Pentingnya Arti Keberagaman

Pentingnya Arti Keberagaman

oleh : Zaenal Abidin*

Trend wacana Pluralisme (baca : keberagaman) sekarang ini seakan menjadi perbincangan sehari-hari kita untuk memahami realitas keragaman di negeri kita. Perbincangan ini tidak hanya di lakukan di kelas kuliah, forum mahasiswa, namun juga di serta di mimbar khutbah sampai pada obrolan kecil di kedai kopi. Ramainya perbincangan Pluralisme ini muncul, menyusul fenomena kekerasan dan intoleransi antar umat beragama yang terjadi di sejumlah tempat di wilayah nusantara ini. Begitu pula kehadiran wacana ini sampai kepermukaan di timbulkan dari resistensi pihak-pihak yang memang menolak keras wacana ini, sehingga timbul pembelaan yang tak pelak menjadi pengawet dan penghangat isu ini tetap bertahan sampai sekarang.

Namun wacana ini masih debatable seiring pertarungan yang menyertai masing-masing pihak dengan dalilnya. Lalu, apa yang membuat wacana ini mendapatkan perlawanan dan begitu hangat diperbincangkan? Kiranya kita harus menilik dulu apa itu pluralisme  dan sejak kapan kosakata ini muncul. Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti jamak, banyak bermacam-macam atau bentuk kata yang memaknai lebih dari satu. Dan  isme yang memiliki arti  faham, yakin, mercaya. Jadi Pluralisme merupakan  suatu faham yang mengakui dan percaya kemajemukan dan keberagaman itu ada, fakta dan niscaya.  Menurut Biyanto dosen Fakultas Usuludhin IAIN Surabaya, Perjalanan mengenai kata ini pertama kali digunakan oleh pakar ekonomi dan politik Eropa seperti H J Boeke dan G S Furnivall untuk memahami kemajemukan dan perbedaan masyarakat dari segi ras, bud, bahasa, pemikiran, ekonomi, dan budaya dll. Betapa kemajemukan ini begitu melekat dalam  kehidupan masyarakat secara social maupun budaya.

Ketika perbedaan itu niscaya maka hal yang wajar ketika terjadi perselisihan, kemudian apa yang menyebabkan gesekan ini begitu terasa massif. Jawabannya adalah Pluralisme kini tidak hanya berdiri sendiri namun sudah di beri embel-embel Agama, ketika sesuatu ditarik dan dikaitkan dengan Agama seakan begitu sensitif dan tampaknya akan selalu begitu. Problemnya adalah ada beberapa teks keagamaan yang memang secara lahiriah menunjukkan aturan-aturan yang tidak toleran, mendiskriminasi, kekerasan dan permusuhan, pemberontakan, penolakan  terhadap pihak lain. Walau begitu ia tidak selalu bisa di generalisir untuk seluruh ruang dan waktu. Sungguhpun Agama tidak mengajarkan atau menganjurkan hal-hal semacam ini, maka perlunya analisis  dan pemaknaan ulang mengenai teks-teks atau ajaran-ajaran Agama ini.  Disadari bahwa agama sebagai kekuatan sosial memiliki kontribusi kuat terhadap konflik sosial.

Dalam beberapa kasus banyak dari kita merespon wacana Pluralisme Agama ini justeru begitu negatif, sebagaimana fenomena yang terjadi belakangan ini. Aksi penolakan,  kekerasan, diskriminasi, subordinasi, marjinalisasi dan  penindasan kentara dan terlihat jelas oleh mata kepala kita.  Dari waktu ke waktu, sejauh kegiatan monitoring yang dilakukan oleh tim PELITA, terdapat beberapa kasus intoleransi di wilayah Cirebon sendiri semakin tinggi. Terakhir, terjadi penyerangan kelompok ormas Islam (Gapas) terhadap Jemaat Gracia di pada senin malam 11 November kemarin. akibat penyerangan ini menelan korban luka cukup serius dan harus menjalani pengobatan di rumah sakit, jelas ini melanggar UU kebebasan beragama.  Sehingga menimbulkan pertanyaan pribadi yang sebenarnya sangat mendasar, apakah kita sudah tepat ketika menyandingkan kata Agama di belakang kata Pluralisme? Nampaknya ini yang menjadi benang permaslahan dan perdebatan yang tak berujung. Yang  plural itu Agama-nya atau ajaran-nya ? Ini pula yang menjadikan diskursus berkepanjangan. Mana yang esoterik dan eksoterik dari keduanya sehingga tepat mana yang plural dan tidak.

Esensi Agama

Analogi pengertian agama dari berbagai pandangan dan akar katanya. Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta a : tidak, gama : kacau yang bermakna keteraturan dan peraturan untuk mencapai tujuan tertentu ada yang mengartikan sebagai Tradisi. Dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah religi, kata tersebut berasal dari bahasa latin religio dan berakar kata pada kata kerja re-ligare yang bermakna mengikat kembali kepada Tuhan. Dalam bahasa arab sendiri mengenal kata al-din yang artinya keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan. Sedangka Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah sistem yang mengatur tata keimanan dan kepercayaan serta cara peribadatanntya kepada Tuhan, juga tata cara pergaulan sesama manusia dan lingkungan.

Masyarakat luas umumnya umat islam selalu menyandingkan kata Din sama dengan agama, padahal saya kira cukup berbeda untuk menyamakannya. Karena kata agama sendiri itu memiliki kemiripan yang jelas dengan syariat atau ajaran. Mungkin disini menjadi titik perdebatan itu mengartikan pluralisme agama yakni keberagaman ketuhanan. Hal ini menjadi paradoks ketika kita mengartikan demikian al-din sama dengan agama padahal berbeda. Maka pemahaman ini yang mesti direvitalisasi kembali.

Dalam khazanah islam klasik menjadi semacam ladang yang begitu indah dalam penggambarannya. Seperti kita tahu buya Husein selalu mengutip pendangan-pandangan pra tokoh islam terdahulu, kali ini dalam tulisannya mengenai pluralisme ia mengutip imam Qatadah (w. 117 H) yang merupakan ahli tafsir generasi kedua setelah Nabi wafat. Menurutnya “al din wahid wa al syari`ah mukhtalifah” artinya Din itu satu dan syari`ah (ajaran) berbeda-beda. Lebih lanjut di jelaskan oleh ahli tafsir klasik Ibnu Jarir al-Thobari (319 H) ia menjelaskan  bahwa masing-masing umat manusia sudah ditetapkan jalan (sabil) dan tradisi (sunnah) yang berbeda-beda. Jadi kata Din yang kadung populer diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai agama, menurut Qotadah yakni  keyakinan Tauhid (monoteis), yaitu pengakuan terhadap ke- Esa-an Tuhan. Pernyataan tersebut membawa pada penerangan bahwa arti kata ad din adalah keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa sebagaimana dibawa oleh para utusan Tuhan.

Seiring zaman yang selalu berubah yang disertai arus globalisasi, maka secara perlahan maka agama-agama akan berkonversi atau menyatu dan terkenal dengan sebutan global theology. Pernyataan ini di gagas oleh Jhon Hick, ia menawarkan gagasan yang di sebut denganTransformasi orientasi dari pemusatan ‘agama’ menuju pemusatan ‘Tuhan’. The transformation from self-centredness to Reality – centredness. Menurut Anis Malik Toha, teori Hick ini mengatakan bahwa agama-agama hanyalah bentuk-bentuk yang beragam dan berbeda dalam konteks tradisi-tradisi historis yang beragam di seluruh dunia. Ini semua terbentuk sebagai akibat dari pengalaman spiritual manusia dalam merespon Realitas yang absolut”.

Senada dengan Jhon Hick, ilmuan dan cendikiawan Jerman Frithjof Schuon, berpandangan bahwa berkeyakinan  dalam tatanan luarnya agama berbda-beda namun pada hakikatnya semua agama adalah sama, dalam artian penyatuan itu terjadi pada level Transenden. Schoun berusaha ,mempertahankan keyakinan ini pada argumennya, yaitu semua agama memiliki dua hakikat, yaitu hakikat eksoteris dan hakikat esoteris. Dalam penjelasannya, hakikat eksoteris yakni hakikat lahir yaitu dimana pada level ini seluruh agama memiliki dogma, aturan, keyakinan, hukum, yang berbeda satu sama lain tidak arang saling bertentangan. Kedua hakikat esoteris merupakan hakikat batin bahwa pada level ini semua agam dengan segala persamaan dan perbedaannya menyatu atau istilah lain the transcendent unity of religions’ (kesatuan transenden agama-agama).

Memahami secara Utuh

Dari sekian banyak pendapat yang di lontarkan, dalam hal ini agama lebih cenderung pada arti ajaran, yang memang pada realitasnya ajaran yang menjadi titik implementasinya, ajaran atau syariat tergpolong pada hakikat eksoteris memiliki makna yang sama yaitu semacam cara kita dalam mentransformasikan pengalaman pribadi ataupun kelompok untuk menghamba, menyatukan diri pada sang Keberadaan tertinggi, karenanya umat manusia menyaadari, mereka kecil sekali dan ada sesuatu yang lebih agung, umat manusia sadar dia membutuhkan sesuatu yang di luar dirinya yang mampu membangkitkan gairah hidup. Pluralisme ataupun keberragaman ini bukan hal yang baru, sejak eranya socrates, aristoteles pun sudah ada bahkan sejak nabi Adam diturunkan dari nirvana pluralitas sudah merupakan hal yang lumrah terjadi. Tapi apa yang menjadi masalah ketika di hubungkan dalam agama, satu sama lain merasa benar dengan argumen dan arogansinya.

Barangkali menjadi perlu ketika kita melontarkan sebuah gagasan menilik dan mengulang kembali apa kemungkinan ekses yang akan ditimbulakan. Kembali pada permasalahan kiranya kita sudah mafum dan meng-iyakan atau mungkin meyakini akan perbedaan ini, yang berbeda adalah Ajarannya atau “cara” namun satu yang dituju kebahagian di dunia dan akhirat, nirvana, surga abadi hingga menuju pada sang sumber  maha-sumber. Saya teringat pada teori segitiga, dari bawah begitu luas dan mungkin berliku-liku lintasannya, namun semakin ke atas semakin mengerucut dan itu menjadi satu titik tuju bersama yaitu Tuhan, meskipun sebagian orang ada yang tidak mengakui keberadaan Tuhan namun pada hakikatnya ia memiliki tujuan transenden

*Anggota Departemen Paralegal
Mahasiswa ISIF Smester VIII Fak Ushuluddin, Jur. Filsafat Agama

 

5 Comments

  1. I am regular visitor, how are you everybody? This article posted at this web page is actually good.

    • pelitaadmin

      thanks for your comment. if you have an article, news, literature, poetry, opinion, etc who inform peace of diversity you can send to pelita@perdamaian.org
      🙂

  2. devida

    mas jenal , pemuda yang gelisah terhadap tafsir tunggal akan “kata”

  3. Fadhil Zain

    Hmm , walaupun tak terlalu mengerti tentang apa itu pluralisme, tp sekarang jadi lumayan mengerti, trimakasih untuk pemahaman nya ..

    • pelitaadmin

      makasih ksudah mengunjungi web PELITA. untuk dapat mengerti lebih mendalam tentang isu-isu perdamaian dan keberagaman, mari sering-sering berkunjung ke web ini. 🙂