Perbedaan itu Bukan untuk Dijauhi: Refleksi “Nyantri” Anak-anak Remaja Gereja di Pesantren

Perbedaan itu Bukan untuk Dijauhi: Refleksi “Nyantri” Anak-anak Remaja Gereja di Pesantren

 

[1] Ditulis oleh Pdt. Kukuh Aji Irianda. Pendeta Jemaat di GKI Pamitran, Cirebon.


Perkembangan toleransi antar umat beragama akhir-akhir ini, bagi saya, tidak menggembirakan. Dimulai dari isu penistaan agama di Jakarta, isu kemudian berkembang bentuknya menjadi kekerasan seperti bentrok antar ormas, bom molotov meledak di Gereja Kristen Oikumene Samarinda (Kaltim, 13/11/2016) dan Vihara Singkawang (Kaltim, 14/11/2016), serta yang terakhir adalah isu makar.

Isu penodaan agama di Jakarta agaknya juga diperkeruh oleh peran media yang begitu masif menyebarkan berita-berita yang sensitif ini secara nasional. Yang lebih menyedihkan lagi, hampir semua media di negri ini dikuasai oleh parpol tertentu. Yang terjadi bisa ditebak: (1) media dipakai untuk menjadi alat kampanye calon pilihan parpol si media. (2) Kejadiannya di Jakarta, tapi kami yang di daerah yang tidak tahu apa-apa, sangat merasakan dampaknya. Hubungan pertemanan dan tetangga yang tadinya baik, tapi jika bicara soal isu penodaan agama, bisa saling maki dan benci. (3) Energi negri ini seolah-olah habis hanya membicarakan soal isu satu ini. Dan bagi saya, media (yang tidak netral itu) ikut berperan serta menciptakan keadaan yang seperti ini.

Berangkat dari keadaan ini, tercetuslah kemudian sebuah gagasan bagaimana memerangi isu kebencian dan perpecahan antar elemen bangsa ini dengan cara yang damai. Bagi saya caranya satu: “Perbedaan itu bukan harus ditakuti, melainkan harus didekati.” Mungkin terdengar ekstrim. Tapi saya punya keyakinan bahwa setajam-tajamnya perbedaan, namun ketika dipertemukan, keduanya akan melihat bahwa kita adalah sama: manusia. Manusia yang butuh untuk disapa, didengar, diajak bicara, dihargai, dicintai. Semakin perbedaan dijauhi, maka pada saat yang sama rasa curiga dan prasangka akan semakin tinggi.Awal Perjumpaan

Lalu terlintaslah sebuah gagasan mengajak anak-anak remaja gereja (GKI Pamitran, Cirebon) untuk Live-In (tinggal bersama) di pesantren. Gagasan Live-In ini saya pakai sebagai Penutupan untuk kelas katekisasi yang saya ampu. Katekisasi adalah kelas belajar tentang dasar-dasar iman Kristen selama kurang lebih sembilan bulan. Gagasan ini kemudian saya sampaikan kepada Abdurahman Wahid, Ketua Gerakan Pemuda Lintas Iman (Pelita) Cirebon. Mas Omen, begitu ia disapa, tidak disangka menyambut dengan antusias pula. Beliau bersama pengurus Pelita menyampaikan ide ini dan mempertemukan saya dengan Kiai Haji Amin Fuad, Pengasuh Pesantren Bapenpori Al-Istiqomah, Babakan, Kab. Cirebon. Pesantren ini terletak di Ciwaringin, perbatasan Kabupaten Cirebon dan Majalengka.

Inilah pengalaman saya bertemu dengan seorang Kiai untuk pertama kalinya, langsung bertatap muka. Pada mulanya ada rasa takut dan sungkan ketika Mas Omen mau mempertemukan kami berdua. Tapi ternyata, rasa takut itu musnah seketika karena ternyata, saya bertemu seorang Kiai yang begitu ramah, menyambut dan menghormati tamunya sedemikian rupa, dan penuh guyon. Saya berkata dalam hati, “Anjayyy.. Pak Kiai bisa gaul dan guyon juga ternyata…”. Oh Tuhan.., inilah wajah Islam yang saya yakini masih banyak tersebar di seluruh negeri. Wajah Islam yang penuh hospitalitas, penuh kasih sayang, dan penuh rahmat untuk semesta.

Setelah rapat ini-itu untuk menyusun sebuah acara yang menarik untuk anak-anak remaja, tibalah hari dimana saya membawa mereka untuk datang ke pesantren, yaitu 31 Maret – 2 April 2017. Alangkah senangnya, anak-anak remaja GKI Jatibarang juga antusias untuk ikut bergabung.

Pendekatan yang Berbeda

ngajiYang menarik, konsep acara yang kami susun pertama-tama bukan berangkat dari persamaan. Itu kuno! Bagi saya, pluralisme pertama-tama bukan bicara soal persamaan, seperti : semua agama mengajarkan hal yang baik, tujuan kita sama: menuju sorga, kita berjuang untuk kebaikan bersama, dst. Oke, itu betul. Saya tidak ada masalah dengan itu. Tapi, jika bicara soal persamaan ini semua orang juga sudah tahu. Anak-anak akan belajar sedikit ilmu jika dimulai dari sini.

Saya punya pendekatan lain. Bagi saya, yang anak-anak harus pelajari lebih dulu adalah justru perbedaannya. Teknisnya, fasilitator Pelita memisahkan anak-anak Kristen dan para santri. Yang Kristen belajar tentang apa itu Islam. Seperti: Islam mengajarkan apa sih.. bagaimana sih ritual mereka.. apa sih peran Islam dalam kebangsaan, bagaimana sih Islam memandang keberagaman agama, apa sih peran NU (Nahdlatul Ulama), dst. Di hari pertama, anak-anak remaja gereja mendengar materi tentang fiqih. Di hari kedua, mereka mendapat materi tentang kitab kuning dan belajar tentang sejarah NU dan perannya bagi bangsa ini. Di hari kedua inilah kami melihat dasar-dasar yang diperoleh para santri untuk menjadi pribadi-pribadi yang berahklak mulia. Para santri bukan hanya diajarkan untuk menjadi pribadi yang berelasi baik acheter du cialis en ligne dengan Tuhan, namun juga relasi baik dengan sesama manusia, serta berjuang demi kebaikan bangsa.

Demikian juga di kelas para santri. Saya pun menyampaikan kepada para santri tentang kekristenan, dimana iman kami berpijak, apa pandangan kami terhadap Yesus Kristus (Isa), apa yang Isa ajarkan. Saya juga menyampaikan tentang sejarah perpecahan gereja agar mereka mengerti bahwa wajah kekristenan itu tidak satu, tapi majemuk. Di sinilah terjawab sudah rasa gundah gulana para santri, “Apakah orang Kristen itu seperti Ahok?ngadeg

Di hari terakhir, saya bersama KH Amin Fuad menyampaikan sesi pandangan kekristenan dan Islam terhadap pluralisme. Sebuah materi yang tidak lagi kami dekati dengan dogma, melainkan kisah-kisah yang ada di Alkitab, Al-Quran atau pun kisah-kisah tentang teolog Kristen seperti Paul Knitter dan Raimundo Panikkar, atau para sufi Islam.

Dan ketika kisah-kisah ini diceritakan, ternyata kami menemukan kesamaan spiritualitas satu sama lain. Di sinilah kami baru bicara soal persamaan, yaitu di hari terakhir. Di sesi terakhir ini, saya mengambil kisah tentang Akhir Zaman di Mat 25:31-46 dimana Tuhan akan mengumpulkan semua bangsa di hadapan-Nya namun Ia memisahkan mana yang masuk surga dan mana yang masuk “ke tempat siksaan yang kekal.” Dan orang-orang yang masuk surga adalah orang-orang yang menolong saudaranya yang paling hina: yang kelaparan dan kehausan, yang sakit, yang ada dalam penjara, yang telanjang, yang menjadi seorang asing.

KH Amin Fuad berkisah tentang seorang sufi bernama Ibrohim bin Adam seorang sufi dari Uzbekistan. Sebelum menjadi sufi, Ibrohim bin Adam adalah seorang raja yang masyhur nan cendekia. Hampir setiap malam ia pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. Suatu malam, ketika ia sedang membaca, tiba-tiba ada orang yang berlari-lari di genting perpustakaannya. Ia langsung teriak, “Hei, siapa itu??! Ngapain kamu di atas??”

“Cari kucing!,” jawab orang itu.

Ibrohim menjawab, “Dasar orang gila! Cari kucing kok di atas genting!”

Orang asing itu menjawab lagi, “Kamu yang gila! Cari Tuhan kok di atas ketenangan dan kekayaan, sedangkan banyak rakyatmu di luar sana yang miskin. Untuk makan saja susah!”

Mendengar perkataan itu, Ibrohim seperti ditegur keras oleh Tuhan. Ia sadar. Lalu ia meninggalkan kemuliaan dan kekayaannya untuk bergaul dan menolong rakyat miskin, dan menjadi seorang sufi.

Dari kisah-kisah yang saling dibagikan ini, kami menemukan suatu mata air spiritualitas yang sama: kasih sayang kepada sesama manusia, kepedulian kepada yang menderita, sekaligus cinta kepada Tuhan. Di akhir Live-In ini ada satu jargon yang tercetus di antara kami, “Kita bisa berbeda secara ritual, tapi kita bisa bertemu secara spiritual,”. Sebuah kalimat yang akan selalu saya ingat.

Pertanyaan yang Ditunggu-tunggu

Mungkin ini pertanyaan yang ditunggu-tunggu. Apakah setelah Live-In ini, yang Kristen menjadi Islam, dan yang Islam menjadi Kristen? Tidak sama sekali ! Justru yang terjadi sebaliknya. Ketika mereka mengenal perbedaan-perbedaan itu, mereka menjadi tahu dan bisa saling menghargai. Mereka semua masuk sejenak untuk melihat “yang lain”, namun kemudian keluar dengan perspektif dan insight yang lebih dalam tentang agamanya masing-masing.

Lihatlah pengakuan Cahyaning Tyas berikut ini dalam tulisan refleksinya, “3 hari 2 malam yang mengajarkan banyak hal. Dimana kami akhirnya mengerti bahwa perbedaan bukan suatu masalah, perbedaan juga bukan satu hal yang harus kita hindari. Biarlah perbedaan sebagaimana adanya, tak perlu pusing memikirkan bagaimana cara untuk menjadikannya sama karena beda itu indah.nyubit

Belajar dari teman yang berbeda dari kami, kami menemukan banyak hal positif dari mereka, banyak hal baik juga yang bisa kita jadikan pelajaran, dan sebenarnya tidak membuat kami berpikir untuk berpindah atau semacamnya, melainkan membuat kami semakin mencitai Tuhan kami. Pelajaran yang membuat kami bisa memperkaya pengetahuan kami dan membuat kami semakin percaya pada Tuhan kami masing-masing.

Dengarlah pula kesaksian seorang santri bernama Yuyun. Dengan melihat perbedaan terlebih dulu, ia justru semakin mengerti. “Saya pernah salah paham tentang ajaran kristiani, tentang siapakah Tuhan mereka, siapa itu Isa Almasih, siapa itu Maryam, mengapa Isa bisa menjadi Tuhan. Namun segala bentuk kesalahpahaman itu tertepis pada sesi dialog tentang kekristenan dengan pendeta Kukuh,” demikian Yuyun membagikan pengalamannya.

Justru dengan bertemu sesamanya yang berbeda, mereka dibawa kepada ketegangan-kreatif berpikir seperti: “Kenapa ya Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda? Kenapa tidak sama saja sih? Jika memang Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda, mau aku apakan perbedaan ini?”

Lihatlah pula refleksi Jonathan BW berikut ini, “Waktu sebelum ke pesantren perasaan saya rada deg degan karena kan lagi panas panasnya tuh kayak demo tentang bawa bawa agama… waktu pas dateng kesana………….. perasaan curiga semua itu hilang sudah karena mereka menyambutnya dengan sangat baik, pada hari pertama aku kira bak mandinya 1 kamer mandi 1 bak mandi eh ternyata 1 bak mandi buat smua kamar mandi… mereka hidup sederhana, namun dengan kesederhanaan mereka, mereka dapat menikmatinya dengan sukacita serta bersyukur dan mereka dapat menunjukan bahwa persahabatan beda agama itu tidak seperti yang ditayangkan di tv, mereka dapat seneng bareng, dapat menunjukan toleransi mereka dengan luar biasa. Dan satu pesan saya, “Jangan curiga sebelom mencoba….

“Kenapa Anda Begitu Yakin?”

Mungkin terbersit dalam pikiran Saudara, “Kenapa Anda begitu yakin memulai mengajarkan pluralisme justru dari perbedaannya? Apakah tidak takut anak-anak kita terbawa mereka?”

Alasan keyakinan saya ada 3 :

(1) Alasan pertama: Anak-anak remaja kita pada saat ini adalah sebuah generasi yang jauh berbeda dengan kita. Mereka jauh-jauh lebih cerdas daripada saat kita remaja dahulu. Di era keterbukaan seperti saat ini, mereka bisa mendapatkan informasi apapun yang mereka mau. Cobalah ketik kata “Belajar Islam” di google. Maka Saudara akan menemukan 662.000 tautan situs. Namun sayangnya, tidak semua info yang mereka temui di dunia maya adalah sesuai dengan kenyataannya. Bisa baik, bisa juga menjerumuskan. Untuk itu, dengan mempertemukan para manusia (generasi) cerdas ini, mereka akan melihat dan belajar langsung dari sumber yang otentik. Mereka saling berbagi ilmu, sambil menjalin persahabatan.

(2) Alasan kedua: Pengajaran iman tentang Tuhan sudah mereka dapatkan sejak kecil (Sekolah Minggu). Dan di sepanjang kehidupan mereka sampai usia remaja, ada begitu banyak pengalaman iman tentang Tuhan yang sudah mereka rasakan. Untuk itu, tidak masuk akal jika dalam waktu 3 hari mereka akan berubah imannya. Bagi saya itu nonsense! Sangat tidak masuk akal.

(3) Alasan ketiga: Dengan melihat perbedaan, justru akan mengajarkan anak-anak bahwa iman adalah sebuah bahasa relasi,. Saya mengajarkan kepada anak-anak bahwa iman adalah “bahasa relasi cinta” seseorang dengan Tuhannya.

Contohnya begini. Semua orang pasti pernah jatuh cinta. Termasuk Anda. Pertanyaan saya kemudian adalah, “Kenapa Anda pada akhirnya memilih dia sebagai pacar atau istri Anda?” Mungkin jawaban Anda bisa beragam. Mungkin karena dia baik, dia cantik, cakep, pintar, kaya, dst. Oke, itu bagus. Tapi bagi saya, cinta sejati itu tidak begitu. Kalau saya boleh omong, spiritualitas cinta Anda masih cetek (rendah). Kenapa?

Jika Anda mencintai seseorang karena dia baik, berarti kalau suatu saat dia tidak baik lagi, Anda bisa tidak cinta lagi. Kalau dia tidak cantik/ ganteng/ kekar lagi, Anda bisa tidak cinta dia lagi.

Lalu apa dong alasan mencintai seseorang?

Alasan mencintai yang terdalam adalah ketika Anda mencintai tapi Anda tidak menemukan alasannya apa. Saya mencintai, ya karena saya cinta. Titik! Tidak ada koma lagi. Saya mencintai dia, hanya karena cinta itu sendiri.

Jika Anda sampai kepada spiritualitas cinta ini, mau dia suatu saat tidak cantik lagi, tidak ganteng lagi, tidak kaya lagi, atau kata orang dia kurang (cantik, cakep, tinggi, putih) niscaya Anda akan tetap mencintai dia. Kenapa? Ya, karena Anda mencintai dia! Tidak ada alasan lain. Inilah spiritualitas cinta terdalam. Sebuah cinta yang mencintai hanya karena cinta itu sendiri. Sama seperti bunga mawar yang tetap berbunga meski ia dilihat ataupun tidak dilihat orang. Ia mekar karena ia mekar.

Dengan kata lain, ketika anak-anak bertemu dengan orang yang berbeda agama, mereka belajar untuk memahami bahwa agama adalah bahasa cinta. Setiap agama punya klaim eksklusifnya masing-masing, dan itu tidak perlu dibenturkan atau disalahkan. Itulah bahasa cinta mereka kepada Tuhannya. Anda tidak mau kan disalahkan orang karena memilih istri Anda saat ini? “Lho, kalau saya sudah cinta, Anda mau apa?”

Ah, seandainya setiap pemeluk agama memahami bahasa cinta ini….

Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9)

Cirebon, 5 April 2017

*tulisan ini dimuat pula di Sejuk.org dan Selisip

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.