MAJASEM-CIREBON-“Evaluasi dan prospek kehidupan toleransi di Jawa Barat” menjadi tema sentral dalam pertemuan bulanan di awal tahun 2015, yang diselenggarakan di gedung pertemuan Gusdur, Kampus Institut Study Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, 29 Januari 2015.
Pdt. Supriyatna, MT, Ketua Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Pasundan (GKP) Bandung, Jawa Barat secara istimewa, menyempatkan diri bertandang ke Cirebon, khususnya dalam agenda PELITA, sebagai pemantik pada kesempatan kali ini. Pak Pri –begitu sosok bersahaja yang biasa dipanggil sehari-harinya-, membuka pembicaraan hangat dengan memaparkan bagaimana niscayanya peran dialog antar agama. Kondisi kebebasan beragama dan berkepercayaan (KBB) di Jawa Barat, di satu sisi, sangat mencemaskan. Namun, seperti disinggung oleh Pak Pri, masih banyak jalan yang bisa dilakukan agar perdamaian terus disemai kepada generasi bangsa ke depan; salah satunya melalui jalan dialog.
Berdialog tak sama sekali paralel dengan berdebat. Berdialog artinya berani membuka diri, untuk terbuka, ekslusif dan inheren dengan liyan, berbeda dengan kita. Berdialog menghapus segala syak-wasangka dan curiga tentang orang-orang yang, sekali lagi, berbeda keyakinan. Hal ini perlahan-lahan sedang dan terus akan dilakukan oleh umat Kristiani khususnya, Papar Pak Pri.
Kegiatan bulanan yang dimulai pada 13.00 Wib dan selesai pada pukul 16.00, dihadiri beberapa sobat PELITA dan jaringan yang tersebar di wilayah Cirebon dan Jawa Barat. Di antaranya: Mahasiswa ISIF Cirebon, Gusdurian Bandung, JAI Manislor-Kuningan, GBI Pekiringan Cirebon, Gereja Baptis Cirebon, Mahasiswa-mahasiswi IAIN Syekh nurjati Cirebon, CSPC Cirebon, Komunitas Syiah, Fahmina Institute Cirebon, PMII Indramayu.
K.H. Marzuki Wahid sebagai tokoh lintas agama, pendiri Fahmina Institute dan dewan pembina PELITA, pada kesempatan kali ini juga, memberikan gagasan dan pemahaman berkaitan relasi dialog antar agama-agama di Indonesia. Menurutnya, konflik dan kekerasan atas nama agama semata-mata faktor politik an sich, “Pemangku kebijakan (pemerintah) karena kepentingan-kepentingan tertentu menjadikan agama sebagai alat untuk memecah belah umat. Padahal, esensi semua agama adalah baik, mengajarkan kebaikan dan kemanusiaan.”
Selanjutnya, memutus mata rantai kekerasan atas nama agama yakni salah satunya bisa melalui jalan budaya, way of culture. Atau dalam bahasa lain melalui kearifan lokal. Seperti disinggung oleh ketua umum PELITA, Devida, yang mengatakan perlu dilakukan kegiatan riset di lapangan, terkait kehidupan orang-orang zaman dahulu di Cirebon yang begitu toleran dan menghargai antar sesama pemeluk agama. Ia juga banyak memaparkan soal visi-misi PELITA ke depan.
“Atmosfer kebebasan beragama dan berkeyakinan, saya optimis, akan berhasil. Asalkan masing-masing ikut berkontribusi dalam pergerakan ini.” Ujar Pak Pri, yang sambil-lalu mengutip analisa Karl Mark dalam menjawab problem sosial-kemasyarakatan di Indonesia.
Pertemuan bulanan edisi kali ini, terselenggara berkat kerja bareng PELITA, Kokosan, dan GKP Bandung. Beberapa tamu undangan yang hadir dalam acara ini juga ikut berkontribusi memberi pandangan dan wacananya terkait jalan dialog antar agama di Jawa Barat. Sehingga, pada puncaknya, dialog antar umat beragama mesti terus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Melalui Pertemuan Bulanan yang rutin dilakukan oleh PELITA, roadshow ke rumah-rumah ibadah, sedikit-banyak memutus mata rantai kekerasan atas nama agama itu. Semoga
(By Redaksi: Risma/Jihan)
fotonya bagus