Refleksi Hari Toleransi

 

GAZEBO ISIF, 16 November 2014 galibanya diperingati secara serentak di seluruh dunia sebagai peringatan Hari Toleransi Internasional, International Tolerance Day. Di beberapa punjuru di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung dan sekitarnya, peringatan  Hari Toleransi disemarakkan secara meriah dan megah. Tentu, dengan harapan dan tujuan sama:  Untuk Tanah Air Indonesia Tercinta.

Pada hari itu juga, PELITA memperingatinya dengan sangat khidmat dan khusuk. Di sebuah surau yang berukuran cukup sedang, yang disekitarnya tumbuh pepohonan rindang. Asri dan sejuk. Tak peduli kemeriahan atau juga euphoria-euphoria dalam setiap perhelatan International Tolerance day, akan tetapi yang terpenting adalah mengedepankan semangat untuk terus berkomitmen dan loyalitas akan ‘Api toleransi’, bukan ‘Abu-nya semata’.

Beserta segenap jaringan dan komunitas-komunitas, seperti HDH Cirebon, Syiah, ISIF, Muhammadiyah Cirebon, IAIN Syekh Nurjati, CSPC, IPPNU, Unswagati, Pesantren Miftakhul Mutaalimin, Serikat Pekerja Informal (SPI) Indonesia, Ikatan Remaja Mushola Cirebon; Sekitar 25 orang yang berpatisipasi, kegiatan dimulai pada pukul 16.00 Wib.

Teruntuk PELITA sendiri, Hari Toleransi International bukanlah hanya terpaku pada bagaimana dan apa yang dimaksud dengan kata Toleransi. Wacana-wacana yang berkembang, Terminologi toleransi masih terkungkung pada dimensi yang debatable. Apakah hendak memakai instrumen secara global tentang toleransi ataukah menggalinya kembali secara internal lokalitas kebudayaan kita, kemudian  didesiminasikan ke luar publik. Isu-isu seputar toleransi, tentu dengan perjalan waktu, banyak menemui kendala yang cukup serius. Hal inilah yang kemudian disampaikan oleh Devida, Ketua Umum PELITA.

Ia lantas pula, menarik wacana-wacana toleransi umat beragama dalam praksis kehidupan sosial-kemasyaratan secara riil. Melalui PELITA, praksis itu berupa kegiatan terjun ke lapangan, salah satunya ialah program sekolah Cinta-Damai. Langkah tersebut dinilainya sebagai solusi strategis meng-counter gerakan-gerakan anti-toleran, yang digerakkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab yang menghendaki benih-benih kebencian tertanam pada anak-bangsa ini. seperti misalnya, Rohis-Rohis yang ada di sekolah jauh sekali dari nilai-nilai kebangsaan dan kerapkali mendiskreditkan satu kelompok tertentu. Mereka sudah berhasil masuk di kantong-kantong pendidikan, khususnya wilayah III Cirebon.

“Out-put atau hasil nyata progam sekolah Cinta-Damai, diharapkan menjadi kurikulum pendidikan di Indonesia. Semoga ke depan, realisasinya cepat dan para tim dapat bekerja dengan solid,” Ujar Devida.

Makmuri Abbas selaku moderator pada kesempatan kali ini, memberikan selonggar-longgarnya kepada para hadirin untuk merefleksikan serta berbagi pengalaman dalam kehidupan nyata menyangkut Toleransi. Sebelumnya, ia ikut berbagi seputar pengalamannya berelasi dengan orang-orang yang berbeda agama. Baginya, PELITA merupakan wadah yang sangat bagus untuk terus belajar dalam menjaga toleransi antar sesama anak-bangsa Indonesia.

Kemudian, Bapak Rohasan, Perwakilan dari Komunitas Hidup Di Balik Hidup (HDH) bercerita tentang insiden ke belakang yang menimpa komunitasnya itu. seperti diketahui, HDH resmi dibubarkan sebab-sebab alasan tertentu, yang menjurus pada ‘penyesatan’. Bapak paruh baya ini, menyesalkan tindakan pemerintah melalui MUI Kabupaten Cirebon yang mengeluarkan fatwa sesat tersebut. padahal kenyataannya berbanding terbalik.

“HDH merupakan kelompok masyarakat biasa, dan tidak neko-neko dalam hal keagamaan. Hanya saja, salah satu pengusaha Tebu di kawasan Sindang Laut Cirebon tidak menyukai eksistensi kita. ini politis sekali,” Tuturnya.

Santoso, perwakilan dari Komunitas Syiah Cirebon menambahkan pula soal pengalamannya toleransi. Selama kurang-lebih 20 tahun, ia pernah terlibat di Jamaah Tabligh yang rata-rata doktrinnya sangat keras dan intoleransi. Setelah mengenal Syiah, ia mampu memahami toleransi secara komperhensif. Masing-masing hadirin merefleksikan toleransi dan harapan ke depan. Dari obrolan santai, pengalaman religius, relasi sosial dan budaya, hingga pendidikan, mereka memiliki satu kesimpulan akan harapan yang sama: komitmen menjaga dan mengelola perdamaian di Indonesia.

Di sela-sela para hadirin merefleksikan pengalaman seputar toleransi, Bapak Hasan dari Serikat Pekerja Informasi (SPI) Indonesia memberikan ide-ide segar yang berangkat dari hal-hal sepele di kehidupan sehari-hari. Baginya, toleransi adalah tranformasi cinta. Mindset negatif dengan sendiri juga akan pupus. Kemudian, Akhayaruddin dari Muhammdiyah Cirebon mengajak pemuda-pemuda lainnya untuk terus terlibat dalam problem-problem di masyarakat secara luas.

(By. Redaksi: Sandriyanie Omen)

 IMG_0014

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.