sumber gambar: rmaryann.files.wordpress.com
—–
Biodata penulis: Yose Rizal Triarto, lahir di Cirebon, 5 Desember 1985, adalah seorang pemerhati masalah pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Aktif menulis untuk kepentingan lomba dan kritik publik di forum-forum nasional Indonesia sejak Juli 2014. Saat ini sedang berupaya mengambil Master Pendidikan dan Humaniora di Kota Yogyakarta dan mengikuti program pembelajaran non-degree Management and Social Entrepreneurship melalui Universitas Ciputra Entrepreneurship Online (Ciputra UCEO). Buku solo populer pertamanya berjudul “Bumi dan Manusia” (Penerbit Kaifa, Bandung, 2015). Saat ini bekerja sebagai pengajar dan pengelola LBB Prestasi Utama Yogyakarta dan penulis tetap di Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan Pemprov DIY. Penulis beralamat lengkap di Basen KG III/304 RT 15 RW 04 Kotagede Yogyakarta 55173, dan dapat dihubungi melalui no HP 0812-8602-8958, email yrtriarto@gmail.com, dan kontak sosial media yang ada antara lain dengan akun Facebook https://www.facebook.com/yose.triarto, Twitter https://twitter.com/yrtriarto2, dan LinkedIn https://id.linkedin.com/in/yose-rizal-triarto-s-si-4a59964b.
Comments Closed