
Oleh: Yose Rizal Triarto
Bagian Pertama
Agaknya akan berlebihan apabila sebuah tulisan singkat dalam blog akan mampu mengubah dan memberi dampak dalam kondisi sosio-masyarakat Indonesia saat ini. Apalagi dengan mengangkat tema tentang Walisongo & Teladan Sukses Berdakwah. Namun demikian paling tidak apa yang menjadi keprihatinan bersama atas kondisi masyarakat Indonesia dan dekadensi moral yang terjadi saat ini dan masukan solusinya dapat dengan baik tersampaikan.
Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala sesuai dengan garis aqidah, syari’at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da’a yad’u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan. Kata dakwah sering dirangkaikan dengan kata “ilmu” dan kata “Islam”. Sehingga menjadi “ilmu dakwah” dan Ilmu Islam atau ad-dakwah al-Islamiyah.[1]
Satu persoalan penting yang banyak melanda masyarakat modern saat ini baik di kota maupun di desa adalah apa yang disebut sebagai existential vacuum-kekosongan eksistensi, yang ditandai dengan kebosanan dan pengkaburan tujuan hidup. Masyarakat dunia modern kini tengah mengalami pendegradasian atas nilai-nilai kemanusiawiannya. Dalam berbagai aktifitas yang serba materialistis, mereka mengalami kejenuhan. Modernitas menjadi sejenis kepribadian yang dingin, kaku, tanpa arah, dan tidak manusiawi (dehumanized).[2]
Tidak mudah pula mengharmonisasikan sebuah bangsa yang multietnik, yang terdapat di dalamnya beragam etnik, bahasa, suku dan agama. Diperlukan juga sikap yang luar biasa bijaksana yang disertai dengan rasa identitas tentang jati diri dan pesatuan dalam masyarakat Indonesia. Konflik antar agama dan keyakinan bahkan sampai berujung anarkis dan memakan korban sudah berkali-kali sudah terjadi.[3]
Sementara jika membaca Ensklopedia Islam setebal tujuh jilid terbitan Ikhtiar Baru Ban Hoeve dan mencari informasi tentang Wali Songo, niscaya tidak akan pernah ditemukan sedikitpun mengenainya. Sebaliknya, di dalam Ensiklopedia Islam tersebut justru akan ditemukan kisah tiga serangkai Haji asal Sumatera Barat H Miskin, H Piabang dan H Sumanik, sebagai pembawa ajaran Islam ke wilayah Sumatera Barat pada tahun 1803 M.
Bila benar demikian yang dituliskan oleh sejarawan Agus Sunyoto dalam buku “Atlas Wali Songo” maka 20 tahun ke depan Walisongo dipastikan akan tersingkir dari percaturan akademis karena keberadaan mereka tidak lagi “legitimate” dalam Ensiklopedia Islam. Walisongo akan terlempar dari ranah sejarah dan tinggal mengisi ruang hampa sebagai cerita mitos dan dongeng pengantar tidur belaka.[4]
Di lain pihak akhir-akhir ini ada sekelompok orang yang mengaku bermanhaj salaf, secara tiba-tiba dan membabi buta menuduh Walisongo adalah penyebar kesyirikanm penganjur bid’ah (sesat), pengagum takhayul dan khurafat. Sehingga mereka berkesimpulan pendek bahwa Walisongo telah gagal dalam berdakwah dan tak patut untuk dijadikan teladan.[5]
Mari kita mempelajari secara perlahan-lahan tentang dakwah Walisongo dan korelasinya dalam masa lalu dan masa kini masyarakat Indonesia.
B. Napak Tilas Dakwah Nusantara Walisongo
Menurut catatan Dinasi Tang China pada waktu abad ke-6 M jumlah orang Islam di nusantara (Indonesia) hanya kisaran ribuan orang. Dengan klasifikasi yang beragama Islam hanya orang Arab, Persia dan China. Para penduduk pribumi tidak ada yang mau memeluk Islam.
Bukti sejarah kedua, Marco Polo singgah ke Indonesia pada tahun 1200-an M. Dalam catatannya, komposisi umat beragama di nusantara masih sama persis dengan catatan Dinasti Tang; orang Indonesia tetap tidak mau memeluk agama Islam.
Bukti sejarah ketiga, dalam catatan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1433 M, tetap hanya orang asing yang memeluk agama Islam. Jadi kalau kita kalkulasikan ketiga catatan tersebut, sudah lebih dari 8 abad agama Islam tidak diterima orang Indonesia. Agama Islam hanya dipeluk segelintir orang asing.
Dalam sumber lain disebutkan pula bahwa sebenarnya Islam masuk Nusantara sejak zaman Rasulullah. Yakni berdasarkan literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Kemudian Marco Polo menyebutkan, saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab menyebarkan Islam. Begitu pula Ibnu Bathuthah, pengembara muslim, yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M menuliskan bahwa Aceh telah tersebar madzhab Syafi’i. Tapi baru abad 9 H (abad 15 M) penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Massa itu adalah masa dakwah Walisongo.
Para sejarawan dunia angkat tanggan saat diminta menerangkan bagaimana Walisongo bisa melakukan mission impossible saat itu: membalikkan keadaan dalam waktu kurang dari 50 tahun, padahal sudah terbukti 800 tahun lebih bangsa nusantara selalu menolak agama Islam.
Berbeda dengan dakwah Islam di Asia Barat, Afrika dan Eropa yang dilakukan dengan penaklukan, Walisongo berdakwah dengan cara damai. Yakni dengan pendekatan pada masyarakat pribumi dan akulturasi budaya (percampuran budaya Islam dan budaya lokal). Dakwah mereka adalah dakwah kultural.
Banyak peninggalan Walisongo menunjukkan, bahwa budaya dan tradisi lokal mereka sepakati sebagai media dakwah. Hal ini dijelaskan, baik semua atau sebagian, dalam banyak sekali tulisan seputar Walisongo dan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Misalnya dalam Târikhul-Auliyâ’ karya KH Bisri Mustofa; Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia karya KH Saifuddin Zuhri; Sekitar Walisanga karya Solihin Salam; Kisah Para Wali karya Hariwijaya; dan Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA.
Dahulu di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha, dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan Budha, sehingga budaya dan tradisi lokal saat itu kental diwarnai kedua agama tersebut. Budaya dan tradisi lokal itu oleh Walisongo tidak dianggap “musuh agama” yang harus dibasmi. Bahkan budaya dan tradisi lokal itu mereka jadikan “teman akrab” dan media dakwah agama, selama tidak ada larangan dalam nash syariat.
Pertama-tama, Walisongo belajar bahasa lokal, memperhatikan kebudayaan dan adat, serta kesenangan dan kebutuhan masyarakat. Lalu berusaha menarik simpati mereka. Karena masyarakat Jawa sangat menyukai kesenian, maka Walisongo menarik perhatian dengan kesenian, diantaranya dengan menciptakan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan dan pertunjukan wayang dengan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, meraka diajak membaca syahadat, diajari wudhu, shalat, dan sebagainya.
Walisongo sangat peka dalam beradaptasi, caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga tidak diharamkan, tapi diisi dengan pembacaan tahlil, doa, dan sedekah. Bahkan Sunan Ampel, yang dikenal sangat hati-hati, menyebut shalat dengan “sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang) dan menamai tempat ibadah dengan “langgar” mirip kata sanggar.
Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan genteng bertingkat-tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren yang menurut sebagian sejarawan mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha untuk mendidik cantrik dan calon pemimpin agama.
Para sejarawan dunia sepakat bahwa cara pendekatan dakwah melalui kebudayaanlah yang membuat sukses besar. Namun demikian mungkin ada benarnya bahwa pendekatan dakwah dengan kebudayaan itu hanyalah bungkus luarnya saja. Yang benar-benar berbeda dan telah sukses dalam menyebarkan agama Islam saat itu adalah isi dari dakwah Walisongo.
- penulis lahir di Cirebon, 5 Desember 1985, adalah seorang pemerhati masalah pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Aktif menulis untuk kepentingan lomba dan kritik publik di forum-forum nasional Indonesia sejak Juli 2014. Saat ini sedang berupaya mengambil Master Pendidikan dan Humaniora di Kota Yogyakarta dan mengikuti program pembelajaran non-degree Management and Social Entrepreneurship melalui Universitas Ciputra Entrepreneurship Online (Ciputra UCEO). Buku solo populer pertamanya berjudul “Bumi dan Manusia” (Penerbit Kaifa, Bandung, 2015). Saat ini bekerja sebagai pengajar dan pengelola LBB Prestasi Utama Yogyakarta dan penulis tetap di Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan Pemprov DIY. Penulis beralamat lengkap di Basen KG III/304 RT 15 RW 04 Kotagede Yogyakarta 55173, dan dapat dihubungi melalui no HP 0812-8602-8958, email yrtriarto@gmail.com, dan kontak sosial media yang ada antara lain dengan akun Facebook https://www.facebook.com/yose.triarto, Twitter https://twitter.com/yrtriarto2, dan LinkedIn https://id.linkedin.com/in/yose-rizal-triarto-s-si-4a59964b.
Comments Closed