Puasa untuk Kebangsaan: Ngabuburit di Cagar Budaya

Puasa untuk Kebangsaan: Ngabuburit di Cagar Budaya

Selasa, 22 Juli 2014, PELITA menyelenggarakan acara buka bersama di Gereja Kristen Pasundan, Jalan Yos Sudarso No. 10 Kota Cirebon. tahun ketiga dalam perjalanan PELITA, Buka bersama itu sendiri berhasil diselenggarakan atas jasa dan kerjasama dari pihak GKP Cirebon, yang juga berbarengan dengan rangkaian acara ulang tahun GKP yang ke-150. Betapa usia yang cukup senja, bagi keberlangsungan merawat cagar budaya. GKP adalah salah satu cagar budaya yang dimiliki oleh Indonesia yang berada di kota Cirebon, Jawa Barat.

Acara berlangsung sejak dari pukul 16.00 wib-18.15 wib. sekitar 150 orang hadir menyemarakkan acara buka puasa di sore yang cerah itu. beberapa di antaranya: Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Manis Lor-Kuningan, Lajnah Immailah Kuningan, Syiah, Buddha, Khonghucu, Muda-Mudi Hindu Cirebon, Kepemudaan Gereja St. Yusuf, Kepemudaan Gereja Katholik Bunda Maria, Pesantren Miftakhul Mutaalimin Cirebon, GKI Pengampon, Majelis Hidup di balik Hidup (HDH), GBI Asri Cirebon, Kepemudaan Muhammadiyah Cirebon, Fahmina Cirebon, CSPC IAIN Syekh Nurjati Cirebon, KPLI (Komunitas Lintas Iman Indramayu),  Baha’i Indramayu, dan tokoh agama-agama di wilayah tiga Cirebon

Antuasiasme dari tamu undangan, jaringan dan kalangan masyarakat luas yang berjibaku hadir, menegaskan satu hal: bahwa semangat keberagamaan Indonesia itu senantiasa menjadi nafas kehidupan sehari-hari bangsa kita yang plural. Di tambah lagi, suasana puasa Ramadhan yang dijalankan oleh umat Islam di Indonesia, tidak serta-merta menegasikan agama-agama dan kepercayaan lain yang tak wajib menjalaninya.

10577145_10202720311108948_2944772803842405537_n

Pada sesi pertama berlangsung, Bapak Guusye H. Runtukahu, S.H, mewakili ucapan terimakasih yang mendalam kepada tamu undangan yang hadir. Ia menambahkan, pembukaan lagu Indonesia raya saat acara dimulai, menambah nilai-nilai kesakralan puasa Ramadhan dengan buka puasa antar agama. Selanjutnya, Neneng Alfiah dan Jihan Fairuz yang bertugas sebagai Pembawa acara pada kesempatan kali ini, menyerahkan teknis acara dalam membahas sejarah Cagar Budaya di Cirebon dan diskusi puasa menurut agama-agama kepada Moderator, yakni Devida (ketua PELITA).

Pdt. Edward dari GKP Cirebon kemudian menjelaskan secara detail historisitas GKP Cirebon sendiri, yang dewasa ini menginjak usia ke-150 tahun. Gereja Kristen Pasunda (GKP) merupakan gereja no.3 yang tertua di Indonesia, Tutur Pdt. Edward menjelaskan. Gereja  Sione di Jakarta yang pertama, dan uang kedua adalah GPIB  tugu di Tanjung priok.  Uniknya, bilik-bilik di bangunan GKP Pasundan sendiri sampai sekarang belum pernah mengalami perubahan bentuk apapun. Sebelumnya, ia juga memaparkan bagaimana proses sejarah terbentuknya Gereja, masalah administratif, sampai dengan kewajiban pemerintah daerah yang bertugas secara hukum agar merawatnya dengan baik, berdasarkan mekanisme undang-undang yang berlaku tentang masalah Cagar Budaya yang ada di Indonesia.

Hal demikian juga disinggung oleh Moderator, mengapa misalnya, beberapa kondisi cagar budaya yang ada di kawasan Cirebon sendiri tidak terawat dengan baik dan semestinya. Kondisinya sangat memprihatinkan, seperti ditemukannya coretan dinding. Padahal merawat cagar budaya adalah belajar untuk tidak melupakan sejarah Indonesia sendiri.

Kehangatan suasana bertambah saat acara sesi diskusi tentang puasa menurut perspektif agama-agama berlangsung. Pak I Made, dalam hal ini, seorang perwakilan muda-mudi Hindhu menguraikan tradisi puasa di agama Hindhu sendiri. Ia menuturkan, bahwa puasa ada di hari raya nyepi, melakukan puasa total. Dikenal dengan istilah upawasa (upa= cara, wasa =sang kuasa). “puasa di Hindhu termasuk dalam rangkaian tapa brata, oleh karena itu dalam setiap perayaan Nyepi ada panca tapa brata, tidak boleh menyalakan api, pergi, hiburan, makan, dan minum.  Puasa juga Ada saat simulatri. Esensi puasa, cara pendekatan pada Tuhan.” Tutur I Made.

Tak ayal, perwakilan dari agama Baha’i juga ikut serta menyumbangkan pengetahuan puasa menurut tradisi mereka. Di bahai sendiri ada puasa 19 hari, karena 1 bulan puasa itu ada 19 hari karena penanggalan matahari dari tanggal 20 maret. Puasa jasmani itu puasa simbolis. Tutur perwakilan dari Baha’i. Sedangkan dari Khonghucu, puasa bagi mereka, yakni di tahun baru imlek umat puasa 15 hari sampai pada puncak perayaan cap go meh. Untuk mengolah tubuh dan jiwa pribadi. Kita juga membakar dupa mengingat kepada yang kuasa.

Di katolhik puasa 40 hari tapi boleh makan 1 hari 3 kali tapi kenyang 1 kali. Yang berat dari kami adalah pantang dan mati raga. Pantang itu kesenangan pribadi tidak boleh dilakukan dalam 40 hari. Contoh yang rokok kita pada hari itu tidak merokok, atau mengurangi rokok. Dan uangnya disisihkan, untuk pembangunan, disetor ke keuskupan, dan dikembalikan lagi ke masyarakat untuk pembangunan. Kata Pak Yus Gereja dari katolik bunda maria.

Begitupun bagi Radit, Puasa tidak boleh makan dan menyalakan api. Meratapi dosa-dosa. Hari yom kippur (yom =hari kippur=pertobatan). Dalam hari Tisha Ba’av ada juga puasa 25 jam untuk meratapi hancurnya bait suci (bait Sulaiman).  Di tambah juga, Puasa menurut agama Budha yakni melaksanakan sila. 5  sila Budhis. (1) Berjanji untuk menghindari pembunuhan. (2) untuk tidak mengambil barang yang bukan haknya. (3)  tidak melanggar hubungan yang tidak semestinya. (4)  berbicara yang tidak baik. (5) menghindari makan dan minum yang menghilangkan kesadaran. “Pada waktu kita melaksanakan sila kita tidak boleh duduk atau tidur diatas kasur yang tebal, dan empuk, berjanji untuk tidak berhias, bermain musik atau berlari.  Kita juga makan makanan berat dari jam 6 sampai jam 2. Jam 2 keatas tidak boleh. Untuk menghindari keserakahan, kebencian.” Ungkap Pak Surya Pranata dari agama Buddha.

Untuk protestan sendiri, puasa di Kristen tidak ada penetapan tanggal berapa dan berapanya (tidak ada jadwal khusus) sesuai dengan arahan gereja masing-masing. Tetapi secara khusus puasa bentuk merendahkan diri untuk mengenal tuhan, dan menjaga hawa nafsu. Tidak ada juga aturan baku pembatasan waktu makan, tapi merupakan komitmen pribadi.

Selanjutnya, sebelum acara ditutup dengan doa buka puasa bersama, Devida mendedahkan bahwa esensi puasa-puasa yang telah dipaparkan tadi sejatinya adalah untuk manusia, kemanusiaan dan kebangsaan. Sambil kemudian menikmati hidangan yang telah disediakan oleh panitia.

(BY, SANDRIYANIE/DIAZ ALAUDDIN)

 

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.