Rohingnya: Realitas Perdamaian Bicara

Rohingnya: Realitas Perdamaian Bicara

Oleh: Risma Dwi Pani

Perdamaian menjadi sebuah term sentral jika terjadi konflik. Entah itu konflik yang sifatnya sempit ataupun luas. Jika ada peperangan atas nama apapun dengan kedok apapun kata yang menjadi tujuan tertinggi ialah perdamaian.

Seperti ketika mata manusia melihat pemandangan yang sebelumnya belum pernah disaksikan dan ternyata memang sangat menakjubkan. Sensasi itu pula yang dirasakan oleh misalnya sebuah wilayah atau orang yang selalu mengalami konflik. Alangkah indah dan seksinya jika dapat menyatukan perbedaan tanpa adanya pemaksaan. Demikian pula kaitannya dengan kasus rohingya yang beritanya cukup tersebar luas. Yakni kekerasan yang terjadi pada muslim rohingya, namun tak bolehnya langsung menelan mentah-mentah berita yang beredar. Lalu, bagaimanakah kasus sebenarnya? dan mengapa term damai menjadi sesuatu yang sangat penting??

Realitas Rohingya

Akhir-akhir ini pembicaraan mengenai Rohingya menjadi tranding topik, seperti beredarnya pamflet yang menggambarkan keadaan di Rohingya. Sampai-sampai dari beberapa organisasi kampus ataupun ekstra banyak yang menulis sebuah slogan yang initinya “selamatkan muslim rohingya”. Pada pamflet yang beredar menggambarkan seakan-akan ada sesuatu yang terjadi disana dan itu adalah kasus yang kritis.

Menurut, kabar yang beredar menyatakan bahwa ada doktrinasi Buddha terhadap muslim rohingya selain itu pula menyatakan bahwa Buddha ialah teroris. Kabar-kabar seperti inilah yang beredar di kalangan umum, sehingga akan terjadi multi tafsir dan berbagai kemungkinan menanggapi berita tersebut. Dengan tanpa meninjau ulang berita sebenarnya masyarakat akan percaya begitu saja dengan kekerasan yang terjadi disana.

Myanmar, atau lebih dikenal dengan Burma ini memiliki populasi estimasi kurang lebih 66 juta penduduk di tahun 2010. 89% diantaranya memeluk agama Buddha, berikutnya 4% memeluk nasrani dan 4% berikutnya memeluk Islam. Berbicara mengenai Myanmar atau rohingya ini terdapat selentingan bahwa semua orang Myanmar ini “sadistic killer”. Karena apa yang terjadinya pembantaian terhadap muslim Rohingnya.

Namun, mungkin hal tersebut tidak selamanya benar seperti dalam beberapa tulisan yang beredar di media sosial, yang merupakan curhatan dari seorang berkebangsaan Myanmar. Yang menyatakan bahwa pembantaian ini adalah akses dari banyaknya pendatang dari luar Myanmar yang tinggal di area yang sekarang ditempati oleh Rohingnya. ia bercerita tentang apa yang terjadi di Myanmar tidaklah seperti yang beredar yakni “Islam membenci Buddha” dan juga sebaliknya “Buddha membenci Islam”.

Faktanya, Yangoon, ibukota Myanmar sudah lama dihuni warga beragama Islam, dan bahkan sejak zaman masih kerajaan pun sudah ada. Masjid juga ada didirikan dimana-mana, di seluruh Myanmar, dan tak pernah ada masalah tersebut. Keharmonisan antara warga beragama Islam dan warga beragama Buddha sebagai mayoritas juga tak pernah terganggu.

Pokok permasalahan di Myanmar sebenarnya bukanlah perihal agama  yang selama ini didengungkan oleh media baik luar negeri dan mungkin di Indonesia sendiri, sehingga tak pelak demonstrasi di berbagai kota di Indonesia terkait Rohingnya merebak. Ada aturan hukum yang dijunjung tinggi di Myanmar, dimana warga pendatang baru bisa menjadi warga Myanmar kalau sudah tinggal di Myanmar selama 3 generasi, yang berarti jika cucu orang tersebut sudah lahir, maka dengan beberapa proses dia dapat menjadi warga Myanmar.

Fakta berikutnya yang diutarakan dalam etnis Myanmar itu ialah bahwa etnis Rohingnya adalah pendatang yang dapat “seenaknya” melintas batas masuk ke Myanmar tanpa “permisi” ke imigrasi, karena memang rohingya berada pada perbatasan di dekat Nepal dan Bangladesh yang tak berpagar, juga tak ada petugas imigrasi yang bertugas. Dan mereka sebagai pendatang seenaknya masuk  dan tinggal di Myanmar bagian utara (yang berdekatan dengan Nepal dan Bangladesh), minta diakui sebagai warga negara Myanmar, padahal mereka baru tinggal di situ kurang dari 3 generasi.

Banyak diantara etnis Rohingnya yang tak mampu berbahasa Myanmar, atau bahkan membaca aksara Myanmar pun tak bisa. Pokok permasalahan timbul ketika mereka ingin berpisah dari Myanmar dan membentuk negara baru di kawasan tersebut, setelah permohonan kewarganegaraan mereka ditolak. Daerah yang diduduki etnis Rohingnya itu kabarnya juga merupakan tempat sumber gas alam terbesar di Myanmar.

Masalah ini yang jarang diketahui oleh orang banyak. Lantaran banyaknya imigran gelap dan secara tidak senonoh meminta bagian tanah dan segala yang melingkupinya ini merupakan masalah awal. Dan akhirnya perepcahan timbul ketika tersiar berita bahwa perempuan asli Myanmar diperkosa oleh 3 orang muslim. Pembalasan kemudian dilakukan oleh warga Myanmar (yang kebetulan mayoritas Buddha), dan 10 orang muslim tewas. Pembalasan dilakukan kembali oleh kubu Rohingnya setelah sholat Jum’at, dan akhirnya juga memakan korban, demikian terus hingga kasus tersebut membesar, hingga kasus bakar-bakaran yang memakan banyak korban jiwa.

Dari berita menjadi sebuah berita. Pemberitaan tentang pemerkosaan tersebut bisa saja salah. Karena terdapat berbagai kemungkinan yang ada atas berita tersebut, bisa jadi memang dari salah seorang imigran gelap menyulut emosi warga asli Myanmar ataupun kemungkinan lainnya. Seperti kasus lain yang beredar luas pula yang mangatasnamakan agama sebagai penyulut peperangan. Dan yang menjadi sorotan menarik memang isu agama.

Damai itu seksi, kawan!!

Melihat kasus rohingya memang akan mudah tersulut emosi dengan berbagai berita yang beredar. Dengan demikian, maka dalam pemilahan berita haruslah cerdas dan tak boleh langsung menyerap begitu saja berita awalnya. Disinilah musti adanya verifikasi agar tak ada kesalahpahaman yang terjadi. Bertolak dari kasus tersebut yang menjadi sorotan ialah perpecahan atas nama agama padahal ada kasus lain yang sengaja ditutupi dengan topeng agama. Jadilah, kasus yang bersembunyi itu tak akan tersorot apalagi dibahas, lantaran disibukan dengan kasus berbaju agama.

Teringat sebuah kasus yang hampir mirip dengan rohingya yakni kasus sampang Madura yang sebenarnya ialah perebutan wilayah, namun yang menjadi kedok untuk menutupinya ialah baju agama. Yakni menyatakan bahwa syi’ah diserang, lalu syi’ah memohon keadilan pada presiden SBY saat itu dengan konvoi menggunakan sepeda ontel untuk sampai ke Jakarta demi menyalurkan aspirasinya.

Tak penting rasanya jika menyembunyikan kasus sebenarnya dengan kedok agama. Alangkah indahnya jika perdamaian terjalin satu sama lain. Dalam curhatan salah seorang etnis Myanmar pun menyatakan bahwa sampai sekarang pun kehidupan beragama masih tetap terjalin rukun tanpa ada perpecahan. Dan menurutnya pula kekerasan yang terjadi tak lain ialah demi mempertahankan hak mereka sebagai warga asli rohingya. Selain rohingya terdapat kasus kekerasan yang cukup panjang yakni antara palestina dan Israel dengan menggemborkan isu agama di dalamnya.

Kesadaran kritis kini haruslah mulai dibangun, bahwa semua agama yang ada di dunia ini pada dasarnya mengajarkan tentang kebaikan. Tak ada doktrin yang kemudian melenceng dari nilai kemanusiaan. Baik itu Buddha, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Konghuchu, atau aliran kepercayaan yang meneyebar di seluruh penjuru dunia. Dan dari kesamaan nilai dasar inilah kata yang dijunjung tinggi ialah “Perdamaian”. Dan term perdamaian ini seperti halnya tubuh yang seksi, yakni menciptakan keindahan.

Untuk menjadikan suatu perdamaian memang haruslah dengan usaha yang cukup keras, dan juga perlu adanya agen perdamaian yang menyebarkan pesan cinta damai ke seluruh sudut penjuru dunia. Dengan hadirnya seorang agen perdamaian setidaknya meminimalisir konflik yang terjadi di realitas masyarakat yang notabene makhluk sosial. Dengan demikian, kaitannya dengan Indonesia yang juga memiliki nilai luhur dengan semboyannya yakni bhineka tunggal ika ini akan semakin mendarah daging dalam diri tiap masyarakatnya. Dan juga nilai yang mengajarkan perdamaian bagi seluruh umat manusia yang tentunya untuk kemaslahatan manusia seluruhnya.

*penulis adalah Pengurus Koordinator Riset dan Kajian Ilmiah Pelita Perdamaian. Tulisan ini dimuat di HU Radar Cirebon, Juni 2015. 

sumber gambar: internet

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.