
Oleh: Raditiya Indira Padma
Pukul 20.00, tanggal 8 Februari 2016, hari Minggu pertama dalam bulan Februari, hujan telah reda, dan saya dan teman-teman sedikit bergegas untuk menuju Wihara Welas Asih dalam rangka ikut merayakan hari raya tahun baru Imlek. Ya, saya dan teman-teman dari PELITA Cirebon mendapat undangan untuk ikut merasakan suka-cita yang sedang dirasakan oleh saudara-saudara Tionghoa. Dan dengan senang hati kami memenuhi undangan tersebut sambil berharap-harap cemas apakah kami akan mendapatkan amplop berwarna merah dengan isi selembaran berwarna merah juga atau tidak. Dan ternyata tidak.
Ketika saya menginjakan kaki di dalam Vihara, sudah dapat saya tebak bahwa semua serba merah dan emas. Mereka, saudara-saudara Tionghoa percaya bahwa merah adalah lambang dari keberuntungan, dan emas melambangkan keseimbangan (Yin dan Yang). Selain itu, aroma dupa yang menyengat hidung dan membuat mata saya perih, tidak membuat mereka terganggu ketika sembayang.
Saya sempat bertanya-tanya apa kegunakaan Hsiang (Mandarin), Hio (Hokkian), atau yang lebih kita kenal sebagai dupa ini. Akhirnya dengan mata yang berair, saya mencoba menanyakan apa makna dari dupa kepada mereka. Mereka pun sangat antusias menjelaskan makna dari dupa. “dupa itu adalah alat persembahan kepada Tuhan dan Dewa-dewa. Setiap bentuk, dan warna itu ada artinya. Ada dupa yang besar, bergagang, ada juga yang kecil dan tidak bergagang. Ada yang berwarna hijau, ada juga yang berwarna merah. Itu semua memiliki maknanya sendiri. Selain itu, dupa juga membuat kita konsentrasi ketika sembahyang, semua pikiran jahat akan hilang ketika kita menghirup dupa”. Akhirnya saya pun mengerti, ternyata dupa bukan hanya hiasan atau ornament imlek saja, tapi memiliki makna yang begitu luar biasa.
Sembari memperhatikan sekeliling, dimana saya melihat kopi gratis, dan banyak sekali makanan gratis disana, ada pemandangan menarik yang mampu mengalihkan saya dari semua hal yang serba gratis itu, yaitu seorang ibu memakai Khimar (kerudung panjang) serba tertutup masuk ke altar utama. Saya bertanya-tanya, “ibu ini mau apa ya? Apa jangan-jangan dia laki-laki? Di balik khimarnya ada bomnya?” karena dari pengalaman saya, perempuan yang menggunakan Khimar itu sebanding lurus dengan laki-laki Muslim yang memakai celana cingkrang dan jidat hitam, atau dengan kata lain mereka fanatik, tidak beda jauh seperti kaum Yahudi Haredi yang bahkan mendekat parkiran Vihara saja mereka tidak sudi. Tapi apa yang saya lihat pada saat itu ternyata berbeda dengan apa yang menjadi paradigma saya selama ini. “oh, ternyata ibu itu ingin ikut merayakan tahun baru Imlek juga. ini unik”, saya berbicara dalam hati sembari meniup kopi gratis yang terlalu panas untuk diminum.
Malam semakin malam, acara puncak yaitu kembang api pergantian tahun pun siap disulut. Saya melihat bahwa banyak sekali orang memakai kerudung, dan orang pribumi yang ikut asik dalam suka cita Imlek, bahkan saya yang bukan pribumi dan tionghoa pun ikut bahagia, yaitu karena saya bisa ikut menikmati suka cita perayaan tahun baru tanpa takut dicap kafir, dan karena hal lain yang menurut saya tidak perlu ditulis disini.
Mereka semua tenggelam dalam gemerlap kembang api, saya bisa mendengar tawa bahagia pribumi dan tionghoa disana, dan itu lebih indah dari simfoni karya Beethoven, atau simfoni Die Forelle Karya Schubert, ini adalah simfoni perdamaian, simfoni suka-cita, dan kebersamaan.
Dibalik semua itu, saya kembali termenung dan berfikir, “orang gila macam apa yang menolak indahnya kebersamaan, dan menistakan kebahagian seperti ini? Bukankah perbedaan adalah suatu ketetapan Tuhan? Bahkan dalam Al-Quran surat Al-Hujuraat dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan perbedaan suku bangsa agar kita saling mengenal, dan dalam surat Ar- Ruum juga dijelaskan bahwa perbedaan warna kulit adalah bukti kebesaran Allah. Tapi kenapa justru kita yang dikatakan Liberal, sesat, dll? Gila bukan?”.
Justru Sesungguhnya Mereka yang membenci perbedaan adalah yang liberal, karena telah menistakan ayat-ayat Tuhan yang bersifat Muhkamat.
*Penulis adalah Pengurus Bidang Riset PELITA. Menempuh pendidikan pada Fakultas Hukum Unswagati Cirebon
Comments Closed