Spritualitas yang (di)pinggir(kan)

Oleh: Abdurrahman Sandriyanie Wahid

Bagian 1

***

Pada mulanya, manusia merasa jenuh dan gelisah dengan jati-dirinya di dunia. Apa yang disebut “jati-diri” di sini, tak lain, merupakan sebentuk proses bagaimana menemukan, memutuskan dan menjalankan setiap konsekwensi dari setiap inci pertanyaan “Dari Mana Kita Berasal dan akan Kembali?”. Kegelisahan yang lalu berlanjut dengan penegasahan bahwa, sesungguhnyalah, eksistensi manusia berkelindan dengan dan dari dzat “Yang Esa”.

Sejarah telah membuktikan itu, dengan senyata-nyatnya, manusia memiliki kebergantungan akan titik puncak di mana ia mesti mencitrakan “Yang Esa”, “Illahi”, “Tuhan” sebagai proses akhir semesta. Hasil final rotasi kosmos, kata ahli biologi. Melalui agama, dogma, serta ritus-ritus yang dilakukan, Tuhan memiliki tempat tersendiri yang khas dalam setiap relung terdalam perjalanan hidup manusia. Di sini, menyitir filsuf Heidegger, gagasan tentang “Yang Illahi” ialah “Imajinasi Kreatif” yang dicitrakan oleh umat manusia sebagai realitas objektif yang abadi.

Kaum fundamentalis boleh jadi akan membantah, karena gagasan ketuhanan adalah sesuatu yang taken for granted, sesuatu yang mestinya diterima begitu saja. Tapi kita mesti mengingat pula, selain daripada Homo Sapiens (makhluk sosial), manusia juga merupakan Homo Religius (makhluk spritual). Pencarian terhadap-Nya secara berkala dan kontinyu, menandaskan kealpaan kita, bahwa meminggirkan sebuah proses spritual seringkali menjadi batu sandungan memaknai kehidupan.

Spritualitas sebangun dengan cita-cita besar manusia akan penegasan kepasrahan kepada ‘Yang Esa”. Akan tetapi, agama-agama besar (baca: dunia) terlanjur mengukuhkan “Yang Esa” hanya berdasarkan sumber-sumber primer berupa kitab suci dan dogma yang dibukukan. Sejarah masa lalu menjadi buku panduan yang, tentu saja, ia anti terhadap segala bentuk otokritik dan pembaharuan yang terus menerus seturut rasionalitas yang berkembang dalam setiap peradaban manusia.

Di tengah kebekuan pola-pola keberagaman kita dewasa ini, penting mengetahui sisi-sisi spritualitas yang acapkali ‘terpinggirkan (sub-altern)’.  Terpinggirkan dalam pengertiannya, bahwa ia keluar atau bahkan (melampaui) dari jejaring dogma-dogma agama besar (dunia), dan juga ia menawarkan sebuah alternatif lain bagaimana pola pemaknaan akan pencapaian nilai-nilai dan visi spritualitas yang baru.

Adalah Komunitas Dayak Losarang Bumi Segandu, yang berada di RT/RW 13/03 Desa Krimun Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Komunitas keagamaan yang pertama kali terbentuk pada tahun 1970-an, oleh tokoh adat yang bernama “Ki Takmad” tersebut, memiliki keunikan dalam konteks pemaknaan akan nilai-nilai teologis dan spritualitas. Berawal dari kejenuhan akan problematika yang dihadapi di sekitarnya yang tak kunjung usai, mereka terbentuk. Mereka percaya bahwa alam memiliki kekuatan adikodrati yang tak mungkin dijamah akal sehat. Fakta-fakta historisitas ala nusantara menubuh dalam praktik ritual adatnya, seperti simbol garuda dan adagium “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mereka pajang di bilik ‘kerajaan (tempat ibadah komunitas Dayak Losarang).

Tuhan bagi komunitas Dayak Losarang mengejawantah dalam citranya yang Feminim. Dari sini kita tahu, kaum monotheis terlanjur menghadirkan Tuhan dalam ekspresinya sebagai laki-laki, semisal dengan kata ganti “He” yang lazim disebut-sebut dalam beberapa kitab suci. Meski dengan sedikit catatan, agama Islam secara gramatikal adalah maskulin, sedangkan secara Dzat adalah feminim (amstrong, 2014). Pun ditegaskan pula, kita tidak sedang memperdebatkan apa dan bagaimana jenis kelamin “Tuhan”, dalam konteks pembicaraan ini, tentunya. Namun lebih kepada mendesiminasikan kembali seperangkat preposisi-preposisi yang terlanjur diamini, yakni semata-mata konsep ketuhanan hanya didominasi agama-agama besar dunia belaka.

Tuhan feminim menubuh dalam konsep yang dibangun sejak Komunitas Dayak Losarang berdiri. Mereka mempersonifikasikan  Tuhan dalam bentuk relief-relief bangunan kerajaan, juga bagaimana caranya memperlakukan perempuan (istri dan anak-anak). Ki Takmad beserta pengikutnya berseloroh (wawancara, 31 Agustus 2015), relief-relief tersebut memvisualisasikan sosok “Nyi Dewi Ratu”. Ia adalah tokoh magi yang merepresentasikan sosok perempuan yang welas asih kepada alam. Konsep perempuan, dalam konteks ini, menegaskan sistem sosial dan budaya “Bumi Segandu” sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan.

Adakah alam sebagai personifikasi perempuan pula?

Hal ini penting menjadi kajian mendalam, di tengah pusaran perilaku manusia yang telah banyak –bahkan tak terhingga- merusak alam dan lingkungan, atas nama perubahan dan kemajuan pada iklim neo-liberalisme hari ini.  Bagi mereka (Dayak Losarang, wawancara, 31 Agustus 2015), alam merupakan tempat berada dan berpulang. Alam diidentikkan dengan seperangkat konsep “Dharma Ayu” (Indramayu): perempuan yang berbudi luhur.

Filosofi yang kemudian berbentuk praktik-praktik/ritual meditasi selama 4 bulan dengan cara berendam di kolam, dilanjutkan berjemur di bawah terik matahari selama seharian, bagi mereka, adalah proses penyatuan dengan alam. Untuk itulah, merusak alam adalah bagian inheren dengan penghianatan terhadap Tuhan. Maka di sinilah, spritualitas Dayak Losarang adalah spritualitas alam. Ia hendak menggarisbawahi, aspek teologis dan telologis tak paralel dengan urusan dogma dan agama: “Ngelmu ing laku”, “Ngaji Ing Rasa”, “Ngadi Rasa”,

***

*penulis adalah Koordinator Dept. Riset dan Kajian Ilmiah PELITA

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.