
SENDI PANCASILA TERKOYAK:
Ancaman Robohnya Pilar Bangsa
Sebagaimana diketahui bahwa pada Ahad 26 Agustus 2012, di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karang Penang, Kab. Sampang, Madura terjadi tragedi sosial kemanusiaan yang menelan korban jiwa 2 orang, puluhan orang luka-luka, dan 30an rumah terbakar habis. Para korban sekarang dalam pengungsian yang serba sulit dan kekurangan untuk hidup layak. Korban dari tragedi sosial kemanusiaan ini adalah kaum Syiah pengikut Tajul Muluk, sementara para pelakunya adalah massa yang sulit diidentifikasi lembaga dan organisasinya (ini biasa terjadi dalam setiap konflik, tidak ada yang bertanggung jawab sebagai pelaku).
Kami, Masyarakat Lintas Iman Cirebon, menyampaikan pandangan dasar sebagai berikut:
- Bahwa perbedaan dalam wadah Negara Pancasila adalah hal yang wajar, lumrah, dan niscaya terjadi. Bahkan, Negara ini didirikan atas dasar keberbedaan dan keragaman yang melekat dalam gugusan bangsa ini. Oleh karena itu, kita sepakat mengambil prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Kita tetap menghargai dan menghormati serta terus memperjuangkan hak-hak mereka dalam keberbedaan dan keragaman yang ada. Memaksakan keseragaman, apalagi menolak kebhinnekaan, hanyalah mengoyak sendi dasar Negara Pancasila yang telah dibangun sejak 1945.
- Syi’ah sebagaimana varian Islam yang lain adalah bagian yang sah dari perkembangan sejarah Islam. Syi’ah sebagaimana paham Islam yang lain tumbuh dan berkembang dalam kesejarahan yang terang benderang. Syiah juga memiliki bangunan ontologi, epistemologi, dan metodologi yang kokoh dan diakui, baik sebagai varian ajaran Islam maupun ilmu pengetahuan Islam yang sudah teruji dalam kajian akademik. Selain telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam sejarah perkembangan Islam, bahkan sudah tidak bisa dipisahkan darinya, Syiah juga telah menjadi kenyataan sejarah dunia yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Oleh karena itu, menjadi anomali (buta sejarah) apabila ada fatwa yang menyatakan Syiah sebagai aliran sesat atau bukan bagian dari Islam. Patut dipertanyakan kapasitas keislaman pembuat fatwa tersebut.
- Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, segala agama, keyakinan, dan kepercayaan termasuk paham-paham yang berkembang di dalamnya, dilindungi secara legal-konstitusional. Setiap orang memiliki kebebasan yang dijamin dan dilindungi untuk memeluk suatu keyakinan, agama, dan kepercayaan sesuai dengan hati nuraninya. Pembatasan, pengurangan, dan penghilangan kebebasan berkeyakinan dan beragama adalah pelanggaran hak asasi manusia, apalagi tindakan tersebut disertai dengan pembakaran, penyerangan, dan pembunuhan yang sama sekali tidak bisa dibenarkan oleh standar nilai manapun.
- Kasus Sampang adalah pelanggaran hak asasi manusia. Aparat cenderung mengabaikan kewajibannya dalam perlindungan hak-hak asasi manusia warga Syiah. Tidak tampak ada upaya yang sungguh-sungguh secara sistematis untuk melakukan pencegahan terhadap tragedi sosial kemanusiaan ini.
- Kasus Sampang harus dicurigai sebagai konflik kepentingan politik, ekonomi, dan keluarga, bukan konflik Sunni – Syiah. Sunni dan Syiah hanya dijadikan alat untuk melegitimasi kekerasan dan perebutan kekuasaan yang menjadi kepentingannya. Kasus Sampang tidak mewakili konflik aliran tertentu, misalnya Sunni – Syi’ah, yang kemudian digeneralisasi untuk daerah-daerah lain. Ini kasus yang spesifik dengan motif dan pola yang spesifik.
- Problem kita dewasa ini sebenarnya adalah bukan problem perbedaan keyakinan dan agama, melainkan problem korupsi yang menggurita, ketidakadilan yang terjadi di mana-mana, ketimpangan sosial ekonomi yang merata, dan kegagalan Negara dalam melindungi warga negaranya.
Atas dasar pandangan tersebut, terlepas dari perdebatan motif terjadinya tragedi Sampang ini dan siapa pelaku pembunuhan, penyerangan, dan pembakaran rumah dan aset komunitas Syiah pengikut Tajul Muluk, melalui Siaran Pers ini kami, Masyarakat Lintas Iman Cirebon, menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mengutuk tindakan kekerasan, penyerangan, pembakaran, dan pembunuhan yang terjadi di Sampang Madura. Tindakan ini, apapun motif dan penyebabnya, tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditoleransi. Ini adalah tindakan kedhaliman, kriminal, dan pelanggaran hak-hak kemanusiaan.
- Menuntut para pelaku kekerasan, penyerangan, pembakaran, dan pembunuhan diadili dan dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sekaligus menuntut pembebasan dan perlindungan para korban untuk memperoleh hak-hak keselamatan, kenyamanan, keamanan, hidup yang layak, dan keadilan yang menjadi miliknya. Aparat penegak hukum jangan ragu-ragu menegakkan hukum dan keadilan, tidak boleh kalah dengan tekanan pelaku kekerasan.
- Menyesalkan aparat Negara, Pemerintah, dan aparat Kepolisian yang tidak tanggap terhadap deteksi dini konflik berbasis keagamaan. Kasus Sampang bukan kali pertama terjadi, juga tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi kasus lama yang seharusnya bisa diantisipasi secara dini oleh aparat Kepolisian dan Pemerintah yang memiliki aparat hingga tingkat kecamatan dan desa.
- Menyeru kepada MUI agar tidak sembarangan mengeluarkan fatwa sesat terhadap paham-paham keagamaan tertentu. Terbukti atas dasar legitimasi fatwa MUI ini kekerasan demi kekerasan terjadi di berbagai daerah. Jika terbukti, kekerasan terjadi akibat fatwa MUI, maka MUI bisa menjadi bagian dari rangkaian pelaku kekerasan. Hentikan MUI memproduksi fatwa sesat terhadap paham dan aliran manapun, sebab kesesatan atau kebenaran jalan menuju Tuhan bukanlah otoritas MUI.
- Menolak kebijakan relokasi kaum Syiah. Kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah, hanya akan menambah derita korban (blaming the victims) dan menimbulkan masalah baru bagi korban. Mengembangkan dialog dengan spirit toleransi, persaudaraan, dan kekeluargaan harus diutamakan.
- Menghimbau semua pihak agar mengembangkan pandangan dan sikap ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sebangsa) dan ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan sesama manusia) dan mengedepankan dialog-musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Cara-cara pemaksaan, kekerasan, pembakaran, penyerangan, apalagi pembunuhan sama sekali bukan cara-cara yang dibenarkan oleh ajaran manapun, tata nilai manapun, termasuk akal sehat setiap kita. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berkemanusiaan, beradab, dan berkeadilan, bukan masyarakat yang mengedepankan kekerasan, kebencian, dan permusuhan.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan sebagai respon atas kasus Sampang yang baru saja terjadi. Kami berharap ini menjadi perhatian serius Pemerintah dan para pengambil kebijakan agar tidak terjadi kekerasan sejenis atau kekerasan lain di belahan daerah manapun, khususnya Cirebon.
Yang Menyatakan Sikap:
Fahmina-institute Cirebon, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF Cirebon), PCNU Kota Cirebon, GP Ansor Kota Cirebon, PGI, GBI, PGIS, Yayasan Al-Kadhim Kota Cirebon, Majelis Ta’lim HDH Kab. Cirebon, Gereja Katholik, Lesbumi Kota Cirebon, YTI Al-Ghazali Kab. Cirebon, PP Cakrabuana Kab. Cirebon, Lembaga Kebudayaan Mahasiswa (LKM) Rumba Grage, BEM ISIF Cirebon, Kelompok Muda Bayt al-Hikmah Cirebon, CSPC IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Forum Sabtuan Cirebon, Pemuda Lintas Iman (Pelita) Cirebon, LPM Latar Cirebon, Forum Diskusi Mahasiswa “Petengan” Cirebon, Forum “Padang Wulanan” Cirebon, JAI Wilayah III Cirebon, KIAS (Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara) Jawa Barat, LSM BKE SOS.C, PSBM (Pusat Studi Budaya dan Manuskrip) Cirebon, PD Muhammadiyah Kota Cirebon.
Sumber Gambar: Sumbo.wordpress.com
Comments Closed