
“Beragama itu seperti Bola,” Tandas Dr. Siti Fatimah, M. Hum menerangkan. Pameo yang ia kutip bersumber dari seorang Pemikir Islam Kontemporer, Sayyed Hussein Nasr. Terdapat beberapa tingkatan kehidupan manusia dalam beragama: sejak maqom syariat, tarikat dan hakikat. Ketiganya saling terhubung seperti titik-titik jejaring dalam sebuah Bola. Titik terakhir yang menjadi pancaran (pusat) adalah Tuhan.
***
Kalimat di atas sedikitbnya mewakili suasana pada 11 November 2015, sebuah rangkaian kegiatan menuju hari toleransi internasional. Dimulai melalui bedah buku “Merayakan Perbedaan: Refleksi Tiga Tahun Pelita Mengelola Perdamaian”. Kegiatan bedah buku Pelita merupakan hasil kerjasama dengan CSPC (Centre for the Study of Philosophy and Culture) yang bertempat di Gedung Fakultas UAD ruang 9 IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Peserta yang hadir dalam kegiatan ini sekurang-lebihnya 70 peserta dari mahasiswa, 6 orang dari pengurus Pelita serta perwakilan dari JAI Majalengka dan Indramayu.
Kegiatan dimulai pada pukul 09.15 WIB dengan rangkaian seremonial seperti pembukaan, sambutan, acara inti diskusi dan bedah buku Pelita “Merayakan Perbedaan”. Acara dimulai dengan basmallah dan antusiasme peserta, dilanjutkan dengan sambutan dari pengurus CSPC yang mengatakan bahwa “hari ini sebagai rangkaian awal kegiatan menuju Hari Toleransi Internasional pada tanggal 16 November 2015”.
Acara inti pun dimulai dengan pembukaan dari moderator, yakni M. Panji Maulana. Ia merupakan salah satu mahasiswa Filsafat Agama dari CSPC IAIN Syek Nurjati Cirebon, sebagai moderator dalam kegiatan tersebut.
Ketua Umum PELITA, Abdurrahman Wahid (Omen), Mengulas mengenai kisi-kisi yang terdapat dalam keseluruhan isi buku yang berjudul “Merayakan Perbedaaan: Refleksi Tiga Tahun Pelita mengelola Perdamaian” hasil buah karya para pegiat-pegiatnya.
Ia menjelaskan, “Substansi dari buku ini, pertama, memotret bagaimana relasi Negara terhadap warganya dalam konteks KBB di wilayah III Cirebon, banyak pelanggaran dan kasus terjadi sepanjang pantuan tim Pelita di tahun 2011-2014.”
Lanjutnya, “Dan bagaimana pengalaman berharga pegiat Pelita dalam mengemban misi kemanusiaan, toleransi dan perdamaian, di mana Pelita punya cita-cita besar dalam mewujudkan kehidupan KBB di Jawa Barat menjadi lebih baik, dimana Jawa Barat merupakan zona merah pelanggaran KBB di Indonesia. Kenapa bisa seperti itu? Dan dalam buku “Merayakan Perbedaan” telah menjawabnya, yang prinsip dasar PELITA, yaikni prinsip resiprokal yang berangkat fakta-fakta sejarah dan kearifan lokal dalam indahnya keberagaman di Cirebon.”
Pemateri selanjutnyua menerangkan bahwa dengan menggunakan konsep Plato dalam melihat keberbedaan, kita sebagai manusia mesti keluarlah dari tempurung Goa, Dr. Siti Fatimah, M.Hum lanjut menerangkan.
Ia juga mengatakan bahwa adanya Pelita membuktikan perbedaan itu harus dirayakan. Dengan warna-warni kehidupan yang harus dilakoni dalam kenyataan kehidupan yang plural dan multikultural. Dengan mindset tunggal dan parsial yang harus disatukan menjadi pemahaman heterogen setiap individu dalam merefleksikannya.
Bagaimana memahami tentang kepercayaan agama itu sangat plural? Dan bagaimana kita harus hidup berdampingan? ialah Bhinneka Tunggal Ika, merupakan jiwa bangsa Indonesia. Maka ketika memahami betul tentang mindset tersebut kita dapat menjadi orang yang baik di tengah-tengah pluralitas.
“Di dalamnya (buku PELITA), merupakan pengalaman mengalir yang ditulis dengan cantik, ketika bergabung di organisasi Pelita,” Ujar Ibu Fatimah.
Historisitas Agama Manusia
Mencoba keluar dari Goa dan punya keimanan, hidup dalam keberbedaan, berada ditengah-tengah manusia yang memiliki ritual berbeda namun ber-Tuhan. Dimulai dari sejarah umat manusia abad 6 – 1 SM dimana kekosongan manusia atas pesan penentram hati dalam menghadapi hidup dalam keberbedaan dan memerlukan pedoman. Disaat itulah muncul para tokoh-tokoh arif seperti Thales, Socrates, Aristoteles dan sebagainya yang menandai kebutuhan manusia akan tuntunan. Mungkin orang-orang arif ini juga dikatakan sebagai nabi karena telah berusaha menuntun manusia agar berpikir tentang dunia dan dirinya. Tokoh-tokoh ini menjadi sumber pencerahan bagi manusia yang mengalami kehampaan.
Dan sampailah pada abad ketika keyakinan akan Tuhan mulai menjadi kepercayaan. Dan kitab-kitab yang berbicara mengenai tauhid mulai menghiasi kehidupan manusia yang haus akan gairah ketuhanan. Yakni abad ke 1 Masehi, dimana Injil turun dan mewarnai kehidupan manusia dengan keyakinan atas kristus. Lalu, sekitar abad ke 5 menuju 6 turun lagi sebuah kitab yang juga menjadi pedoman yakni Al-Qur’an. Abad ini merupakan awal sejarah perkembangan Islam, dengan tanpa melupakan ajaran kepercayaan kristiani, Al-Qur’an menyatukannya.
Hidup dengan cara saling menghormati kesejarahan konsep ketuhanan dengan nama-nama yang berbeda berasas pada pedoman masing-masing. Berdasar pula pada pengalaman rohani tiap manusia dalam memegang pedomannya. Inilah perbedaan.
Buku pelita hadir sebagai pelengkap dari pedoman yang telah dipegang oleh masing-masing agama. Melalui pemahaman akan konsep ketuhanan dan kerinduan manusia terhadap Tuhan secara terus menerus. Dan buku ini merefleksikan kerinduan terhadap Tuhan berasas keberagaman. Di bagian anak muda, Pelita terus berikthiar melakukan yang terbaik untuk kehidupan dan peradaban.
“Dulu benih-benih Komunitas Forum Sabtuan juga ada, yang biasa dilakukan oleh senior-senior yang sekarang menjadi pembina Pelita.” Terang Ibu Fatimah
Diskusi demi diskusi mulai dijalani demi penguatan kapasitas pemahaman akan keberagaman itu seperti apa. Tempat diskusinya pun tak selalu satu tempat melainkan berpindah-pindah, dari rumah satu ke rumah lainnya. Dengan tujuan penguatan kapasitas dan juga menjalin komunikasi serta membangun relasi. Dan Pelita sebagai kepanjangan tangan jiwa (platform) Bhinneka Tunggal Ika mencoba merajut kesamaan dengan roh yang berbeda.
“Intinya kita harus keluar dari gua dan mulai belajar mengenai pluralisme. Perlu menarik kehidupan keagamaan menjadi isu-isu sosial yang lebih konkret”. Papar Ibu Fatimah sebagai pemantik Bedah Buku.
Sesi pertama lalu dibuka oleh moderator setelah ibu fatimah selesai memaparkan materinya. Para pemuda yang masih memiliki semangat akan hal-hal baru sangat terlihat antusias. Sesi pertama dibuka dengan 4 pertanyaan sekaligus refleksi.
Dibuka dengan pertanyaan seputar budaya dari pemuda bernama Mas’udi dari jurusan Filsafat Agama. Lalu, Ibu Fatimah menjawab bahwa budaya merupakan hal yang selalu berubah tanpa menghapus keseluruhan tradisi lama, namun saling melengkapi dengan berbagai identitasnya. Di Pelita, misalnya seseorang baru berkenalan dengan agama dan budaya lain yang berbeda. Nah, apakah budaya itu merusak iman masing-masing? Kan tidak, tapi kita mencoba memahami nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Pertanyaan selanjutnya ialah mengenai apa itu agama dan apa tujuan agama yang terlontar dari mahasiswa Filsafat Agama Semester 1 bernama Sunenti. Dan melalui pernyataan Sayyed Hosein Nasr pertanyaan itu dijawab yakni beragama itu sebagai bola.
Dan kedua orang selanjutnya ialah Pak Basith dari JAI Majalengka dan juga mahasiswa SKI bernama Arisanti mencoba menyampaikan refleksinya atas pengalaman pribadi dan mengaitkan dengan hasil pemaparan pemantik bedah buku tersebut.
Berita oleh:
Risma Dwi Fani (Kord. Riset dan Pengembangan Kapasitas)
Comments Closed