Refleksi Hari Toleransi Internasional: Sebuah Pengantar

Refleksi Hari Toleransi Internasional: Sebuah Pengantar


 
Oleh: Pelita Perdamaian

***

Adalah UNESCO yang pertamakali menggagas perhelatan Hari Toleransi Sedunia atau Declaration of Principles on Tolerance, pada tahun 1995 dan 1996. Tujuan dari perhelatan Hari Toleransi itu sendiri ialah memberikan kesadaran kepada masyarakat dunia akan pentingnya sikap tolerensi di tengah kemajemukan yang ada. Juga yang terpenting peringatan ini juga menegaskan sikap toleransi yang telah disebutkan dalam sejumlah instrument HAM internasional.

Di Indonesia kebebasan beragama dan berkeyakinan mendapat jaminan untuk dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara. Jaminan atas hak tersebut selain telah tertuang dalam konstitusi, juga dalam Undang-Undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang no. 12 tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik.

lalu adakah sikap toleransi sudah mengakar kuat  dalam kebudayaan dan kehidupan masyarakat kita?

Tentu saja, hal demikian patut diajukan dan dipertanyakan ulang di tengah maraknya konflik atas nama agama yang terjadi di tanah air kita belakang ini. Sebut saja misalnya, Selasa, 10 November 2015, terjadi pembakaran rumah ibadah agama  Sapta darma di Rembang, Jawa Tengah. Sebelum itu, ingatan kita masih segar, bahwa gereja di Aceh Singkil dibakar. Dan menarik ke belakang lagi, Masjid di Tolikara Papur juga dibakar. kesemunya menjadi rentetan tragedi yang menambah noda hitam kehidupan bangsa kita.

Setingkat level kasus di Jawa Barat, Provinsi ini masih menjadi ‘zona merah’ tindak pelanggaran Kebebasan Beragaman dan Berkeyakinan. Data LBH Bandung mencatat, terjadi sedikitnya 31 kasus pelanggaran hak berkeyakinan dan beribadah yang terjadi di Jawa Barat, pada kurun waktu 2014-2015. dan pantauan Tim Pelita, kasus di wilayah III Cirebon yang terjadi pada 2014, terdapat 8 kasus kekerasan atas nama agama. Dalam konteks ini,  secara vertikal, negara (pemerintah) ikut memainkan perannya dalam pelanggaran-pelanggaran tersebut. Dan secara horisontal, kelompok-kelompok intoleran tiada henti melakukan aksi menebar permusuhan dan kekerasan.

Sampai di sini, kekerasan atas nama agama tentunya tidak boleh berhenti pada angka-angka kuantitatif. angka-angka tersebut hanya sebagai bentuk ‘kewaspadaan’, bahwa tindak intoleransi akan terus membayangi kehidupan beragama kita, di manapun, kapan pun dan menimpa siapa saja. Saat kita lengah, bahkan acuh tak acuh atas apa yang terjadi dalam bingkai persaudaraan antar anak-bangsa dalam menjalin persaudaraan, maka di situlah ancaman terbesarnya.

Kemajuan dan kecepatan arus informasi yang terdapat di sosial media, mestinya dibarengi pula kemajuan pola pikir yang lebih dewasa dan bijaksana. bagaimana tidak, bila segenap tragedi dehumanisasi yang terjadi di belahan dunia, kemudian berimbas pada ‘pecahnya’ perhatian dan kesadaran kita. Baru-baru ini, misalnya, serangan terorisme yang terjadi Prancis, yang menewaskan sekurang-lebihnya 170 nyawa manusia. Nitizen berhasil memecah perhatian kita pada sebuah dualisme pilihan: antara mendukung dan bersimpati terhadap Prancis atau kembali menengok tragedi kemanusiaan yang terjadi di negeri-negeri Timur Tengah.

Padahal, Kemanusiaan melaumpui sekat-sekat peradaban dan zonasi wilayah. Perdamaian memangkas segala perbedaan yang ada. Dengan cara pandang tersebut, sambil lalu kita bersama-sama mereflesikan bagaimana kehidupan yang dialami oleh saudara-sebangsa kita; komunitas Ahmadiyah, Syiah dan kelompok agama dan kepercayaan lainnya, yang sampai hari ini masih terdiskrimansi hak-hak kewarganegaraannya.

Hari Toleransi Internasional, dengan demikian, dapat dimaknai dengan semangat dan cara pandang baru, bahwa mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih damai, toleran,d dan menghargai segenap perbedaan, juga kebersamaan. Seperti yang hendak diikhtiarkan oleh PELITA melalui perhelatan ini dengan tema “Cirebon Harmonis”.

Semoga kita mampu menghasilkan upaya-upaya kemanusiaan yang senantiasa akan terus berlanjut, selang waktu setelah refleksi di Hari Toleransi Internasional.

Rangkaian acara:

  1. Diskusi & Refleksi: Hari Toleransi InternasionalTempat: Gereja St. Yusuf Kota Cirebon
    Senin, 16 November 2015
    Pukul: 15.00-17.00 WIB

PicsArt_11-16-02.53.43

 

 

 

 

 

 

 

2. “Bedah Film”Tempat: Saung Juang (depan IAIN Cirebon)
Senin, 16 November 2015
Pukul: 18.30-21.00 WIB
(Bekerjasama dengan Gusdurian & Jingga Media)

 

 

 

 

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.