
oleh: Abdurrahman Sandriyanie W
16 tahun lalu, pemerintahan orde baru yang digawangi presiden Soeharto mengalami titik nadirnya sebagai rezim yang berkuasa. Selama hampir 32 tahun memegang tampuk kuasa, kemudian tumbang. 9 Mei 1998, menjadi gerbang awal di bukanya reformasi di Indonesia. Tentu-lah, peristiwa reformasi tersebut masih menyisakan dinamika yang kompleks sampai hari ini. bahwa kemudian, persoalan-persoalan di masyarakat baik yang bersifat sistemik atau substansial tidak secara komperehensif teratasi. Atau bahkan mungkin, potret rakyat hari ini justeru yang terjadi malah sebaliknya: romantisme orde baru. Piye kabarmu le? Enak zamanku tho? Begitulah jargon-jargon yang berkembang di masyarakat. Betapapun, aforisma tersebut terkadang dipelintir menjadi instrumen politik oleh parpol tertentu.
Apapula manfaat reformasi, jika peristiwa Mei ‘98 dimaknai –ya selama ini- sebagai bekal terbukanya jalan selebar-lebarnya kesejahteraan untuk rakyat di kemudian hari?
Kita tahu, corak sistem dan gaya kepemimpinan orde baru terdapat dua ciri yang cukup dominan. Pertama, ideologi aparatus. Soeharto dalam setiap kebijakannya selalu memakai pola ini, agar dapat mencegah tindakan subversif sedini mungkin. Negara dijadikan instrumen menakut-nakuti rakyatnya, yang mana siapapun kelompok atau golongan masyarakat yang berhaluan ideologi dengan pemerintah, maka ia dianggap membelot. Sehingga pada akhirnya kebijakan yang dibuat selalu menjerat bentuk kebebasan rakyat, misalnya kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Tidak hanya berhenti di situ, sejatinya ideologi adalah sesuatu yang mutlak dimiliki oleh sebuah Negara. Ideologi adalah ruh ketatanegaraan. Tapi tidak di tangan Orde Baru. Ideologi Pancasila, misalnya, secara konsep dan tujuan sangatlah baik. Namun dalam praksisnya, bila ada ideologi yang berhaluan dengan Pancasila, seperti Ideologi Kanan (Agamis) atau kiri (Komunis) maka akan diberangus oleh pemerintah.
Kedua, yakni berpola represif aparatus. Dibentuknya aparat atau tentara, sedianya menjadi pengayom bagi keamanan dan kenyamanan masyarakat. Orde baru menegasikan peran utama aparat ini menjadi ‘tukang eksekusi’ dari pemerintahan. Peristiwa Gestapu 1965, kasus-kasus kekerasan di tahun-tahun akhir orde baru, kerusuhan Mei 1998, penembakan dan penculikan aktivis dan masih banyak yang lainnya adalah wajah pemerintahan ‘militerisme ala orde baru’. Sungguhpun demikian, dari kedua pola ini, pemerintahan orde baru cukup berhasil menjaga tampuk kekuasaannya. Yang menjadi pekerjaan besar pasca-reformasi hari ini, Adakah kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa orde baru telah menemukan titik terang? Atau lagi-lagi, impunitas hukum saja yang akan terus berulang terhadap dalang dari peristiwa tersebut?
Paling tidak, pemerintahan kita dewasa ini, gagal dalam menuntaskan persoalan di masa peralihan orde baru ke zaman reformasi.
Peristiwa Mei 1998, atau genderang reformasi seolah-olah menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, kita memaknai peristiwa tersebut sebagai keberhasilan demokrasi. Di sisi lain, agenda-agenda reformasi kian memperuncing persoalan di tingkat akar rumput. Singkat kata, berganti ‘tokoh pemerintah’ tapi tak merubah sistem secara substansial. Platform yang digunakan oleh aktivitis-aktivias pro-demokrasi adalah melawan Soeharto, bukan melawan sistem. Soeharto dijadikan common enemy atau musuh bersama melawan ketidakadilan. Sehingga dapat dikatakan, kegagalan besar bagi mereka yang mengaku ‘aktivis 98’ tidak meneruskan cita-cita perjuangan untuk rakyat kepada generasi saat ini. keterputusan ideologis, lagi-lagi, menciptakan fenomena pragmatis di wilayah politik praktis kita.
Lantas apakah masih relevan memperdebatkan secara serius makna reformasi bagi kita? Jika secara etimologis pemaknaan kata refromasi sudah salah-kaprah. Reformasi, jika benar, kita hendak menerapkannya secara luas, maka ia semestinya –meminjam istilah Derrida- mendekonstruksi tata pemerintahan yang ada pada saat itu. Mulai dari lembaga yudikatif, eksekutif dan legislatif. Kita hanya sampai pada merubah corak pemerintahan yang ideologi aparutus dan represif aparatus secara terang-terangan, kemudian beralih wajah ke corak yang secara sembunyi-sembunyi.
Memahami pola mendasar dari gerakan organisasi juga, dalam konteks ini, perlu menjadi sorotan utama. Gerakan-gerakan organisasi di masa-masa orde baru, memfokuskan dirinya dalam perlawan menumbangkan rezim orde baru. Akan tetapi peralihan di masa reformasi, gerakan-gerakan organisasi dewasa ini cukup mengalami fragmentasi yang akut. Agenda-agenda besar perjuangan kesejahteraan yang menjadi isu utama, kini sedianya beralih-mengerucut menjadi prioritas kepentingan golongan semata. Contoh sederhana saja, organisasi mahasiswa kini mengalami apa yang dinamai dengan ‘gengsi organisasi’. Jika ada golongan yang berhaluan ideologi dengannya, maka yang terjadi saling menikung. Pragmatisme yang gandrung dijalani oleh organisasi kepemudaan atau mahasiswa, di sisi lain meniadakan agenda besar dalam tujuan bersama di tingat masyarakat, civil society. Prinsip kooperatif yang sejatinya merupakan ruh dari masyarakat kita, mengalami dekadensi menjadi kompetitif: Wani piro?
Membaca ulang peristiwa Mei ’98 sedianya mesti melawan ingatan. Bukan melawan lupa. Artinya, di sini kita semestinya memahami secara komperehensif celah-celah kegagalan di masa awal-awal reformasi, bukan mengacung jari menjadi orang yang paling berjasa atas peristiwa itu. Adakah kita ingat, bahwasanya agenda besar dari reformasi adalah melawan KKN? Seperti kita tahu, KKN menjadi momok besar pemerintahan orde baru, sehingga ia dapat ditumbangkan. Akan tetapi, jika di masa orde baru KKN menjadi citra pemerintahan Soeharto, namun pemerintahan saat ini menikmatinya secara berjamaah. Sekali lagi, melawan ingatan merupakan media, di mana kita merefleksikan ulang peristiwa Mei ’98 dengan persepektif yang baru.
Gusdur selalu menyindir momentum reformasi sebagai peristiwa yang tidak reformatif. Kesuksesan reformasi tidak menyeluruh dinikmati masyarakat, tapi hanya segelintir orang. Reformasi hanya mengganti pemimpin, yang di lain waktu pada saat yang sama hanya menjadi sirkulasi politik personal, bukan tata kelola Negara secara sistemik. Untuk saat ini momentum Mei ’98 dimulai tidak melulu mengangkat ‘siapa pahlawan’ dan ‘mana korban’. bukankah pahlawan adalah korban dan korban juga merupakan pahlawan?
*Adalah Koordinator Program Riset dan Kajian Ilmiah di Pemuda Lintas Iman Cirebon (PELITA)
Comments Closed