Pluralitas sebuah Realitas  

Pluralitas sebuah Realitas   

sumber foto : kitakatolik.com

Oleh : Santoso Nashrudin*

Perbedaan dan “Pluralitas” adalah sebuah keniscayaan. Dan kita yakini dalam perbedaan itu, pasti ada kesamaan, terutama jika dilihat dari sisi kemanusiaannya. Bukankah Allah Swt berfirman dalam kitab sucinya, al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ(الحجرات: 13

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”[1]

Ayat ini menjelaskan sekaligus menegaskan bahwa Kitab Suci Islam (al-Qur’an) juga mengusung  konsep “pluralitas” keragaman dalam kehidupan ummat manusia, baik itu soal budaya, adat-istiadat yang diistilahkan sebagai kearifan lokal, pendidikan dan peradaban. Termasuk hal yang paling sensitive dan fundamental adalah soal keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau yang biasa disebut dengan  istilah ‘agama’, beserta mazhab-mazhab yang muncul menyertainya.

Perlu digaris-bawahi, pengertian “pluralitas” bukan berarti setiap orang untuk mengakui bahwa semua agama itu benar secara “vertical”. Silahkan setiap diri meng-klaim agama yang dianutnya adalah yang paling benar. Sebab, dengan memiliki keyakinan yang demikian itulah, seseorang akan mentaati dan melaksanakan ajaran agama yang diyakininya, tanpa memiliki keyakinan yang kuat, mustahil seseorang akan mentaati agamanya. Sebaliknya, tidak dibenarkan bagi seseorang melakukan penghakiman di muka umum terhadap keyakinan orang lain yang berbeda agama dengan dirinya, sebagai salah, sesat, musyrik dan atau kafir. Sebab, pada hakekatnya akhir dari urusan mu’min atau kafir-nya seseorang mutlak di tangan Tuhan (Allah SWT).

Pluralitas, sekali lagi soal pluralitas, menurut pemahaman kami adalah bersifat “horizontal”, hubungan sosial antar sesama makhluk Tuhan, agar di antara mereka saling mengenal, saling menghargai dan saling menghormati tanpa harus meleburkan (menghilangkan) identitas masing-masing komunitasnya. Demikian juga dengan fakta-fakta sejarah perselisihan dan pertikaian yang terjadi pada kaum Muslimin generasi awal, cukuplah menjadi catatan sejarah, yang tidak harus kita rubah apalagi sampai untuk menghilangkannya, melainkan untuk dijadikan sebagai cermin, agar dapat melihat kekurangan kita di masa lalu, dan berusaha untuk memperbaikinya, kemudian berusaha menghiasi wajah sejarah kita, kaum Muslimin ke depan agar lebih baik, lebih rasional dan lebih ideal.

Membangun toleransi sesama makhluk Tuhan, lebih-lebih sesama kaum Muslimin adalah sebuah keniscayaan. Tanpa adanya saling toleransi tidak mungkin kita dapat membangun peradaban dan kebudayaan yang lebih komperhensif, karena itu adanya interaksi di antara kita, sehingga saling mengenal, saling memahami dan akhirnya saling menghormati ciri-ciri khas yang dimiliki masing-masing komunitas.

 

[1] QS. Al-Hujuraat/ 49: 13.


*Penulis adalah Aktivis Pelita Perdamaian.

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.