
Oleh: Imbi Muhammad*
Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukukan sesuatu yang baik untuk semua orang, Orang tidak akan tanya apa agamamu, – KH. Abdurrahman Wahid
***
Pesantren telah membuktikan bahwa keragaman daerah, suku, bahasa dan budaya bukan halangan dalam mewujudkan perdamaian. Para santri yang datang dari penjuru nusantara dipertemukan dalam satu wadah untuk menempa ilmu agama di pesantren, yang merupakan salah satu institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren sebagai bentuk warisan pendidikan dari para wali songo, telah menyebar ke seluruh pelosok negeri disertai ribuan santri yang mondok di dalamnya. Pembelajaran dan sistem pesantren beraneka ragam ada tradisional (salaf) maupun modern. Macam ragam pesantren tentu memperkaya khazanah keislaman di negeri ini dan Islam Indonesia memiliki corak yang khas tersendiri, tidak serupa seperti Islam timur tengah.
Di saat yang sama, ketika masyarakat di luar pesantren masih sering bertikai dengan tetangga desa, pesantren telah menunjukkan eksistensinya dalam membangun perdamaian di tingkat lapisan bawah (grass root). Belum pernah kita mendengar tawuran antar pesantren atupun santri yang dihadang di tengah jalan oleh santri dari pesantren lain ketika hendak mengaji ke kiainya. Semua itu terjadi berkat kearifan kiai dan para ustadznya serta selalu mengedepankan akhlaqul karimah kepada para santrinya.
Akar Perdamaian Pesantren
Pola rujukan yang bersumber dari teks-teks keagamaan seperti Al-Qur’an dan Hadits masih menjadi pijakan utama dalam pembelajaran di pesantren. Di samping tambahan materi pelajaran pendukung lain seperti Nahwu, Sorrof, Balaghoh, Tauhid, Tasawwuf dan bahasa Arab. Semuanya guna mengukuhkan akidah sebagai seorang muslim, juga membantu para santri dalam memahami khazanah Islam klasik, kitab kuning (kutub at-turats) dan penguatan kapasitas intelektual mereka. Sehingga bisa menjadi pribadi yang terbuka (open minded) akan perbedaan. Dengan bekal ilmu yang dimiliki, para santri mampu membentengi diri dari tindakan intoleran dan tidak terjerumus masuk ke dalam kelompok-kelompok radikal. Karena kecenderungan kelompok radikal adalah melihat tafsir keagamaan hanya dari satu sisi dan seringkali merugikan bahkan mencedarai kelompok lain.
Pesantren dan para santri seharusnya mampu menjadi counter attack tindakan radikal dari kelompok garis keras, serta sebagai agen perdamaian dan mengkampanyekan pesan-pesan damai di masyarakat. Ini semua mesti dilakukan sebagai wujud implementasi dari pembelajaran di pesantren. Ketika santri bergelut dengan kajian keagaman, seperti perbedaan pola pandang dan tafsir agama dari para ulama, juga latar belakang budaya, bahasa dan adat berbeda yang mendasari mereka, hal ini selayaknya bisa menjadi spirit untuk menciptakan lingkungan damai di masyarakat yang heterogen.
Kalangan pesantren mungkin familiar dengan sabda Rasulullah saw “orang muslim itu adalah orang yang dapat menyelematkan (menjaga) muslim yang lain dari gangguan tangannya dan lidahnya” (HR. Ahmad). Pemaknaan dari hadits ini tentu tidak hanya sebatas menjaga kepada sesama muslim melainkan manusia keseluruhan tanpa memilah-milah agama yang dipeluk. Konsekuensinya adalah menciptakan individu yang sadar akan perdamaian dengan tidak mengganggu dan menyakiti orang-orang di sekitarnya melalui perkataan dan perbuatan yang tercela.
Kemampuan individu yang seperti ini adalah cerminan Islam yang santun dan lembut terhadap sesama. Karena rahmatan lil ‘alamin adalah misi utama Muhammad SAW diutus di muka bumi ini, tentu agama yang dibawanya juga mengajarkan paham dan ajaran yang selaras dengan rasulnya.
Aktualisasi Perdamaian Islam Pesantren
Di saat peperangan di timur tengah yang tak kunjung henti, Islam di Indonesia hadir menjadi oase kedamaian di tengah peliknya konflik sosio-politis Islam global. Hal ini direpresentasikan dengan keterbukaan pesantren terhadap kelompok agama lain. Beragam acara lintas agama sering diadakan, serta melibatkan beberapa agama untuk memperkuat hubungan silaturahmi dan mengikis perbedaan yang ada. Acara pesantren seperti haul dan pernikahan tidak jarang dihadiri oleh kalangan non muslim, begitu pula sebaliknya, kalangan dari Kristen, Konghucu, Buddha dan agama lain sering pula mengundang kalangan pesantren untuk menghadiri acara mereka. Semuanya merupakan wujud nyata dan upaya pesantren untuk membangun perdamaian. Intensitas pertemuan pesantren dengan kelompok agama lain yang sering dapat menjadi kekuatan global untuk menumbuhkan tenggang rasa dan saling menghormati sesama. Bahkan peserta KKN dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, setiap tahunnya magang di pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka dan kampus ISIF Cirebon.
Sebagai akhir dari tulisan ini, Hasan Hanafi, seorang pemikir muslim kontemporer pernah berpendapat bahwa esensi perdamaian itu meliputi adanya damai dalam kepribadian seseorang yang pada akhirnya akan mendatangkan kedamaian untuk semua. Perdamaian bukan sebuah diskursus, perdamaian adalah sebuah perasaan yang harus disertai dengan perbuatan. Manusia yang tidak memiliki rasa damai pada dirinya tidak akan pernah muncul kreatifitas damai. Perdamaian dalam setiap diri setiap manusia datang sebelum muncul setiap manusia datang sebelum munculdamaian itu dalam masyarakat. Dan perdamaian dalam jiwa akan mendahului perdamaian di dunia. Inilah dalam konteks Islam sebagai agama penyerahan diri kepada Tuhan mengandung nilai perdamaian itu sendiri. Islam mengajarkan agar pemeluknya mempertahankan entitas damai dalam segala lini kehidupan. Dan perdamaian itu tidak dapat dipaksakan oleh individu maupun negara tanpa adanya kebebasan memilih atau menerima. Nilai-nilai keislaman memberikan kebebasan menerima putusan yang adil tanpa tekanan dan paksaan. Perinsip dasar seperti inilah yang harus dijadikan prototype kehidupan manusia yang berkeadaban di dalam sebuah tatanan kehidupan penuh cinta damai.
Nilai perdamaian itu juga merupakan esensi dari sebuah persetujan individu, masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan perintah Tuhan sebagai perwujudan perdamaian yang universal.
*penulis adalah guru madrasah di MSS Bapenpori, aktif di komunitas MB2 dan anggota PELITA
telah dimuat di HU Radar Cirebon, Juni 2015
Comments Closed