
Oleh Pdt. Markus Hadinata
Pengantar
Bulan puasa adalah bulan yang penuh hikmah, demikian yang saya pahami sekilas melalui tayangan media televisi maupun iklan-iklan yang ada. Entah mengapa, begitu memasuki bulan puasa, maka seolah-olah semua “ikut-ikutan” menyambut datangnya bulan puasa, mulai dari tayangan sinetron di televisi, film di layar lebar (baca: bioskop), ulasan artikel di surat kabar, sampai iklan pun tidak ketinggalan ikut-ikutan ‘berpuasa’. Demikian pula halnya bila umat Kristiani akan merayakan natal, maka semua juga seolah-olah “ikut-ikutan” menyambut datangnya hari natal meski secara esensi biasanya jauh dari hakikatnya mula-mula.
Melalui tulisan ini saya akan mencoba mengulas secara sepintas mengenai puasa, khususnya di dalam tradisi Yudaisme, lalu mencoba melihatnya dari sudut pandang Kristiani. Mengapa Yudaisme? Karena menurut hemat penulis, Kekritenan memiliki sejarah yang berkesinambungan dengan tradisi Yudaisme sebelumnya yang dipraktikkan oleh nenek moyang Israel, khususnya setelah mereka menerima Taurat melalui perantaraan Musa. Untuk puasa dari pemahaman menurut agama Islam, teman-teman dari muslim rasanya lebih pas untuk sharing(berbagi pemahaman dan pengalaman).
Puasa Menurut Tradisi Yudaisme
Perintah untuk berpuasa bermula dari hari raya Pendamaian, yakni hari di mana seorang imam besar yang diwakili oleh Harun mendamaikan segenap umat Israel dari segala dosa-dosa dan pelanggaran mereka di hadapan Tuhan. Imam besar harus mempersembahkan lembu dan domba jantan, serta kambing jantan yang mana imam akan meletakkan kedua tangannya ke atas kepala hewan-kewan kurban itu sambil mengakui segenap kesalahan orang Israel di hadapan Tuhan. Dengan demikian, seolah-olah segenap dosa dan pelanggaran Israel dilimpahkan ke atas hewan kurban itu (mungkin dari sini ada istilah ‘kambing hitam’ yang dimaknai tindakan melempar kesalahan pada orang lain). Pada bulan yang ketujuh, pada tanggal sepuluh bulan itu, mereka harus merendahkan diri dengan berpuasa dan tidak diperkenan melakukan suatu pekerjaan, baik orang Israel asli maupun orang asing yang tinggal di tengah-tengah mereka (lih. Imamat 16:29). Pada hari itu diadakan pendamaian bagi segenap umat Israel. Puasa di sini menjadi sebuah sikap dan tindakan merendahkan diri di hadapan Tuhan, seraya memohon pengampunankepada Tuhan atas segenap dosa dan pelanggaran umat.
Sementara di dalam kitab Hakim-hakim 20:26 juga didapati Israel yang berpuasa sehubungan dengan kekalahan mereka ketika berperang melawan salah satu suku mereka sendiri, yakni suku Benyamin sehubungan dengan perbuatan noda (Hak 19:1-30) yang dilakukan di tengah-tengah warga kota Gibea yang masih termasuk kepunyaan suku Benyamin. Puasa di sini dimaknai sebagai tindakan mengoreksi diri, yakni apa sebab mereka mengalami kekalahan dalam berperang.
Di dalam kitab 2 Sam 1:12, Daud beserta segenap Israel meratap sambil berpuasa atas gugurnya Saul, Yonatan serta beberapa orang Israel dalam peperangan melawan bangsa Filistin. Mereka berpuasa sampai matahari terbenam. Sekalipun Daud semasa hidupnya dikejar-kejar Saul hendak dibunuh, namun Daud digambarkan tetap mengasihi Saul dan meratap serta bersusah hati ketika Saul gugur dalam medan peperangan. Puasa di sini disatukan dengan ratapan atas gugurnya seorang pahlawan di tengah-tengah bangsa Israel. Pada kesempatan yang lain, Daud juga pernah berpuasa sehubungan dengan sakitnya anak yang dilahirkan dari Batsyeba, bekas istri Uria (2 Sam 12:14). Di sana digambarkan Daud berpuasa dengan tidak makan dan tidak minum, tidak pula tidur di kasur, melainkan di tanah. Puasa di sini dimaknai sebagai sebuah tindakan merendahkan diri yang disertai doa permohonan kepada Tuhan. Selain Daud, ada pula tokoh-tokoh lain dalam kitab Perjanjian Lama yang melakukan praktik berpuasa, misalnya Ahab (1 Raj 21:27), Yosafat (2 Taw 20:3), Nehemia (Neh 1:4), Mordekhai dan Ester yang menetapkan hari raya Purim sehubungan dengan terluputnya orang-orang Yahudi dari rencana genoside(pembasmian masal) oleh Haman (Est 9:31).
Sementara menurut nabi Yesaya, puasa yang dikehendaki Tuhan bukan sekedar tindakan simbolis atau ritual keagamaan semata, melainkan suatu sikap yang mau berjuang membela orang-orang tertindas, menegakkan keadilan, memerdekakan orang-orang yang teraniaya oleh sebab ketidakadilan, memberikan roti bagi orang-orang yang lapar, memberi tumpangan kepada orang yang tidak punya rumah, memberikan pakaian kepada orang-orang yang telanjang, serta tidak bersikap masa bodoh terhadap saudara sendiri yang kekurangan sementara kita sebenarnya mampu membantunya (Yes 58:1-7).Hampir sejalan dengan Yesaya, Yeremia juga memandang bahwa adakalanya Tuhan menolak dan tidak mengindahkan segala ritual keagamaan, termasuk puasa dari umat Israel oleh sebab ketidakmauan mereka untuk dituntun dan mendengarkan Tuhan (Yer 14:12). Dengan perkataan lain, mereka ingin mengikuti suara hati dan keinginan mereka sendiri. Mereka tidak mau taat kepada Tuhan. Mereka suka mendengarkan perkataan nabi-nabi palsu yang menyenangkan telinga mereka sendiri ketimbang mendengar perkataan kebenaran dari Tuhan sendiri, sekalipun kebenaran itu seringkali tidak datang dalam rupa hal-hal yang menyenangkan tetapi berguna bagi kebaikan dan pemulihan hidup umat-Nya.
Demikianlah secara sekilas praktik berpuasa beserta tradisinya yang dilakukan oleh bangsa Israel. Melaluinya kita dapat mengartikan arti puasa dalam konteksnya masing-masing. Ada puasa akhirnya menjadi sebuah ketetapan yang berlaku turun-temurun sehubungan dengan peristiwa tertentu yang dialami oleh umat Israel. Ada pula puasa yang berdasarkan inisiatif pribadi atau sekelompok orang sehubungan dengan keadaan tertentu yang sedang dialami.
Puasa Menurut Sudut Pandang Kristiani
Kerap orang Kristen ditanya, apakah mereka memiliki tradisi dan ritual berpuasa? Dari segi ketetapan atau aturan agama, memang orang-orang Kristen tidak diwajibkan menjalankan puasa. Tetapi, bukan berarti di dalam Kekristenan tidak ada puasa atau penganutnya yang menjalankan puasa. Yesus sendiri nampaknya tidak menjadikan puasa sebagai kewajiban yang harus dijalankan oleh murid-murid-Nya. Tetapi, Yesus juga tidak melarang bila murid-murid-Nya berpuasa. Hanya saja, ketika mereka berpuasa, Yesus berpesan agar dalam berpuasa tidak perlu dijadikan tontonan publik atau diketahui orang lain bahwa mereka sedang berpuasa. Di dalam Injil Matius 6:16-18, Yesus mengatakan mengenai hal berpuasa:“Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”Ibadah adalah urusan kita dengan Tuhan secara personal, bukan menjadi ajang pamer yang dipertontonkan di hadapan banyak orang supaya memperoleh pujian.
Pada kesempatan lain, Yesus memberikan sebuah perumpamaan yang ada kaitannya juga dengan puasa, yakni ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa, yang seorang adalah Farisi, yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasadua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya bahwa pemungut cukai itu pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain (Farisi) itu tidak (Luk 18:10-14). Apa sebabnya? Sebab orang Farisi itu datang membawa kebanggaan-kebanggaan praktik agamanya di hadapan Tuhan, merasa diri lebih benar, lebih suci, lebih baik daripada orang lain (dalam hal ini pemungut cukai), dan tidak memiliki kerendahan hati di hadapan Tuhan.
Jadi, tidak ada kewajiban yang mengikat bagi orang Kristen untuk berpuasa. Namun, seandainya mereka ingin berpuasa Yesus pun tidak melarang. Hanya saja dalam berpuasa hendaknya dilakukan dengan tulus, tidak usah menjadikan puasa sebagai ajang pamer kesalehan, menjaga kerendahan hati, tidak perlu menghakimi orang lain yang tidak menjalankan puasa atau melakukan ritual keagamaan seperti dirinya sebagai yang kurang saleh dan tidak beroleh keselamatan.
Refleksi
Baik tradisi Yahudi maupun Kristen memiliki praktik berpuasa. Bedanya, di dalam tradisi Yahudi ada puasa yang diwajibkan menurut ketetapan yang ditentukan dan berlaku turun-temurun, tetapi ada juga puasa yang berdasarkan inisiatif pribadi atau sekelompok orang sehubungan dengan situasi yang dialami atau hal-hal tertentu. Sementara di dalam Kekristenan, puasa bukanlah merupakan hal yang diwajibkan, tetapi bukan berarti tidak ada orang Kristen yang menjalani praktik berpuasa. Memang seyogianya puasa bukanlah sekedar tindakan ritual keagamaan, kewajiban, apalagi ajang untuk menunjukkan kesalehan pribadi semata, tetapi bagaimana puasa juga menyangkut penghargaan terhadap kehidupan sesama, segenap makhluk maupun alam semesta ciptaan-Nya. Puasa tidak bisa dilepaskan dari sikap etis, moral, serta spiritual sehari-hari, terutama menyangkut hubungan dengan Tuhan, sesama, dan segenap ciptaan. Sebab apalah artinya seseorang berpuasa sementara ia sendiri berlaku tidak adil dan sewenang-wenang terhadap sesamanya? (contoh kasus seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh satpol PP di Banten!)
Puasa juga bisa dimaknai sebagai kesempatan untuk mengembangkan kemanusiaan dan persahabatan dengan sesama, termasuk dengan orang-orang yang berbeda keyakinan, tradisi, kepercayaan atau agamanya. Puasa barulah mendatangkah ‘hikmah’ bagi yang menjalankan bila dimaknai sungguh dengan ketulusan, kerendahan hati, menjauhkan diri dari sikap arogan dan sewenang-wenang terhadap sesama, serta penghargaan terhadap orang lain terlepas dari agama dan keyakinannya.
Indramayu, 17 Juni 2016
Comments Closed