
Oleh: Diaz Alauddin*
Orang yang memperkenalkan pertama kali istilah folklor adalah William John Thoms, seorang ahli kebudayaan antik (antiquarian), Inggris. Istilah ini diperkenlkan pertama kali pada waktu ia menerbitkan sebuah artikelnya dalam majalah the Athenaeum no, 982, tanggal 22 Agustus 1846, dengan menggunakan nama samaran Ambrose Metton (1846:862-863). Dalam surat terbuka itu, thoms mengakui bahwa dialah yang telah menciptakan istilah folklore untuk sopan santun Inggris, takhayul, balada dan sebagainya dari masa lampau, yang sebelumnya disebut dengan istilah antiquities, popular antiquities, atau popular literature (Dundes, 1965:4).
Folklore, terdiri dari kata folk dan lore. Folk sama artinya dengan kata kolektif (collectivity), Menurut Alan Dundes, adalah sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya, yang telah mereka warisi turun-temurun sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui dan sadari sebagai milik bersama dalam kesatuan masyarakat. Sedangkan lore, adalah tradisi folk yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemoic device).
Dengan kata lain folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. (hal 1-2)
Istilah folklore dalam bahasa Inggris diciptakan sebelum munculnya istilah culture, (lebih lambat 19 tahun) oleh E.B. Tylor tahun 1865. Istilah culture ia ajukan dalam karangannya yang berjudul Researches into the Earlly History of Mankind an the Development of Civilization. Istilah ini ia uraikan dengan arti ‘kesatuan yang menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan semua kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat’ (1871; jilid 1;1)
Namun Istilah culture telah menggeser istilah folklore untuk diidentifikasikan dengan kebudayaan pada umumnya, sedangkan folklor hanya dipergunakan dalam arti kebudayaan yang diwariskan melalui lisan saja.
Folklor berbeda dengan tradisi lisan, karena tradisi lisan mempunyai arti yang lebih sempit, hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat, sedangkan folklor mencakup lebih dari itu, seperti tarian rakyat dan arsitektur rakyat.Istilah folklor merupakan istilah dwitunggal yang perlu mendapatkan perhatian yang sama dalampenelitian, tidak terbatas pada tradisinya (lore) saja, tetapi juga manusianya (folk)- latar belakang sosial-budaya, maupun psikologi dari kolektifnya
Jadi kita juga perlu untuk mengamati lingkungan fisik suatu bentuk folklor yang dipertunjukkan, lingkungan sosialnya, interaksi para peserta suatu pertunjukkan bentuk folklor, pertunjukkan bentuk folklor itu sendiri, dan masa pertunjukkan folklornya.
Berikut ciri pengenal utama folklor pada umumnya:
- Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan
- Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam standar tertentu
- Ada dalam versi-versi bahkan varian yang berbeda, karena terjadi proses pelupaan diri, atau terjadi interpolasi (penambahan unsur baru pada bahan folklor)
- Bersifat anonim, penciptanya sudah tidak diketahui lagi
- Biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola
- Mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif
- Bersifat pralogis, mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika umum (terutama pada folklor lisan dan sebagian lisan)
- Menjadi milik bersama dari kolektif tertentu
- Pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali terlihat kasar, terlalu spontan.
Berdasarkan perlakuannya, Wm. Hugh Jansen membagi folklor menjadi 2; yang bersifat esoteris (esoteric) hanya diperuntukkan khusus bagi orang dalam kolektifnya saja dan yang bersifat eksoteris (exoeric), umum, tidak dirahasiakan (Jansen, 1965;43-51).
Fungsi folklor menurut William R, Bascom. Guru besar emeritus dalam ilmu folklor di Universitas California di Berkeley ada 4: (a) sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif; (b) sebagi alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan; (c) sebagai alat pendidikan anak; dan sebagai alat pemaksa dan pengawasan agar norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya (Bascom 1965;3-20).
Penelitian folklor berguna untuk mengabadikan apa yang dirasa penting (dalam suatu masa) oleh folk pendukungnya. Hal ini berbeda dengan etnografi, karena suatu etnografi lebih merupakan hasil rekonstruksi kebudayaan suatu suku bangsa oleh peneliti di tempatnya, sehingga apa yang diabadikan, sebenarnya adalah apa yang dianggap penting untuk penelitian seorang etnograf, bukan oleh pendukung kebudayaan itu sendiri.
Contoh penelitian folklor adalah, penelitian yang dilakukan W.H. Rassers dan .P.B. de Josselin de Jong yang mempergunakan teori strukturalis sosial dalam menganalisa folklor Indonesia. Rassers misalnya telah mencoba menunjukkan adanya kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari legenda, upacara, dan struktur social Jawa. Untuk membuktikan, ia telah menganalisa hal itu, dalam sesertasinya ‘Wayang, Siwaisme, Budisme, Legenda, dan Keris Jawa’ (Rassers, 1959)
Sedangkan Philip Fric Mc Kean, penganut eckecticisme (paham yang mengambil yang terbaik dari semua system), sewaktu meneliti tokoh Kancil, ia berpendapat bahwa orang Jawa selalu mendambakan keselarasan keadaan dan menghargai sifat cerdik yang tenang (cool intelegence) seperti yang dimiliki Kancil sewaktu menghadapi kesukaran, sehingga dapat dengan cepat tanpa banyak emosi memecahkan masalah rumit (McKean, 1971; 21).
Pembagian Jenis Folklor
Jika kebudayaan memiliki tujuh unsur universal, yakni sistem mata pencaharian (ekonomi) sistem peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi, maka folklor menurut Jan Harold Brunvand, AS, dapat digolongkan kedalam 3 kelompok, yaitu folklor lisan (verbal folklore), folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), dan folklor bukan lisan (non verbal folklore) (brunvand, 1968; 2-3).
- Folklor lisan
Folklor lisan, adalah folklor yang bentuknya murni lisan, yang termasuk kedalam bentuk folklor lisan antara lain: (1) bahasa rakyat (folk speech), seperti logat, julukan, pangkat tradisional,dan titel kebangsawanan; (2) ungkapan tradisional, seperti pepatah, peribahasa, dan pemeo; (3) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (4)puisi rakyat, seperti pantun, guridam dan syair; (5)cerita prosa rakyat seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (6) nyanyian rakyat.
- Folklor sebagian lisan
Folklor sebagian lisan, adalah folklor yang bentuknyamerupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Bentuknya adalah kepercayaan rakyat (yang terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerakan isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib), permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara pesta rakyat, dan lainnya.
Dalam penelitian perihal tari rakyat, peneliti harus pula menguasai pegetahuan tentang notasi music maupun tari, seperti not balok (tata nada lagu) dan notasi tari yang dikembangkan oleh Rudolf Laban yang disebut labanotation (Hutchinsn, 1954), atau notasi tari yang dikembangkan oleh Joan dan Rudolf Benesh yang dikenal dengan istilah Beneshnotation (Causley, 1967)
- Folklor bukan lisan
Folklor bukan lisan, adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompokini dibagi lagi menjadi 2 sub, yaitu ‘yang material’ dan ‘yang bukan material’. Yang material, antara lain arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya, termasuk peralatan dalam suatu pertunjukkan); kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan tubuh adat; masakan dan minuman rakyat; dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang bukan material antara lain gerak isyarat tradisional (gesture); bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya atau bunyi gendang); dan musik rakyat.
Contoh folklor lisan
- Bahasa rakyat
Contohnya adalah logat (dialect);
Bentuk lain bahasa rakyat adalah slang, menurut kamus Webster New World Dictionary of the American League (1959), asal slang adalah kosa kata dan idiom para penjahat gelandangan atau kolektif khusus, maksud diciptakannya bahasa slang ini adalah untuk menyamarkan arti bahasanya terhadap orang luar. Pada masa kini slang dalam arti khusus itu (bahasa rahasia) disebut cant.(contoh coklat yang diartikan sebagai polisi);
Cant khusus sering disebut juga argot, yang menyisipkansuku kata tertentu di dalam setiap istilah bahasa Indonesia (contoh: suku kata in, dalam cinakinep, dengan asal kata cakep);
Contoh lain slang adalah shop talk, bahasa pedagang, terutama untuk menyatakan angka (contoh:cepe,berarti seratus); Selanjutnya bentuk lain slang adalah colloquial, yaitu bahasa sehari hari yang menyimpang dari bahasa konvensional, fungsinya berbeda dengan jargon. Jargon dipergunakan para sarjana untuk menambah gengsi, sedangkan colloquial dipergunakan dengan maksud untuk menambah keintiman perhubungan (contoh: centless, berarti cantik; centong, berarti lebih cantik; nasi, berarti paling cantik); Bentuk bahasa rakyat yang lain adalah Fisiogonomi (physiogonomy), yaitu julukan yang ada kaitannya dengan bentuk tubuh (contoh si pesek) Sirkumlokusi (circumlocution), yaitu ungkapan tidak langsung. (contoh: macan, diungkapkan dengan kata eyang yang sebetulnya berarti kakek) Gelar kebangsawanan; Bahasa bertingkat (speech level) seperti ngoko, madyo dan kromo inggil: Onomatopoetis (onomatopoetic), yakni kata yang dibentuk dengan mencontoh bunyi alamiah (contoh kedomprangan, yang diambil dari bunyi piring pecah ‘prang’);
Onomastis (onomastics) yakni nama tradisional jalan atau tempat tertentu yang mempunyai legenda sebagai sejarah terbentuknya. Fungsi bahasa rakyat sedikitnya ada 4 hal yaitu: (a)untuk memberi serta memperkokoh identitas folknya (slang, cant, shop talk, argot, colloquial, jargon, nama gelar, bahasa bertingkat, onomatopoetis dan onomastis); (b) untuk melindungi folk pemilik folklor itu dari ancaman kolektif lain atau penguasa (slang, cant, bahasa rahasia); (c) untuk memperkokoh kedudukan folknya pada jenjang pelapisan masyarakat (gelar dan bahasa bertingkat); (d) untuk memperkokoh kepercayaan rakyat dari folknya (sirkumlokusi dan julukan arau alias)
- Ungkapan tradisional
Peribahasa menurut Cervantes mendefinisikannya sebagai ‘kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang’, sedangkan Bertrand Russel menganggapnya sebagai ‘kebijaksanaan orang banyak yang merupakan kecerdasan seorang ‘ the wisdom of many, the wit of one, (Dundes, 1968)
Menurut Bertrand Russel karena yang menguasai secara aktif ungkapan tradisional hanya beberapa orang saja. Hal ini dibenarkan oleh Carl Wilhelm von Sydow, Swedia, orang terbagi kedalam 2 golongan, yaitu pewaris pasif (passive bearer) dan pewaris aktif (active bearer). Pewaris pasif adalah pewaris folklor yang sekedar mengetahui dan dapat menikmati suatu bentuk folklor namun tidak dapat atau tidak berminat untuk menyebarkannya secara aktif pada orang lain. golongan pertama mayoritas dan golongan kedua minoritas (von Sydow, 1948; 11-18).
- Pertanyaan tradisional
Lebih dikenal dengan nama teka-teki. Menurut Robert A. Georges dan Alan Dundes teka-teki adalah ’ungkapan lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih unsur pelukisan (descriptive), sepasang daripadanya dapat saling bertentangan dan jawabannya (referent) harus diterka‘ (Georges & Dundes, 1963; 113)
Seperti pada bentuk folklor lainnya, teka-teki mempunyai fungsi : sebagai penguji kepandaian seseorang, untuk meramal, sebagai bagian dari upacara perkawinan, untuk mengisi waktu saat bergadang menjaga jenazah, untuk dapat melebihi orang lain (Dundes, 1968;8)
- Sajak dan puisi rakyat
Kekhususan genre folklor lisan adalah bahwa kalimatnya tidak berbentuk bebas (free phrase) melainkan terikat (fix phrase) biasanya terdiri dari beberapa deret kalimat, ada yang menggunakan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah kuat tekanan suara, atau irama. Contoh puisi di jawa ada sinom, kinanti, pangkur, dan durma. (W. Meijner Ranneft, 1893) Suatu bentuk sajak yang patut diperhatikan adalah sajak untuk kanak-kanak (nursery rhyme) dan sajak permainan (play rhyme).
Fungsi genre ini sebagai alat kendali social, untuk hiburan, memulai permainan, dan menekan atau mengganggu orang.
- Cerita prosa rakyat
Menurut William R Bascom terbagi 3 golongan yaitu mite, legenda dan dongeng (Bascom 1965b, 4).
Mite menurut Bascom adalah cerita prosa yang dianggap benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa, peristiwa terjadi di dunia lain atau dunia yang bukan kita kenal dan terjadi pada masa lampau. Sedangkan legenda mempunyai ciri yang mirip dengan mite, dianggap benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci, ditokohi manusia, walaupun mempunyai sifat luar biasa dan seringkali dibantu makhluk ajaib, tempat terjadinya ada di dunia yng kita kenal kini, karena waktunya belum terlalu lampau. Sebaliknya dongeng adalah prosa yang tidak dianggap benar terjadi oleh yang punya cerita dah tidak terikat waktu atau tempat (Bascom 1965b;3-20).
Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam, dsb. Juga mengisahkan petualangan para dewa (Bascom, 1965b;4-5). Pada dasarnya persamaan mite di bebagai tempat hanya dapat diterangkan dengan dua kemungkinan, yakni (1) monogenesis, suatu penemuan yang diikuti proses difusi atau penyebaran, yang dibawa 2 orang bersaudara, Jacob dan Wilhelm Grimm atau (2) akibat dari polygenesis, yang disebabkan oleh penemuan yang sendiri (independent invention) atau sejajar (parallel iinvention) dari motif yang sama, karena adanya yang menurut Carl Yung sebagai kesadaran bersama yang terpendam (collective unconscious) pada setiap manusia yang diwarisi secara biologis.
Teori lain yang dikembangkan sejak abad ke-4 sebelum masehi, teori Euhemerisme [yang diambil berdasarkan nama Euhemeus, seorang filsuf Sisilia (330-260 S.m.)] mengatakan bahwa manuia menciptakan para dewanya berdasarkan wajah dirinya sendiri, pada hakekatnya adalah manusia yang didewakan, dan mite sebenarnya adalah kisah nyata seseorang, yang kemudian kisah tersebut mengalami distorsi (Webster New World Dictionary,(1959; 501).
Legenda seringkali dipandang sebagai ‘sejarah’ kolektif (folk history), walaupun ‘sejarah’ itu karena tidak tertlis telah mengalami distorsi, sehingga seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Oleh karena itu kita harus membersihkannya dari bagian yang mengandung sifat folklor yang bersifat pralogis. Hagiografi (hagiography/legend of the saints) sebenarnya adalah ranskripsi dari legenda orang saleh. Salah satu bentuk penelitiannya adalah yang dibuat oleh D.A. Rinkes tentang orang-orang saleh di Jawa, ‘de Heiligen van Java’.
Dongeng adalah cerita pendek kesusastraan lisan. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran berisikan berajaran (moral) atau bahkan sindiran). Menurut Alan Dundes dongeng dapat dipecah menjadi bagian yang disebut motifemes atau rangka-rangka, terdiri dari deretan motifeme yang berisi motif dan allomotif (motif pengganti). Motifeme dari Dundes dapat disamakan dengan function dari Propp, Istillah motifeme dipinjam Dundes dari Kenneth l Pike (Dundes, 1965; 208)
Dongeng paling sedikit terjadi dari disequilibrium (keadaan tidak seimbang) ke keadaan equilibrium (seimbang) yang dirumuskan sebagai Lack (L) (kekurangan) dan Lack Liquidated (LL)-(kekurangan dihilangkan). Empat motifeme lain yang dirumuskan adalah interdiction (Int)-(peringatan), violation (Viol)-(pelanggaran), consequence (Conseq)-(akibat) dan attempted escape (AE)-(berusaha untuk lari).
Contoh dongeng ‘Gadis kecil dan Jangkrik’ (Motifeme), ada seorang gadis ingin membawa pulang seekor jangkrik (L), dan ia melaksanakan niat itu (LL), namun ia diperingatkan untuk tidak menggelitik perut si jangkrik (Int), tapi ia tidak mematuhi peringatan itu dan mulai menggelitik (Viol), si jangkrik perutnya terburai dan meninggal (Conseq). Si gadis ingin menghidupkannya kembali, tapi tidak bisa(AE).
Lelucon dan anekdot adalah dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggeitik hati, walaupun demikian bagi kolektif atau tokoh tertentu yang menjadi sasaran dapat menimbulkan sakit hati. Perbedaan lelucon dan anekdot ialak, jika anekdot menyangkut kisah fiktif lucu dari ribadi seseorang , yang benar ada, maka lelucon lebih kepada kisah fiktif lucu anggota suatu kolektif.selanjutnya lelucon dibagi menjadi 2 berdasarkan sasarannya; sasaran dalam lelucon adalah orang lain, sedangkan humor adalah pada diri pribadi.
- Nyanyian rakyat (folksongs)
Menurut Jan Harold Brunvand, myanyian rakyat ialah salah satu bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan diantara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian (Brunvand, 1968;130). Dalam nyanyian rakyat kata-kata dan lagu merupakan dwitunggal yang tak terpisahkan. Nyanyian rakyat dibedakan fari nyanyian lainnya, seperti nyanyian pop atau klasik, karena sifatnya yang mudah dapat diubah, baik bentuk atau isinya,
Terdapat beberapa kategori menurut Brunvard yaitu nyanyian rakyat yang berfungsi (ungtional song), yang bersifat liris (lyrcal song), dan yang berkisah (narraive folksong). Yang berfungsi adalah nyanyian yang kata dan lagunya memegang peranan penting, disebut berfungsi karena baik lirik maupun lagunya cocok dengan irama aktivitas khusus dalam kehidupan manusia, contoh lagu pengantar tidur, nyanyian kerja, lagu dalam permainan.
Yang bersfat liris, merupakan pencetusan rasa haru tanpa menceritakan kisah yang bersambung. Yang berkisah yaitu nyanyian rakyat yang menceritakan suatu kisah contohnya adalah balada dan epos Contoh folklor sebagian lisan: Kepercayaan rakyat (folk belief). Disini diistilahkan dari kata ‘takhayul’ (supersitious) yang berarti ‘hanya khayalan belaka’, kata kepercayaan rakyat digunakan untuk menghormati. Takhayul ada yang berdasarkan hubungan sebab akibat menurut hubungan asosiasi (bayang-bayang dalam pikiran). Ada juga yang merupakan perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja, yang menyebabkan suatu akibat ‘ilmu gaib’ (magic).
Menurut Dundes ‘takhayul adalah ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat, dan satu atau lebih akibat; beberapa dari syarat-syaratnya adalah tanda, sedangkan yang lainnya bersifat sebab’ (dundes, 1961; 25-26) Untuk menerangkan mengapa orang tetap percaya pada takhayul perlu untuk mengetahui teori symathetic magic Sir James Frazer dalam bukunya the Golden Bough (1923-1915, 12 jilid). Ia mengemukakan ilmu gaib simpatetis dapat berupa homeopatis (homeopatic magis/imitative magic), yang didasarkan asumsi bahwa objek yang mirip akan saling mempengaruhi. Juga berupa ilmu gaib bisa menular (constagions magic), yang didasarkan bahwa objek yang pernah bersentuhan akan tetap berhubungan, yakni Permainan rakyat: Kegiatan ini juga termasuk folklor karena diperoleh melalui warisan lisan, baik yang digunakan sebatas hiburan untuk meluangkan waktu ataupun melalui pertandingan menang-kalah. Fungsi selain hiburan, bisa juga dijadikan media belajar baik secara pedagogi ataupun andragogi, seperti menyiapkan anak agar kelak dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat (Herron and Sutton-Smth,1971; 4).
*Penulis adalah Sekertaris PELITA Masa Bakti 2012-2014
Identitas Buku:
Pengarang: James Danandjaja,
Judul : Folklor Indonesia; Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain.
Penerbit & Tahun Terbit : Grafiti pers Jakarta, 1984,
Jumlah Halaman : xi+231.
thanx….