
Oleh: Jihan Fairuz
“Membayangkan masa lalu”, itulah yang pertama kali perlu dilakukan untuk memahami hakikat dan seluk beluk filologi, karena ilmu filologi memang dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya masa lampau berupa tulisan.[1]
Bayangkan bagaimana dokumen masa lalu itu sampai kepada kita sekarang ini, tentu saja, dahulu tidak ada mesin cetak, juga kertas yang memadai, tetapi dokumen-dokumen itu telah sampai pada kita menjadi naskah-naskah yang sampai saat ini kita kaji, pahami, sehingga kita memahami sejarah sosial masa lalu, misalnya menyangkut kepercayaan, adat istiadat, kegiatan sehari-hari, ajaran, dan berbagai informasi lain yang terkait dengan sebuah masyarakat tertentu pada masa lampau.
Perlu dicatat, ketika teks-teks dari masa lampau sampai sekarang itu disalin, kesalahan tulis juga tidak dapat dihapus seketika sehingga banyak kata susulan yang disisipkan sebagai revisi, atau kata yang salah itu “diakali” sedemikian rupa agar tidak terbaca, dan karena ketersediaan kertas yang belum memadai manjadikan penjelasan yang dirasa penting malah berebut ruang serta ditulis secara acak-acakan di sekeliling teks utamanya. Makin banyak salinan naskah dari tangan ke tangan, entah karena teks itu populer atau karena alasan lain, niscaya semakin banyak tangan-tangan penyalin terlibat di dalamnya. Penyalin sebagai manusia tentu memiliki keterbatasan. Pun, semakin banyak tangan terlibat dalam proses penyalinan itu, seringkali mengakibatkan semakin jauhnya sebuah teks dari versi asli yang ditulis pengarangnya.
Tidak semua naskah kuno yang kita jumpai ditulis dalam situasi terburuk seperti yang digambarkan diatas, ada juga naskah kuno yang ditulis dan disalin secara elegan dan cermat oleh tangan-tangan kaum cendekia, bahkan dengan ilustrasi, iluminasi, dan kaligrafi yang tergolong indah. Meskipun banyak naskah salinan yang sampai pada kita daripada naskah asli yang ditlis langsung oleh pengarangnya.
Yang menjadi alasan dan dasar kerja filologi adalah karena kerusakan yang kerap dijumpai, atau kerusakan alas naskahnya, dan munculnya sebuah variasi bacaan yang berbeda satu dengan yang lainnya akibat beragamnya proses penyalinan. Sebuah pendekatan studi naskah yang menekankan pentingnya kritik teks (textual criticism).
Pihak ketiga yang memproduksi teks setelah pengarang dan penyalin adalah seorang pangkaji naskah, tentunya ia akan berhadapan dengan tumpukan naskah-naskah kuno berusia puluhan tahun, atau bahkan ratusan tahun. Ia harus berusaha seteliti mungkin untuk merekonstruksi keaslian teks yang pernah ditulis oleh seorang pengarang, dan kemudian diperbanyak oleh tangan penyalin. kerja filologi dianggap sebuah ijtihad, yakni menentukan pilihan atas dasar satu atau lebih ijtihad. Jika pilihannya benar akan mendapatkan apresiasi atas kerja keras yang dilakukan, dan apresiasi untuk menemukan kebenaran itu sendiri.
Dalam kajian filologi, naskah, atau manuskrip, merupakan salah satu sumber primer paling otentik yang dapat mendekatkan jarak antara masa lalu dan masa kini. Naskah menjanjikan, tentu bagi mereka yang tahu cara membaca dan menafsirkannya, sebuah ‘jalan pintas’ istimewa (privileged shortcut acces) untuk mengetahui khazanah intelektual dan sejarah sosial kehidupan masyarakat masa lalu.[2] Sejak masa kolonial, para sarjana Barat dan Eropa menyadari naskah yang melimpah di Nusantara, tapi belum maksimal dimanfaatkan oleh para pengkaji pribumi sendiri kecuali hingga beberapa tahun belakangan ini. Melalui penerjemahan dan pengkajian atas naskah-naskah yang ditemukan, di Eropa dan Barat pada masanya, khazanah naskah telah melahirrkan penemu-penemu awal sejarah kehidupan dan tradisi intelektual masyarakat Yunani kuno abad pertengahan.
Kata naskah, yang memiliki akar kata dalam bahasa Arab (al-nuskhah), merupakan padanan bahasa Indonesia untuk kata ‘manuskrip’ yang berasal dari bahasa Latin, yakni: manu dan scriptus, dan secara harfiyah berarti ‘tulisan tangan’ (written by hand). Dengan demikian, manuskrip, biasa disingkat MS untuk naskah tunggal dan MSS untuk naskah jamak, adalah dokumen yang ditulis tangan secara manual di atas sebuah media seperti kertas, papirus, daun lontar, daluwang, kulit binatang, dan lainnya.[3]
Ilmu filologi mengasumsikan bahwa dalam benda cagar budaya yang disebut sebagai naskah itu, tersimpan aneka ragam informasi menyangkut buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat istiadat, kegiatan sehari-hari, ajaran, dan berbagai informasi lain yang terkait dengan sebuah masyarakat tertentu pada masa lampau. Nah, berbagai kandungan isi dalam naskah itulah yang disebut dengan taks, dan menjadi objek utama kajian filologi.[4]
Pengertian naskah tidak dibatasi oleh kandungan isinya, ia bisa berisi papara teks dalam berbagai bidang yang sangat luas, angka-angka matematis, peta, ilustrasi gambar atau foto, dan lain-lain. Naskah yang akan menjadi kajian filologi utamanya adalah bahan tulisan tangan klasik, karenanya disebut naskah klasik, yang ditulis atau disalin pada paruh pertama abad ke-16 sampai paruh abad ke-19.
Khusus dalam tradisi tulis dan intelektual Arab-Islam, teks sesungguhnya juga dibedakan kembali menjadi matan (matn), komentar (Syarh), dan penjelasan (hasyiyah). Matan adalah teks dasar utama dalam sebuah naskah yang, dalam beberapa kasus, menjadi landasan bagi seorang pengarang, bisa penulis matan itu sendiri atau orang lain, untuk menulis karya berupa syarh atau hasyiyah atasnya. Umumnya, syarh atau hasyiyah ditulis karena pengarang merasa bahwa cakupan diskusi yang terdapat dalam matan dirasa tidak memadai, terutama bagi kelompok pembaca tertentu yang memutuhkan penjelasan lebih terperinci dan mendalam.[5]
Dalam kajian naskah Nusantara sendiri, karya-karya berbentuk syarh atau hasyiyah ini tergolog sangat banyak dan lazim, sehingga kajian naskah-naskah keagamaan Islam tersebut tidak lagi bisa dibatasi hanya dengan menyebut ‘naskah’ dan ‘teks’ belaka, melainkan harus diperkaya dengan istilah ‘matan’, syarh, dan hasyiyah.
Filologi sebagai sebuah alat, karenanya bukan pintu ekslusif yang hanya boleh digunakan oleh sejumlah kecil ahli, peminat naskah kuno belaka. Menurut Chambert-Loir, seperti perbedaan huruf, cara mentranskripsi huruf, menemukan titik yang hilang dari sebuah huruf, ditambah pengetahuan kodikologi untuk menerawang warna kertas dan cap air, mengukur panjang lebar teks, dan lain-lain. Lebih dari itu filologi harus boleh digunakan oleh sarjana dari berbagai disiplin ilmu, sebagai “peralatan” untuk sampai pada tujuan penelitiannya. Filologi dipahami sebagai cabang ilmu yang mengkaji teks beserta sejarahnya (tekstologi), termasuk di dalamnya melakukan kritik teks yang bertujuan u tuk merekonstruksi keaslian sebuah teks, mengembalikannya pada bentuk semula, serta membongkar makna dan konteks yang melingkupinya.
Filologi juga dihubungkan dengan metode kajian teks yang disebut higher criticism,sebuah metode telaah teks yang bertujuan untuk memverifikasi kebenaran nama pengarang, tanggal penulisan, dan asal-usul teks. Mazhab filologi baru lebih menekankan untuk menggunakan metode diplomatik dalam penelitian filologi, yakni dengan menampilkan teks apa adanya, tanpa ada koreksi teks dari peneliti. Seperti di Eropa, di mana sejumlah sarjana pernah berusaha untuk mengkaji dan merekonstruksi keaslian teks Bible berdasarkan pada salinan manuskrip yang dijumpai. Dalam tradisi Islam, filologi telah lama diterapkan untuk memverifikasi validitas teks-teks keagamaan.
Sebagai sebuah teori, filologi tentu memiliki tahapan metodologis yang harus dilalui untuk menghasilkan sebuah edisi. Salah satu tujuan dilakukannya penelitian filologis adalah untuk menghasilkan sebuah edisi teks yang bisa diakses dan dimanfaatkan oleh khalayak lebih besar. Ada empat bentuk tradisi teks yang umumnya dikenal dalam tradisi penelitian filologi; pertama, edisi faksimile, metode yang dilakukan adalah semata memproduksinya, cetak dari microfilm, photo copy, atau cetak dari hasil alih media digital melalui mesin scanner atau kamera digital. Kedua, edisi diplomatik, teks dari hasil transkripsi setia dari sebuah naskah tunggal yang menggambarkan sedekat mungkin wujud aslinya. Katiga, edisi campuran, merupakan hasil suntingan teks yang diperoleh setelah menggabungkan bacaan dari satu versi teks dengan versi yang lain. Tidak mendasarkan teks yang diproduksinya dari satu sumber saja. Keempat, edisi kritis, adalah hasil olah penyunting yang menginginkan terbentuknya sebuah teks dengan kualitas bacaan terbaik. Ragam campur tangan penyunting pun bisa bermacam-macam, seperti pengurangan, penambahan, atau penggantian kata dalam teks. Itu semua penyunting lakukan bila menemui hal yang tidak ajeg, tidak patut, atau menyimpang dari kaidah bahasa yang mutlak diyakini kebenarannya.
Kita dapat mengatakan bahwa, tugas seorang penyunting teks atau filolog adalah latihan berpikir kritis untuk berspekulasi dan menentukan ‘maksud pengarang’ berdasarkan teks tertentu yang ia miliki. Penyunting teks harus bersikap amanah dan setia kepada ‘maksud pengarang’, ia tetap harus bersikap kritis ketika mencerna teks dari sang pengarang. Selalu ada kemungkinan pengarang melakukan kesalahan ketika memproduksi teks dengan berbagai macam faktor ketidaksengajaan. Dalam kasus seperti ini, penyunting teks berperan untuk memilih bacaan mana yang paling masuk akal menjadi maksud pengarang. Tentu keputusan memilih itu juga tidak dilakukan sembarangan. Langkah pertama yang dilakukan seorang penyunting adalah menentukan terlebih dahulu satu salinan naskah yang bisa dianggap paling otoritatif dan akan dijadikan sebagai naskah landasan, baik atas dasar pertimbangan usia naskahnya, kejelasan bacaannya, kelengkapan isinya, maupun alsan lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Perlu diketahahui juga, semakin tua naskah tersebut, semakin bermakna pula upaya kajian filologis atasnya.
[1] Oman Faturrahman,dkk. Filologi dan Islam Indonesia. Puslitbang Lektur Keagamaan.2010
[2] Ibid. Hal 4
[3] Ibid. Hal 4
[4] Ibid. Hal 4-5
[5] Oman Faturrahman,dkk. Filologi dan Islam Indonesia. Puslitbang Lektur Keagamaan.2010. Hal 7
sumber gambar: faridarohmawati.wordpress.com
*Penulis adalah mahasiswi Filsafat IAIN Syeknurjati Cirebon, sebagai anggota dept. riset dan kajian pelita perdamaian
Comments Closed