
Pegiat Pelita Perdamaian dan Pemuda GKI Klasis Cirebon setelah 3 hari mengikuti Pesantren Lintas Iman di Pondok Pesantren Bapenpori Babakan, Ciwaringin Cirebon.
Oleh : Haryono*
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU. No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan). Sehingga dalam melaksanakan prinsip penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu; mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Bukan hanya pendidikan formal saja melainkan pendidikan informal juga turut mempengaruhi pola kehidupan masyarakat, terlebih dalam kehidupan yang beragam seperti di Indonesia ini. Namun acap kali pendidikan di Indonesia masih belum menemukan titik temu terkait masalah pendidikan (baca: pengajaran agama-agama dan kepercayaan) yang diajarkan sekolah.
Pendidikan formal yang ada sekarang kebanyakan hanya memberikan pembelajaran agama masing-masing, padahal kita tahu bahwa sejak awal kita hidup dalam masyarakat yang plural, termasuk dalam hal agama. Maka kita perlu kiranya mengetahui ajaran agama lain.
Menguatnya Ekstrimisme Beragama
Jawa Barat merupakan wilayah yang selalu lekat mendapat juara dalam kaitannya dengan tindak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, tercatat ada 29 peristiwa di Jawa barat dari 155 peristiwa di seluruh provinsi di Indonesia (Setara Institute, 2017). Banyak sekali faktor yang melatarbelakangi, baik berasal dari pemicu politik elektroral sampai ke taraf angka kemiskinan yang tinggi, yang menyebabkan orang dengan mudahnya berbuat intoleran. Dari sekian faktor yang multidimensional itu, penulis berasumsi bahwa salah satu akar permasalahanya terdapat pada pola pendidikan agama di Jawa Barat yang terkesan monolitik dalam konteks pengajaran agamanya.
Kita lihat, misalnya, di beberapa SMA Negeri di Kota Cirebon, pengajaran agama terkesan masih didominasi pengajaran agama Islam belaka, padahal murid didik berasal dari latar belakang suku, ras, dan agama yang berbeda. Di lain tempat, Kabupaten Indramayu, bahkan pemerintah daerah menerapkan sistem wajib baca al-Quran melalui peraturan Perda Syariah untuk seluruh sekolah-sekolah di semua leveli, tak terkecuali sekolah negeri. Hal tersebut, tentu saja, dalam skala waktu yang panjang akan berdampak pada minimnya pemahaman para peserta didik atas keberagaman dan multikulturalisme, di samping itu ia juga menyebakan paradigma siswa akan mudah jatuh pada kubangan pemahaman agama yang sempit, monolitik dan ekstrim.
Jalur Kultural
Merespon situasi demikian; meningkatnya ekstrisme beragama, sempitnya ruang gerak masyarakat dalam memahami pola keberagaman, khususnya dalam ranah pendidikan, sejak tahun 2011, Pelita Perdamaian mengikhtiarkan jalur kultural agar keberagaman menjadi satu wadah bersama di masyarakat. Pertama, melalui pertemuan bulanan, yang punya konsep dalam pendekatan dialog dan aksi bersama antar seluruh elemen masyarakat di wilayah III Cirebon, dengan salah satunya berkunjung dari satu komunitas ke komunitas lain, satu rumah ibadah ke rumah ibadah lainnya. yang kedua, melalui penerapan pola pendidikan berbasis interrelijius dengan tujuan pembelajaran basic “living value education”, yang dilakukan oleh peserta dari tingkat SMA dari semua sekolah-sekolah agama.
Diane Tillman dalam bukunya “Living Values Activities for young adult (Pendidikan Nilai Untuk Kaum Dewasa Muda)” menjelaskan bahwa LVEP (Living Value Educatian Programme) mulai diperkenalkan pertama kali oleh Brahma Kumaris dalam rangka merayakan ulang tahun PBB yang ke-50. Saat itu diberi nama Sharing Our Values for a Better Word (berbagi Nilai-nilai Kita untuk Dunia yang Lebih Baik), kegiatan ini fokus pada 12 nilai-nilai universal. Adapun ke 12 nilai-nilai universal tersebut, yaitu kedamaian, penghargaan, kasih sayang, toleransi, kerendahan hati, kejujuran, kerjasama, kebahagiaan, tanggung jawab, kesederhanaan, kebebasan, dan persatuan.
Dari sinilah, permasalahan pendidikan agama di sekolah-sekolah perlu diperhatikan, seperti pembelajaran agama di sekolah-sekolah yang masih menggunakan model pembelajaran monoreligius yang menyebabkan orang buta terhadap agama lain. Dari situ Pelita Perdamaian merancang sebuah sekolah intereligius dengan metode living value education, di mana peserta didik dari satu komunitas keagamaan diajak untuk live in di tempat komunitas keagamaan yang lainnya. Peserta didorong untuk terlibat aktif menjadi pembelajar sekaligus peneliti bagaimana memahami kehidupan-kehidupan orang yang berbeda keyakinan dan agamanya dengan mereka.
Pendidikan tersebut sebenarnya bertujuan untuk menanggulangi model pembelajaran monoreligius yang cenderung membuat orang bersikap pasif terhadap keragaman. Oleh karena itu pendidikan intereligius perlu di lakukan, karena melalui pendidikan intereligius orang berkesempatan mendapatkan pemahaman yang informatif, deskriptif tentang beberapa komunitas keagamaan disekitarnya. Dengan demikian sejak dini peserta didik belajar mengapresiasi dan bersikap toleran terhadap para penganut dan warisan tradisi berbagai komunitas keagaman.
Metode living education yang diterapkan Pelita Perdamaian dengan tujuan peserta didik bisa melihat secara langsung bagaimana kehidupan komunitas kegamaan lainnya yang pada ahirnya peserta didik akan mempunyai sikap yang positif terhadap keragaman dan tidak lagi timbul prasangka-prasangka yang tidak benar terhadap komunitas kegamaan yang lain.
Pelita Perdamain, melihat pola pendidikan monoreligius ahirnya mudah dimasuki pemahaman-pemahaman yang radikal atau fundamental. Siswa khususnya di rohis sudah di berikan doktrin-doktrin yang tidak baik seperti tidak melakukan upacara bendera karena dianggap sebagai thagut dan hal tersebut akan merusak aqidah islamiyah mereka.
Hal tersebut dihawatirkan, jika tidak ditanggulangi sejak dini maka akan menyebar ke sekolah-sekolah lainnya. Oleh Karena itu Pelita Perdamaian berharap dengan adanya pendidikan intereligius yang sedang dilakukan bisa terlaksana dan bisa mejaga semboyan kita yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
*Penulis adalah Ketua Umum Pelita Perdamaian 2018-2020 dan Alumni Youth Interfaith Camp (YIC) tahun 2018.
Comments Closed