Sejarah Keragaman & Identitas di Jawa Barat

Sejarah Keragaman & Identitas di Jawa Barat

Oleh: Abdurrahman Wahid

Jawa Barat, sebagai wilayah provinsi yang memiliki demografi cukup luas, memilki pula sejarah panjang bagaimana awal mula ia terbentuk. Secara lebih spesifik, Nurdin M Noor, budayawan asal Cirebon, membuka cakrawala pengetahun dengan tema materi “sejarah Identitas Jawa Barat”. Tema ini berangkat, salah satunya, merespon isu aktual yang tengah jadi perdebatan hangat di kalangan akademisi, tentang penggubahan nama Jawa Barat dengan nama provinsi Pasundan.

“Upaya demikian tak patut dibenarkan,” kata Nurdin. Argumentasinya: sejarah Jawa Barat itu tidak sepenuhnya terjadi di tanah Pasundan, tapi juga di Cirebon, Indramayu, dan kawasan Priangan. Selain itu pula, upaya mengubah ke nama Pasundan, tentu saja, akan menebalkan segregasi antara masyarakat Sunda dan Jawa. Berdasarkan data sejarah misalnya, Jawa Barat terdiri atas tiga etnis dan tiga: Sunda, Cina, Jawa. Hal itulah yang menjadi awal diskusi pada sesi ke empat, dalam kegiatan Sekolah Pengelolaan Keragamaan (SPK), CRCS UGM, 28 November-04 Desember 2015

Sejarah identitas Jawa Barat, sayangnya masih belum begitu tuntas dibahas di forum. Ada beberapa hal yang menjadi catatan pada sesi ini, karena sejarah yang diulas masih terfokus pada sejarah Cirebon, bukan Jawa Barat secara keseluruhan. Akan tetapi, keadaan tersebut, dimanfaatkan betul oleh peserta yang berasal dari tataran Sunda, seperti Bandung, Subang, dan Tasikmalaya, untuk membahas secara lebih panjang tentang penjelasan Paksi Nagaliman.

Konon, Paksi Nagaliman merupakan simbol keragaman yang terdapat di Cirebon. Ia sebentuk kendaraan yang digunakan oleh Sunan Gunung Jati Cirebon, yang memiliki bentuk a) berkepala naga b) bersayap seperi burung buruk 3) berbadan gajah. Ketiganya menyatu, yang mengisyaratkan bahwa di Cirebon sendiri punya tiga peradaban besar yang bersatu-padu, naga sebagai representasi dari Cina, Burok merupakan lambang agama Islam dan Gajah tidak lain punya posisi istimewa dalam tradisi umat Hindhu.

Di tambah pula, wilayah “Cirebon” memiliki derivasi Caruban, yang artinya campuran atau keragaman. Historisitasnya bahwa pada masa dulu, Cirebon sebagai kota megapolitan pada tahun 1955 masehi atau 791, yang menceritkan di sebuah pesisir ada bekas pelabuhan yang pernah disinggahi Cheng ho Muara Jati. Di caruban ini beberapa agama dan etnis datang. Terakhir adalah islam sebelum kristen masuk abad 15. Mereka sepakat kampung itu bernama caruban, di sunda urab, campuran, jadi carbon, Cirebon.

Politik Identititas

Segendang sepenarian, ulasan materi Nurdin M Noor disambut dan diteruskan oleh Syamsul Maarif, salah satu pengajar di CRCS UGM. Baginya, pada sesi yang dibahas selanjutnya, terdapat dua polarisasi identitas, yaitu identitas sebagai sesuatu yang taken for granted, or then something to given, dan identitas sebagai sesuatu yang dihasilkan dari proses konstruksi.

Kapan awal mula orang disebut sebagai Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Batak, dan lainnya? Bagaimana proses ini terjadi? Pertanyaan mendasar itu diajukan, lebih untuk masuk secara mendalam mengenai proses identitas yang melekat dalam diri manusia; yang mungkin saja terkesan rumit. Namun di tengah tali-temali kerumitan itu, tujuan daripadanya adalah agar senantiasa memahami identitas dan menjadi fondasi keragaman dalam mencapai proyeksi, atau tujuan bersama. Sampai di sini, “identitas” akan berbahaya manakala hal itu dijadikan instrumen politis.

Seperti ditegaskan oleh Trisno Sutanto, Fasilitator dari Madia (Masyarakat Dialog Antar Agama dan juga sebagai Pengurus Litbang PGI), yang membahas politisasi identitas di zaman Orde Baru. Sekiranya ada empat point penting di sini, pertama, di masa Orba negara melakukan “penunggalan identitas”. Tanpa disadari, yang demikian itu, masih terasa sampai hari ini. Frase “Jati diri” dikenalkan sebagai pengganti identitas. Akibatnya, politisasi identitas tersebut membawa dampak seakan-akan ada identitas yang sejati, contoh kasus: kebijakan ketahanan pangan yang diterapkan bahwa semua orang Indonesia makan nasi, padahal di lain tempat seperti Papua, makanan sehari-harinya adalah sagu, seolah terpinggirkan.

Kedua, politik SARA. Bahaya dari adanya kebijakan politik tersebut, kita dihadapkan pada situasi yang tabu ketika membicarakan tema-tema tentang perbedaan, keragaman. Menggabungkan dua hal yaitu Suku (Given) dan Agama (Konstruksi). Ketiga, Politik perukunan, yaitu UU PNPS No 1 tahun 1965, atau pasal penodaaan agama. Dan terakhir, otonomi daerah sejak tahun 1999 dan 2000 atau bahasa lainnya desentraslisasi. Ide awalnya, menurut Pak Trisno, sebenarnya untuk memotong kekuasaan orde baru yang sentralistik. Akan tetapi dalam praktiknya berantakan. Apa yang menjadi kebijakan di otonomi daerah penting bagi kita membicarakan identitas: menemukan bentuk-bentuk syariat Islam yang diterapkan di berbagai daerah dan pertarungan raja-raja kecil yang memakai dua hal, pertama uang kedua agama.

Dalam kaitanya politik identitas, arah yang akan dituju pada bagaimana konstruksi identitas ketika dalam konteks peran sosial. Pertanyaan pentingnya: siapa yang sesungguhnya ditakutkan? Jika agama memiliki musuh imajiner, maka yang dimunculkan kemudian siapa yang akan dikambinghitamkan, arah konfliknya ke mana? Saat masa Orde yang menjadi korban kambing hitam lalu adalah Etnis Cina. Syahdan, dari sini penulis merefleksikan satu hal: dewasa ini konstelasi perebutan makna tunggal atas sebuah konsep tunggal “Khilafah”. Konstelasi itu melahirkan konflik berkepanjangan yang juga, mau tak mau, sampai ke Indonesia. Jika dulu, tak pernah ditemui konflik terbuka intra-agama dalam Islam, maka hari ini yang menjadi kambing hitam atas kondisi demikian adalah Ahmadiyah, lalu Syiah.

*Penulis adalah Ketua Umum PELITA

*Tulisan ini adalah bagian refleksi mengikuti Sekolah Program Keragaman (SPK) CRCS UGM, 28 November-04 Desember 2015

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.