Panjang Jimat dan Kearifan Lokal

Panjang Jimat dan Kearifan Lokal

Oleh: Haryono Direja

Panjang Jimat” diartikan secara sederhana sebagai ritus ekspresi kebudayaan masyarakat Cirebon.  Istilah tersebut diambil dari derivasi dua frase yang berbeda dari bahasa Cirebon, “Pajang” berarti memajang; memasang, sedangkan “Jimat” senantiasa lekat dengan pusaka-pusaka pada zaman kerajaan dahulu. Ia merupakan tradisi rutin khas ala warga Cirebon, khususnya di lingkungan keraton menjelang puncak perayaan maulid Nabi Muhammad Saw.

Bagi warga Cirebon dan sekitarnya, tradisi pajang jimat beserta pranata kebudayaan di dalamnya memiliki nilai penting tersendiri. Nilai-nilai yang terkandung, salah satunya, kearifan lokal masyarakat Cirebon. Pada momentum peringatan di tahun ini, puncak acara panjang jimat dilaksanakan pada sabtu, 03 januari 2016, secara serentak oleh keraton-keraton dan dipimpin oleh sultan masing-masing, serta dihadiri oleh para tamu undangan juga masyarakat luas.

“Pelal (pelepasan) panjang jimat di keraton kesepuhan dan kanoman terbilang paling ramai, mengingat simbol-simbol dan peninggalan sunan gunung jadi lebih banyak terdapat di 2 keraton tersebut” tutur seorang warga, yang saya temui di sela-sela peringaan itu.

Di sana ribuan orang berdesakan menyaksikan acara ritual sacral tersebut. Adapun prosesi panjang jimat tersebut berbeda-beda di setiap keraton.

Prosesi ritual panjang jimat di keraton Kanoman dipimpin oleh pangeran raja Muhammad Qodiron mewakili sultan kanoman XII yaitu sultan raja Muhammad emiruddin, dengan mengenakan jubah emas dan mengenakan sorban putih. Kemudian diarak dari bangsal panembahan menuju masjid. Dalam arak-arakan atau pawai tersebut ada beberapa barisan, yaitu:

Pertama, bandrang keraton (prajurit pembawa tumbak). Kedua, panji kebesaran/bendera Macanali (berbentuk macan yang bertuliskan kalimat thoyyibah). Ketiga, Tunggal Naga yang merupakan salah satu pusaka Cirebon jaman Panembahan Ratu (Raja Cirebon ke-2).

Keempat, Patih Sultan Kanoman yang memimpin prosesi. Kelima, tujuh buah tumpeng, jeneng dan buah-buahan. Saat perjalanan menuju masjid, para pengunjung memadati sisi jalan yang dilewati rombongan. Setelah tiba di masjid, seluruh rombongan duduk rapi di masjid. Di dalam masjid tersebut dibacakan riwayat Nabi, pembacaan berjanji, kalimat thoyyibah, shalawat Nabi dan ditutup dengan berdoa bersama.

Setelah acara usai, kira-kira pukul 24.00 WIB seluruh nasi dan lauk-pauk yang dibawa rombongan dibagikan kepada keluarga Sultan, abdi dalem dan seluruh warga yang berada diluar masjid. Setelah itu rombongan kembali ketempat semula. Pangeran Patih dan keluarga langsung masuk keraton. Sementara rombongan yang membawa benda pusaka kembali menuju langgar alit. Kemudian mulai mencuci jimat yaitu Gong Saketi atau Gamelan yang merupakan peninggalan Sunan Gunung Jati di Keraton Kanoman. “Makna Seketi sendiri adalah Syahadatain atau dua kalimat syahadat,” papar Abdi Dalem Keraton. “Konon, orang-orang yang ingin menonton pagelaran wayang diperkenankan terlebih dahulu untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat,” lanjutnnya.

Uniknya dalam prosesi pencucian jimat (Gong Saketi), air bercampur bunga setaman bekas cucian jimat atau benda pusaka tersebut menjadi rebutan warga dan pengunjung yang mempercayai air tersebut membawa berkah. Itulah sebabnya, warga dan pengunjung datang dengan membawa tempat penampung air, kalaupun tidak membawa mereka akan membeli botol aqua yang dijual oleh warga sekitar.


  • Penulis adalah Koordinator Departemen Bulanan PELITA
  • sumber gambar: dokumentasi keraton Cirebon

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.