
Oleh: DEVIDA
Tulisan ini bukan untuk memotifasi remaja mengambil peran yang lebih besar dalam menjaga, membangun perdamaian, apalagi menyelesaikan konflik . Tulisan ini hanya sekedar membaca realitas dunia kecil mereka. Dimana dunia remaja adalah dunia pertemanan untuk membanguan solidaritas.
Kata yang sering melekat pada remaja adalah “masa transisi”, peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa akan berdampak besar bagi pandangan hidup mereka terhadap lingkungan sosial. Hal ini ditengarai tumbuhnya daya kritis remaja dalam menyikapi kenyataan hidup. Menurut Syamsu Yusuf perkembangan yang sangat segnifikan bukan fisikal belaka , batasan perkembangan dari usia 12-21 Tahun terjadi perubahan pada beberapa organ tubuh misalnya hidung, tangan dan kaki.
Secara intelektual remaja mulai dapat berfikir logis tentang gagasan abstrak. Yang terpenting adalah wawasan berfikirnya semakin meluas, bisa meliputi agama, keadilan, moralitas, dan identitas. Dari sini timbul yang dikatan sebagai pencarian jati diri dengan mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukan. Semakin sulit rintangan semakin menarik bagi mereka, terkadang prilaku membahayakan nyawa tidak menjadi halanagan untuk berbuat sesuatu demi pengakuan eksistensi mereka sebagai manusia.
Menjadi sangat prinspil, akhir-akhir ini remaja banyak yang terperangkap dalam alam bawa sadar Mimesis (meniru) sosok yang sangat dikagumi. Segala macam tingkah-pola dilakukan demi mendekati kemiripan sosok tersebut, ini bukan soal kepantasan, kebangaan menjadi citra diri yang diakui keberadaanya menjadi harga mahal.
Mungkinkah Remaja Sebagai Agen Perdamaian?
Kekerasan terjadi tanpa henti, para pelaku dengan banga melakukan kekerasan yang serupa dalam waktu dan tempat yang berbeda. Mengapa ini terjadi?, mungkinkah nurani mereka telah padam atau disebabkan penegak Hukum di Negri ini telah tumpul, sehingga pertikaian kecil dan perbedaan selalu saja diselesaikan dengan jalan menghilangkan eksistensi keberadaan orang lain. Jika ini terus berlanjut, tentu tatanan bernegara kita perlu di renungkan kembali.
Bagaimana dengan peran remaja?, yang berada dalam lingkaran konflik tanpa henti. Ungkapan “remaja tidak melakukan tindakan kekerasan sudah terbilang cukup baik”. Namun apa itu tidak berlebihan dan mengebiri peran besar mereka terhadap Bangsa. Karena ditangan siapapun tentunya perdamaian dapat menjelma, termasuk remaja.
Remaja merefleksikan arti kecintaan kepada perdamaian dengan wujud yang yunik. Mereka sebenarnya muak terhadap konflik orang-orang dewasa yang membawa bendera kebenaran di atas kekuasaan. Bahkan remaja sendiri terkadang menjadi korban atas kekerasan tersebut. Masa remaja harus menyaksikan beberapa orang tua saling melempar batu, padang, golok, sampe umpatan-umpatan yang tak selayaknya pantas sebagai sesama manusia.
Ungkapan kekesalan atas konflik yang selalu saja menghantui Ahmadiyah Manislor, bisa kita lihat pada karya Grativi Jalan Siliwangi Desa Manis Lor. Dalam Terminasi konflik partisipasi remaja untuk menejemen konflik terbilang inofatif, 35 orang Remaja yang tergabung dalam Komunitas “pemuda untuk perdamaian” memberikan sentuhan pesan damai pada tembok-tembok yang ramai dilalui warga. Banyak ungakapan yang dituangkan semisal indadahnya perbedaan, Peace Love empathy, Love For All Hatred For None.
Pemenang hadiyah Nobel Perdamaian 2014 Malala Yousafzai remaja asal Pakistan. Malala, usia 17 tahun yang selamat ditembak kepalanya dua tahun lalu oleh taliban di Pakistan karena menuntut pendidikan yang setara bagi anak perempuan, mengatakan “bukan hanya hak tetapi kewajiban bagi anak” untuk mendapatkan pendidikan. Ia juga menegaskan pentingnya mendidik anak-anak dan membebaskan mereka dari kemiskinan.
Membumikan Cinta Perdamaian
Cinta adalah ungkapan yang tak terkatakan berwujud ketentraman dan kasih sayang. Setiap manusia tentunya membangakan kehidupan yang demikian. Perlu diwujudkan dengan konkrit disetiap lini kehidupan. Agar jalan buntu perbedaan bisa tercairkan dengan kesadaran “bahwa yang berbeda adalah niscaya”.
Dari arus kesadaran para remaja yang perlu diberi ruang kebebasan yang bertangung jawab, dimulai dengan bentuk komitmet pemerintah Daerah dengan memberi mereka ruang ekspresi dan bagi orang tua sepatutnya memberikan kepercayaan kepada mereka. Jika dua unsur terpenuhi dalam kondisi aman perdamaian dimulai dengan “berdamai dengan dirinya sendiri”. Barulah keinginan-keinginan yang bersifat merusak orang lain bisa dikekang. Selanjutnya, remaja tidak berbuat yang bisa menimbulkan keresahan warga, kemudian kepedulian atas pentingnya perdamaian bisa diwujudkan seperti apa yang dilakukan oleh remaja Manislor dan Malala Yousafzai.
Kecendrungan remaja tidak suka berwacana, ia lebih menyukai menjamah alam-alam yang nyata, sehingga membumikan perdamaikan dengan insiatif yang kongkrit sangat mungkin dilakukan. Kenakalan remaja penulis cermati hanya sebagai wujud pelarian atas realitas yang tidak diperoleh pada sekolah atau lingkungan keluarga. Jika pengendalaian konflik efektif bagi remaja, maka konflik akan menjadi kekuatan pendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial yang terus berlanjut.
*Penulis adalah Ketua Umum PELITA
*Tulisan ini pernah dimuat di harian umum Radar Cirebon
*Sumber gambar: www.solopos.com
Comments Closed