
16 Oktober 2015. Di waktu siang dengan terik mentari masih bersinar menyegat, tepat di ubun-ubun kepala, berduyun-duyun orang mendatangi Gedung PCNU, Sumber, Kabupaten Cirebon. Jarum jam menunjukkan pukul 13.45 WIB. Di gedung yang berkapasitas 200 orang tersebut, sedang mempersiapkan dan menyelenggarakan sebuah acara: “Halaqoh: Kontra Radikalisme di Cirebon.”
Acara yang diselenggarakan oleh PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama) Cirebon bekerjasama dengan Polres Cirebon, Kodim 0629, dan Kemenag Kabupaten Cirebon, sedianya merupakan rangkaian acara yang sengaja digelar demi menyambut Hari Santri Nasional, yang jatuh pada 22 Oktober 2015. Hari Santri Nasional, tentu saja, telah sah secara hukum berdasarkan undang-undang no 22 tahun 2012.
K.H. Usamah Mansyur, mewakili pengurus MWC NU Cirebon, dalam sambutannya, membeberkan beberapa fakta bagaimana tema dalam acara ini dibuat. “Kontra Radikalisme, Pungkasnya, merupakan perjuangan yang mesti digalakkan terus menerus, demi memangkas virus-virus radikalisme yang dapat berpotensi besar merongrong keutuhan NKRI tercinta.”
Memasuki acara inti, halaqoh pun dibuka. Dengan nada berapi-api, menyemangati para hadirin yang sekurang-lebihnya berjunlah 300 orang, Dr. Sholahuddin (Pakar Terorisme dari Universitas Indonesia/UI) memulai presentasi. Terorisme memang semestinya menjadi musuh bersama. Ini menjadi catatan penting, bagaimana genealogi, pergeseran ideologi dan strategi pendanaan terorisme dikupas-tuntas oleh Pemateri.
Lalu bagaimana koherensi antara radikalisme dan terorisme? Kedua terminologi, yang nyaris di awal sampai akhir acara mengemukan ke permukaan.
Membeberkan data-data secara detail, Dr. Sholahuddin, mengawali dengan rentang waktu terjadi pergeseran-pergeseran di tubuh gerakan terorisme itu sendiri. Pertama, rekam data kasus terorisme di Indonesia selama kurun waktu 2012-2015 telah terjadi 230 aksi terorisme. Akan tetapi dari skala kurun waktu itu, kreatifitas akan aksi terorisme senantitas berubah-ubah. Berkembang secara dinamis dan sporadis. Seperti yang ia contohkan: pada kurun tahun lalu, kelompk terorisme melakukan aksi peracunan yang mereka bikin dengan Buah Jarak, yang menyasar dan dikirim ke kantor-kantor polisi di seluruh Jakarta.
Yang lebih mencengangkan: aksi pembakaran Pasar Glodok Jakarta. Kelompok terorisme mengklaim hal tersebut sebagai aksi balas dendam terhadap orang-orang di Pasar Glodok, yang mereka sinyalir beragama Budha. Balas dendam yang membara untuk solidaritas Muslim Myanmar.
Kedua, pergesaran Common Enemy. Penentuan musuh bersama oleh kelompok terorisme merupakan bagian tak terpisahkan atas aksi-aksi mereka. Jika dulu, musuh mereka adalah Pemerintah Amerika beserta sekutunya, maka hari-hari ini, kemudian berubah menjadi pemerintah Indonesia sendiri. Barangkali karena ia beranggapan seputar thaqut atau pemerintah Kafir. Terlepas bagimana pola penentuan “musuh” dalam kamus besar gerakan terorisme, yang menjadi bahan penting lagi: Bagaimana strategi pendanaaan kelompok terorisme tersebut, sehingga mereka dapat melancarkan aksi-aksinya?
Lalu, Dr. Sholahuddin, melanjutkan, bahwa terjadi pergeseran pula dalam hal pendanaaan, dari kucuran dana oleh Osama Bin Laden yang berubah pendanaan di tingkat lokal (dalam istilah kelompok ini adalah Muhsinin). Mereka secara lihai, meyakinkan bahwa aksi mereka adalah benar. Padahal, melakukan perbuatan makar terorisme adalah merusak tatanan kehidupan bangsa.
Tatanan kebangsaan itu, disinggung lebih lanjut, oleh Dr. Ahmad Suady, seorang akademisi dari Pusat Penelitian Abdurrahman Wahid UI Jakarta. “Benih-benih radikalisme berawal dari tindakan intoleransi,” ungkapnya. Oleh karenanya, niscaya dalam menghadang masuknya virus radikalisme dengan penguatan civil-society. Masyarakat bersama-sama membentengi diri dan keluarga. Dengan demikian, akan terbentuk karakter nasional yang mencintai Kebhinnekaan.
Menyambut materi yang disampaikan kedua para pakar tersebut, Kodim 0629 dan Wakapolres Cirebon, menganjurkan agar dilakukan upaya bersama dalam pencegahan benih-benih terorisme di masyarakat. Negara beserta elemen pemerintahnya, alih-alih, mengemban amanat dan tanggung jawabnya dalam mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat, sudah semestinya, melakukan upaya riil yang mampu meneguhkan Indonesia Sebagai Rumah Bersama.
(Liputan By; Sandriyanie Omen)
Comments Closed