Pesantren: Benteng Generasi Milenial Berperadaban

Pesantren: Benteng Generasi Milenial Berperadaban

 

Oleh : H. Aghust Muhaimin*

Pelita Perdamaian – Pondok Pesantren Gedongan Ender Pangenan Kabupaten Cirebon didirikan oleh KH. Muhammad Said, (Kakak ipar KH. Abdul Jamil Pendiri Pondok Pesantren Buntet) pada awal abad 19. Beliau memiliki keturunan yang juga mendirikan pesantren semisal Pondok Pesantren Lirboyo KH. Mahrus Aly, Pesantren Kempek KH. Aqil Siroj (Ayah Ketua umum PBNU KH. Said Aqil siroj), salahsatu Pondok Pesantren di Krapyak dll. Semenjak wafatnya Almaghfurlah KH. Amin Siroj generasi ketiga, kini sesepuh pesantren ini dilanjutkan oleh KH. Mukhlas Dimyathi.

 

Dalam rangka mengenang jasa beliau, maka pada hari Sabtu (28/04) diadakan Peringatan Haul KH. Muhammad Sa’id yang ke- 87. Dimana terdapat beberapa rangkaian kegiatan yaitu: donor darah, pengobatan gratis, santunan anak yatim, sunatan masal, bahstul masail, pasar rakyat, festival genjring yang kemudian ditutup dengan sema’an al-Quran dan pengajian Akbar.

Peringatan haul ini tidak dimaksudkan hanya sekedar seremonial saja, namun bagaimana haul agar dapat dijadikan sebagai momentum untuk meneladani jejak perjuangan dan pengkhidmatan para pendiri pesantren. Kini, berbicara Pesantren tidak cukup lagi dimaklumatkan dengan sekadar “iklan” sejarah bahwa ia merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia yang sukses menggembleng rakyat Indonesia, menjadi umat yang berkepribadian serta berhasil mengawal bangsa ini dari hadangan kaum penjajah. Tetapi kiranya lebih dari itu, butuh pembuktian aktual (dan kontekstual) bahwa pesantren, kini dan di masa mendatang, tetap sanggup menebar simpati dan menyumbang kontribusi positif bagi dinamika hidup keummatan. Dalam ujaran yang lebih lugas, sudah bukan masanya lagi pesantren menyanjung dan menghibur diri dengan (kejayaan) masa lalunya, melainkan harus selalu kritis dan produktif menata masa depan di hadapannya.

Pada aras demikian, sukar dipungkiri bahwa pesantren disergap oleh sebuah dilema. Di satu sisi, ia dituntut untuk berbenah dan berubah sedemikian rupa, agar senantiasa tampil menarik dan tak aus dikisis waktu. Sementara di sisi lain, ia (tetap merasa) berkewajiban melestarikan nilai-nilai luhur warisan generasi pendahulu dengan baik.

Banyak pesantren, guna mengatasi cemas serta dilema keprihatinan serupa ini, menempuh “kompromi” dengan mengambil titik-titik padu antara keduanya untuk dipadu-padankan guna menyediakan jalan peradaban yang lebih bermartabat. Tepat di garis inilah, pesantren berhadapan dengan tantangan zaman dalam wujud yang sesungguhnya. Sehingga kegiatan haul KH. Muhammad Said diadakan dengan tema “Pesantren sebagai Benteng Generasi Milenial Berperadaban”.

Berangkat dari itu, menghadapi era digital dan milenial ini,  pesantren dituntut untuk senafas dan menyelaraskan diri dengan perkembangan masyarakat. Secara evolutif ia mesti mendeteksi detak nadi keinginan masyarakat dan kemudian mengikuti iramanya. Maka dalam konteks ini, pesantren sudah saatnya untuk menoleh ke arah pemberdayaan tradisi tulis (tahriry) di dalamnya. Bukan berarti oralitas dan sistem hafalan di pesantren harus dihilangkan sama sekali, akan tetapi kehadiran budaya tulis yang dinamis akan kian melengkapi khazanah pesantren. Sehingga, tradisi literasi ini menjawab tantangan agar tidak kehilangan jejak karya para pendahulu.

Boleh kita bayangkan, betapa kaya khazanah tulis yang sebenarnya hidup di pesantren. Nomenklatur-nomenklatur referensial yang tersimpan di pesantren membentang sejak era Nabi, zaman klasik abad pertengahan  hingga era keislaman mutakhir. Ia pun merentang di sepanjang kutub keilmuan, mulai dari akidah, fiqih, tasawuf, filsafat hingga belantika sastra. Sangat disayangkan bila ia hanya menjadi pajangan dan tidak tersentuh secara eksploratif dan produktif. Di sinilah peran budaya tulis menjadi tak terelakkan. Ia merupakan pilihan yang, bagaimanapun, niscaya ditumbuh-kembangkan.

Sebagai insan pesantren, barangkali kita selalu rindu dengan kehadiran tulisan yang lahir dari “rahim” pesantren. Misalnya oleh para punggawa pesantren misalnya,KH. Ahsin Muhammad, KH. Husein Muhammad Arjawinangun dan KH. Bisri Mustofa Rembang, KH. Habiburrahman El-Shirozy, dan dari generasi muda Kang Acep Zamzami dll.  Sementara Penulis dari kalangan pesantren yang sudah wafat yang saya tahu semisal: KH. Habib Usman, KH. Ahmad Warson, KH Mahbub Junaidi, KH. Mudjab Mahalli dan KH. Ishom Hadzik, kebiasaan literasi ini amat disayangkan bila dibiarkan pupus dan terputus. Percikan tinta para penulis pesantren itu, tentu memberikan inspirasi kita merawat tradisi dari khazanah pesantren.


*Penulis Adalah Dosen Bunga Bangsa Cirebon (BBC) dan Kepala Madrasah MA Al-Shigor Gedongan.

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.