Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) Ke-VII Jawa Barat*

Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) Ke-VII Jawa Barat*

Oleh: Abdurrahman Wahid*

PELITA.org- Program CRCS Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM), menyelenggarakan Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK), pada 28 November-04 Desember, di Kuningan Jawa Barat. SPK merupakan gugus program yang rutin dilaksanakan oleh CRCS UGM, yang inisiatif awalnya bertujuan mengintegrasikan dunia akademisi dengan kalangan aktivis. Pada kesempatan kali ini, kegiatan diikuti oleh peserta yang terdiri atas kalangan akademisi dan aktivis dari perwakilan masing-masing kota di Jawa Barat, seperti Bekasi, Bandung, Subang, Ciamis, Tasikmalaya, Sukabumi, Kuningan dan Cirebon itu, adalah SPK yang ke-VII

Di hari pertama, Dr. Zainal Abidin Bagir, selaku Direktur CRCS UGM, dalam acara pembukaan sekaligus sesi pertama, menegaskan bahwa tujuan besar yang hendak dicapai dalam kegiatan ini, agar peserta dibekali beberapa materi dan kemampuan untuk ‘mengelola keragaman’. Istilah tersebut, berangkat dari latarbelakang awal bahwa membangun jembatan akedemisi-aktivis, bukan hanya advokasi pluralisme yang bias idelogi, tetapi juga membangun pengetahun tentang pluralisme.

Pengetahun sebagai landasan mendasar dari kerja-kerja advokasi, tentu saja, selain daripada agar adanya tanggungjawab, komitmen, juga mencapai sasaran. Di sini, seperti banyak diulas oleh Dr. Zainal Abidin Bagir pada sesi pertama dan kedua, ingin melihat lebih secara komperhensi bahwa agama bukan sebagai sumber masalah, agama memainkan peran penting untuk melihat isu lebih konstruktif dan positif. Dengan demikian, peran advokasi adalah melihat realitas dengan cara yang benar.

Kebutuhan menjawab tantangan guna melihat realitas dengan cara yang benar, dengan menggunakan pendekatan pluralisme kewargaan. Ia merupakan paradigma di mana tidak melulu meneropong mana agama yang baik atau mana yang buruk, lebih kepada agama sebagai realitas di ruang publik. Dengan begitu, paradigma pluralisme kewargaan (civic-pluralisme) ialah sebentuk ikhtiar dalam mengaitkan dan menganalisa berbagai persoalan keragaman di Indonesia, baik keragaman suku, agama, adat, budaya ataupun jender. Persoalan yang ingin dilihat, bagaimana relasi negara dengan masyarakat, masyarakat dengan berbagai elemen di dalamya.

Kesetaraan Warga

Setiap manusia memiliki hak yang sama. Hak untuk hidup, hak pendidikan, sosial, budaya dan agama. Apa yang disebut sebagai hak, secara lebih sederhana, tidak lain adalah sesuatu yang ‘melekat’ dalam diri setiap individu manusia. Hak itu secara given ada sejak manusia dilahirkan. Prinsip mendasar tersebut sebagai cara pandang bagaimana menerapkan lebih jauh tentang kesetaraan warga.

Masih dengan pemaparan sesi dari Dr. Zainal Abidin Bagir, yang menjelaskan secara rinci, perjalanan Hak Asasi Manusia (HAM), yang selanjutnya diteruskan berbagai instrumen penerapan keseteraan warga yang ada di Indonesia. Sebagai instrumen hukum internasional, HAM diterapakan di seluruh dunia atau tepatnya anggota dari PBB, termasuk di Indonesia. Di bagian pemaparan materi ini, banyak disinggung, sejarah, teori, dan implementasi prinsip-prinsip HAM.

Tanpa ada upaya yang lebih serius negara untuk menghormati, menghargai dan memenuhi hak sipil, politik, budaya, ekonomi, dan sosial kepada setiap warga negara, maka pengelolaan keragaman akan jauh panggah dari api. Prinsip HAM menyasar itu, artinya tanggungjawab negara terhadap setiap individu masyarakat. Di lain cluster, masyarakat sebagai elemen terpenting dalam negara-bangsa yang demokratis, juga memilki peran penting dalam upayanya menerapkan ranah prinsip kesetaraan warga, seperti gerakan perdamaian, gotong-royong, dan sebagainya.

Identifikasi masalah

Sebelum melangkah jauh ke pembahaan meteri selanjutnya, dua puluh tujuh peserta melakukan identifikasi masalah berdasarkan yang apa yang dialami di sekitarnya. Ada banyak hal, yang sekurang-lebihnya, menjadi lokus utama atau isu bersama yang dibawa oleh perwakilan peserta setiap daerah tersebut.

Secara umum, identifikasi masalah meliputi, misalnya masalah Perda Syariah di Tasikmalaya dan Sukabumi, kearifan lokal masyarakat di salah satu daerah di Subang, dengan pengalaman mengelola konflik Islam dan Komunis, penutupan dan penyegelan rumah ibadah yang terjadi di Bandung, Kuningan, dan Sukabumi. Juga isu-isu radikalisme dan kelompok intoleransi agama yang terdapat di Bekasi dan Cirebon. Dan sekian masalah dan isu, yang tujuan pembahasan ini tidak lain untuk bekal pengetahuan di kemudian hari.

Kesemuanya dirangkum dalam satu pembahasan. Tanpa adanya tujuan satu penyeragaman pandangan, masalah-masalah yang menjadi bahan diskusi tadi, setidaknya, ada perhatian khusus, pertama, berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman advokasi. kedua menganalisa masalah-masalah berikut upaya-upaya penanganannya yang bisa terus dilakukan dan ketiga, sebagai upaya bersama dalam merumuskan grand strategi.

Tentu sesuatu yang berharga, mendapatkan cerita-cerita dan pengalaman dari orang-orang yang sudah ahli di bidangnya. Advokasi berbasis narasi sejarah adalah sekian hal baru yang didapat penulis. Sejarah sebagaimana ilmu dan pengetahuan lainnya, memiliki keunggulan tersendiri. Berangkat dari sini, sejarah Jawa Barat sebagai pertemuan tatar Sunda-Jawa punya cerita khusus, bagaimana narasi keharmonisan dan keragaman terbentuk.

*Penulis adalah Ketua Umum PELITA

*Tulisan ini adalah bagian refleksi mengikuti Sekolah Program Keragaman (SPK) CRCS UGM, 28 November-04 Desember 2015

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.