
Oleh: Hasyim (kord. departmen riset pelita perdamaian)
pesantren babakan ciwaringin memiliki historisitas yang gemilang, bagaimana peran dan kontribusinya dalam membentuk peradaban Indonesia. Ia hadir bersama nila-nilai keislaman yang tumbuh dan berkembang, seturut karakter dasar bangsa Indonesia: terbuka terhadap nilai nilai keragaman. Sebagaimana prinsip ini di kembangkan oleh dunia pesantren selama ini, bahwa cita-cita terbesar adanya pesantren adalah keislaman santri yang sepenuhnya berwawasan nusantara.”
***
Pesantren merupakan salah satu tempat pendidikan agama Islam tertua di Indonesia. Dilihat dari sejarahnya, pesantren mengalami perkembangan yang begitu dinamis dalam menghadapi permasalahan zaman.
Dalam konteks saat ini, Indonesia sedang dirongrong oleh gerakan-gerakan intoleransi yang secara masif muncul ke permukaan, terkhusus di Jawa Barat, sebagaimana laporan dari beberapa lembaga survei terkait kasus intoleransi di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir Jawa barat menempati posisi pertama. Dan pesantren dalam hal ini, pesantren Bapenpori menjawab permasalahan tersebut dengan terbuka dan berani untuk menerima “Nyantri” pemuda-pemudi gereja.
Melihat fakta ini, akhirnya Pelita perdamaian berikhitar untuk menggeliatkan kembali proses dialog-partisipasif dalam isu perdamaian, khususnya anak muda untuk saling terbuka dan toleransi antar umat beragama, sebagaimana asas berdirinya bangsa ini dibangun atas keberagamaan dan persatuan.
Melalui program yang bertajuk Living Value Education (LVE) atau pesantren lintas iman, GKI Klasis Cirebon (GKI Pamitran Cirebon & GKI Jatibarang) bersama Pelita bekerjasama dengan Pesantren Bapenpori untuk melakukan kegiatan bersama yaitu, pemuda-pemudi gereja belajar mengenai Islam selama 3 hari dua malam pada tanggal 31 maret sampai tanggal 2 april di pesantren Bapenpori Babakan.
Beragam motivasi dan tujuan dari peserta untuk mengikuti acara ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Jonathan Bagus Wicaksono (ketua remaja gereja pamitran), yaitu ingin menambah wawasan soal keilmuan islam di pesantren, dan juga persahabatan. Acara ini juga hendak mencairkan sebuah ketegangan antar umat beragama dalam hal ini Islam dan Kristen. Dan mengubah cara pandang mereka terhadap relasi antar agama yang lebih harmonis.
Menurut penuturan dari Cahyaning Tyas (salah satu peserta dari GKI Pamitran) ketika kami wawancara terkait persepsi dia sebelum dan sesudah mengikuti acara ini ialah:
“Ketika di sekolah kebanyakan temen temen muslim itu membanding bandingkan antara agama Islam dengan agama saya, terkadang itu menyakiti hati saya, tapi ketika saya mengikuti acara ini ternyata tidak semua orang muslim itu suka membanding-bandingkan agama, di sini temen-temen muslim itu yang pertama, mereka welcome banget orang-orangnya, dulu di sekolah negeri, pertama kita masuk orang orang pada ngeliatin kita karena seragam kita beda sendiri, pakai rok pendek, gak pakai kerudung, tapi disini kita gak pakai kerudung, lengan pendek, dan mereka tetep senyum dan welcome.”
Begitupun menurut Agustin (peserta LVE yang masih SMP) “orang-orang di sini welcome banget, sampe berbagi kasur mereka tidurnya di selimut, pokonya baik banget.”
Pandangan Para Santri di Pesantren
Dalam prosesnya, peserta secara perlahan memahami bahwa perbedaan bukan menjadi penghalang untuk mereka berteman. Suasana ini mereka perlihatkan pada setiap jeda kebersamaan saat melakukan aktivitas di pesantren, di antaranya: ketika makan bersama, diskusi bersama, bahkan tak jarang dari mereka yang sengaja tidur pada larut malam untuk saling berbagi dan bertukar -baik dari pengalaman, kebiasaan, dan bahkan soal yang paling personal mengenai keyakinan.
Karena salah satu yang menjadi prinsip dari Pelita ialah menghadirkan ruang dialog dan pembelajaran serta pemahaman sebuah agama dan kepercayaan melalui sumbernya secara langsung. Misalnya ketika para santri ingin mengetahui secara mendalam tentang apa itu kristen, maka Pelita menghadirkan langsung penganut kristen, begitupun sebaliknya.
Pola ini yang terus kita jaga, sehingga peserta mendapatkan pemahaman secara utuh, yang kami sebut dengan pola interrelijius. Sehingga dari segi materi lebih menekankan pada pengetahuan pengetahuan dasar dan mendalam dari komunitas yang dituju dalam hal ini Pesantren, seperti sejarah pesantren babakan, Pengajian Sorogan, peran NU dan Pesantren dalam menghadapi permasalahan Bangsa, dan juga soal spritualitas agama-agama.
Dari kegiatan ini lahirlah harapan harapan baru, bahwa anak anak bangsa hari ini sedikitnya 50 orang telah berhasil membuka kesadaran dan pikirannya tentang pentingnya toleransi dan persatuan. Selama tiga hari acara ini berlangsung ikatan emosional dan persaudaraan antar mereka sudah terjalin.
Di akhir perjumpaan mereka, satu sama lain saling mengucapkan salam perpisahan dan pesan perdamaian, mereka saling mengucapkan “selamat menjadi duta perdamaian di Indonesia”
Comments Closed