
Oleh: Sandriyanie*
Bulan Ramadhan kembali hadir dan menyapa kita agar menjalankan kewajiban ibadah puasa. Dalam ayat Al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 183, Allah berfirman, “Telah diwajibkan atasmu berpuasa Ramadhan sebagaimana telah diwajibkan kepada umat-umat terdahulu”. Namun berpuasa di bulan Ramadhan pada kesempatan kali ini, sedikit terasa berbeda. Boleh jadi, Rakyat Indonesia mendapat batu ujian yang lebih berat ketimbang puasa-puasa Ramadhan sebelumnya, yakni bertepatan dengan momen diselenggarakannya pesta demokrasi, Pilpres 2014. Ada banyak sekali tantangan, terutama apakah puasa Ramadhan kali ini menambah semangat dalam kedewasaan berpolitik kita, atau justru malah sebaliknya: kontestasi Pilpres akan mereduksi nilai-nilai Ramadhan yang sakral itu.
Di masa-masa kampanye, nyaris mudah ditemui betapa kondisi saling menghujat, memfitnah dan menjatuhkan kubu lawan antar kedua pendukung capres itu sering terjadi. Bahkan yang paling miris adalah ketika fanatisme buta terhadap satu pasangan calon berpotensi memutus tali silaturahmi dan persaudaraan di antara sesama anak bangsa. Maka di sinilah kita mesti kembali berkontemplasi, bahwa puasa Ramadhan ini mengingatkan kita agar senantiasa mengekang hawa nafsa, amarah dan menghindari dari segala ucap dan tindak-laku yang amoral.
Puasa Ramadhan adalah bukan milik umat Islam belaka, akan tetapi Puasa Ramadhan juga milik bangsa, dan seluruh umat manusia. Sebagaimana disitir ayat diatas, bahwa kewajiban berpuasa sudah diperintahkan jauh sebelum peradaban umat Islam hadir di muka bumi. Berpuasa memiliki sejarah dan peradaban panjang. Syariat-syariat sebelum Islam, misalnya, Yudaisme dan Kristiani memilik tradisi dalam melaksanakan puasa. Pun umat-umat yang lain: Hindu, Buddha, Zoroaster, Konfusianisme, dan kepercayaan adat bersama-sama punya syariat dalam menjalankan ibadah puasa. Esensinya sama: meraih pencerahan.
Tentu saja, nilai-nilai pencerahan itu sendiri akan menghindarkan diri kita sebagai sesama anak bangsa, untuk tidak tercerai-berai. secara derivasi kata Ramadhan berarti ‘panas terik matahari’, yang di satu sisi menandaskan bahwa cobaan, godaan dan rintangan saat menjalani Puasa Ramadhan menjadi cambuk untuk senantiasa melatih diri agar lebih baik, dan ‘panas terik matahari’ menjadi penanda dan simbol yang dapat dijadikan pelajaran berharga sebagai bangsa kuat. ‘panas’ adalah simbol kondisi kita hari-hari ini melalui tahap demokrasi Pilpres 2014, dan ‘terik matahari’ menjadi penanda bahwa geopolitik secara global berpotensi menjadi api di dalam sekam bagi keberlansungan demokratisasi Indonesia yang sehat. Dalam bahasa W.S Renda, Rakyat Indonesia ibarat ‘rumput kering’ saat menghadapi momen pesta demokrasi. Sekali lagi, hal ini menjadi pertanyaan besar: apakah puasa Ramadhan kali ini mampu membentuk kedewasaan berpolitik kita?
Upaya Pencerahan
Kedewasaan berpolitik kita sebagai bangsa yang memegang teguh amanat konstitusi dan UUD 1945, tanpa disadari, perlahan mulai terkikis. Misalnya, berpolitik hanya dimaknai sekedar aktivitas berlomba memperoleh tampuk kekuasaan. Modus Vivendi ala Hobbes dan Machiavellianisme menjadi semacam virus akut yang menjangkiti kalangan politisi kita. Politik kebangsan dan kemasyarakatan jarang disentuh. Sehingga yang demikian itu memicu timbulnya konflik terbuka di masyarakat, jika masing-masing pilihan politiknya berbeda.
Sungguhpun demikian, momen Ramadhan menegaskan terdapat nilai-nilai yang diraih untuk sebuah tahap kedewasaan politik suatu bangsa. Lihat saja, misalnya, sejarah mencatat terdapat peristiwa gemilang kemenangan umat Islam, dalam konteks ini, yang lahir di bulan Ramadhan. Dari mulai Perang Badar (2 H/624 M), Peristiwa Perjanjian Fatkhu Makkah (8 H/ 630 M), kemenangan di Spanyol (91 H/ 710 M), kemenangan pada Perang Salib (584 H/ 1168), Kemenangan melawan Tartar (658 H/ 1168 M), bahkan sampai sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun terselenggara pada bulan Ramadhan. hal tersebut, tentu saja, selaras dengan Firman Tuhan dalam surat Al-Baqoroh ayat 18 yang berbunyi, “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk manusia”. Petunjuk kemenangan itu bersumber dari Al-Quran, risalah semua umat manusia di dunia.
Tak ayal, catatan sejarah tentang kegemilangan peristiwa besar itu menandaskan bahwa puasa kita di bulan Ramadhan ini tak sekadar menjalankan rutinitas kewajiban, apalagi ‘puasa musiman’, yang dalam konteks ini, ibadah puasa kita hanya sampai pada taraf menahan ‘haus dan lapar’. Sejatinya, nilai-nilai puasa adalah kemenangan: spritualitas diri. Sebab spiritualitas merupakan bagian vital dari segala aktivitas manusia. Tanpa kehadiran spiritualitas, manusia akan dengan mudahnya melupakan tanggung jawab moral dan sosialnya terhadap sesama. Korupsi, memfitnah, mencaci-maki, dan tindak kriminal lainnya merupakan potret manusia kehilangan spritualitas, jati-dirinya.
Lantas, bagaimana upaya agar kita mendapatkan pencerahan di Bulan Ramadhan ini? Immanuel Kant (1724-1804), dalam tulisannya merumuskan bahwa pencerahan pada hakikatnya adalah ‘emansipasi kesadaran manusia dari kondisi ketidaktahuan”. Jadi, lanjut Kant, ”jika mempunyai gagasan, komunikasikan dan jika tidak tahu, selidikilah hingga tahu” sehingga manusia terbebas dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian. Penggalian Nilai-nilai spritualitas manusia menubuh dalam proses tahapan mengolah rasa, bathin dan pikiran. Maka di situlah, tahapan upaya-upaya kita meraih pencerahan dalam berpuasa. Jika mampu mensinergikan nilai-nilai itu, lalu kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, berpuasa Ramadhan benar-benar menjadi momen meraih jalan pencerahan.
Sejalan dengan itu, seorang filsuf Muslim Abad Pencerahan Al-Ghazali (1058-1111) mendaraskan tiga jenis nafsu. Pertama, nafsu amarah, lawwamah, dan muthmainnah. Nafsu amarah membentuk manusia aspek jasmaniah dari manusia. Nafsu ini, jika tak dikendalikan, akan melahirkan perbuatan buruk dan merusak manusia dan lingkungannya. Namun, pengendalian ini dilakukan oleh nafsu lawwamah, kecenderungan kritis atau rasional. Namun, rasionalitas ini masih memungkinkan sifat rasional yang tidak manusiawi melalui kecenderungan egoisme. Namun, nafsu lawwamah yang kritis itu sebenarnya merupakan kombinasi antara olah pikir dan al aql (akal) dan dzikir atau olah rasa dengan al qolb (kalbu). Nafsu ini diperlukan untuk diseimbangkan dengan nafsu amarah yang, menurut Marcuse, manusiawi yang jika tidak dipenuhi akan menimbulkan penyakit fisik, kejiwaan, karena direpresi. Keseimbangan antara nafsu amarah yang menimbulkan ambisi dan keberanian itu dan nafsu kritis dan rasional dan moral dari nafsu lawwamah itu akan melahirkan jiwa yang seimbang atau nafsu mutmainnah, dalam wujud manusia yang arif, yang dalam tarekat disebut sebagai mencapai kondisi ”makrifat” dalam kepribadian manusia yang arif.
Makrifat itu mirip pengertiannya dengan pemaknaan pencerahan Kant, yaitu emansipasi dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian, bukan hanya hasil dari kecerdasan rasional, melainkan juga kecerdasan emosional. Puasa tidak saja menciptakan manusia yang arif, tetapi juga budiman, dengan cara memperbanyak mengeluarkan sadaqah dan zakat untuk mereka yang kurang beruntung.
Sebagaimana aforisme di kalangan sufi yang sangat masyhur “dalam diri manusia ada ‘ruang spiritual’ yang kalau kita tidak mengisinya dengan hal-hal yang baik, secara otomatis akan terisi dengan hal-hal yang buruk. Selama sebulan penuh, kita ditantang untuk terus melatih-diri dalam mengekang tindak-laku buruk, menghindari dari segala macam hawa nafsu, sehingga 11 bulan ke depan akan terbentuk keluhuran budi-pekerti jika mampu melewati ujian selama satu bulan di puasa Ramadhan.
Walhasil, di dalam naskah ‘komedi Illahi” (Devina Commedia), yang ditulis oleh Dante Alighieri, seorang penyair abad pertengahan mendaraskan bahwa ada tiga tahap perjalanan manusia dari Inferno (Neraka, Penderitaan) memasuki ‘Purgatorio’ (Penyucian), menuju ‘paradiso’ (Surga, Kebahagian). Tentu saja, pada kesempatan ramadhan kali ini menjadi pelajaran yang terbaik bagi agar mampu melewati proses ‘purgatorio’ (penyucian), membersihkan diri dari dampak ‘inferno’ kita setahun lalu, untuk menndapatkan lagi paradiso fitrah kita sebagai manusia yang slalu mengingat Tuhan dan berbudi luhur, kembali ke fitrah asal fitrah kita sebagai makhluk sosial. Semoga**
*adalah anggota PELITA
*Tulisan ini dimuat di Harian Umum Kabar Cirebon, 9 Juli 2014.
*Sumber gambar: forum.kompas.com
Comments Closed