
Oleh: Aulia Fauziah*
***
Langit yang tertutup awan hitam menghantarkan langkahku ke sebuah gubug kecil yang indah nan bersih untuk beristirahat sejenak. Setiba di sana Aku hanya menggeletakan tasku di atas hamparan dingin. Dengan tas kamera di leher, Aku bergegas menuju lautan manusia Cigugur yang jarang sekali terjadi, hanya satu tahun sekali momen itu dapat disaksikan.
Usut demi usut ternyata di Desa Cigugur sedang melaksanakan rangkaian acara upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan setiap tahun. Upacara adat sebagai syukuran masyarakat agraris ini diramaikan masyarakat sekitarnya, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat.
Malam itu halaman Paseban sontak terlihat ramai tidak seperti biasanya, ribuan masyarakat berkumpul menyaksikan salah satu rangkaian acara malam itu yaitu Pentas Seni Saung Lisung. Tidak memandang etnis, suku, ras dan agama mereka berkumpul dan saling menyapa. Sungguh mata ini dimanjakan dengan pertunjukan tarian jaipong anak, Pentas SMP Tri Mulya & Taman Atikan, serta pementasan adat sunda, sumbangan dari kabupaten Purwakarta yang di Dalangi langsung oleh Bupati Purwakarta, Bapak Dedi Mulya.
Nyiblung dan Dayung Buyung adalah salah satu rangkaian acara Seren Taun di Kabupaten Kuningan yang dilaksanakan pada pagi hari tanggal 3 Oktober 2015. Saya pun sangat tertarik dengan kegiatan itu. Tapi sayangnya saja tidak dapat melihat secara langsung rangkaian tersebut, jadi saya memutuskan untuk bertemu dengan tokoh sesepuh di Desa Cigugur khususnya warga Paseban.
“Selamat pagi pak Gumirat, perkenalkan nama saya Aulia Fauziah, salah seorang yang sedang Live In di sini. Asal saya dari Kuningan. Tepatnya di kecamatan Jalaksana. Dan lebih tepatnya lagi di Desa Manislor. Bapak tau tempatnya?”, ujar saya yang tak henti berbicara.
“Kalau bapak belum tau, mudahnya kalau mau ke Sidomba, nanti ada perempatan belok kiri. Delapan rumah dari samping kiri, itu rumah saya. Eh tapi lebih tepatnya rumah orang tua saya pak hehe”, susul saya ala gurau.
Pak Gumirat pun hanya bisa tersenyum saat saya berbicara dan setelah saya berhenti berbicara beliau pun hendak tertawa bersama mahasiswa ISIF yang kebetulan berkumpul bersama di dalam Gasibu karena bagi mereka tingkah ku sedikit lucu.
*****
Tak terasa sudah satu jam lamanya saya ditemani mahasiswa ISIF berbincang-bincang dengan bapak Gumirat selaku ketua pelaksana kegiatan Seren Taun 2015. Banyak sekali obrolan yang menambah wawasan saya mengenai kearifan lokal di desa Cigugur. Salah satunya rangkaian acara yang terdapat dalam Upacara Seren Taun.
“Tradisi Nyiblung memang hampir musnah, oleh karena itu momen Seren Taun menjadi salah satu cara untuk me-review kebiasaan yang sering dilaksanakan oleh remaja laki-laki maupun perempuan”, ujar beliau. Menurut sumber referensi, Nyiblung adalah permainan musik air yang biasa dimainkan oleh masyarakat dulu ketika menunggu mengambil air minum di mata air. Dayung buyung adalah berenang menggunakan buyung sebagai pelampung, biasanya dilakukan masyarakat ketika mandi di situ dekat mata air. “Kita harus mewariskan mata air kepada anak cucu kita, bukan malah mewariskan air mata kepada anak cucu kita”, susul Beliau.
Nilai kebersamaan tercermin bahwa dalam berkumpulnya masyarakat adat cigugur yang berdiri berbagai macam agama untuk bersatu mengadakan upacara Seren Taun sebagai simbol syukur terhadap Tuhan yang maha Esa. Nilai gotong royong terlihat pada saat masyarakat Cigugur saling membantu dan bahu membahu dalam menyiapkan sajian-sajian yang akan dibutuhkan untuk Seren Taun agar upacara tersebut dapat terlaksana.
Selain itu tercermin pula nilai kesatuan, bahwa dalam upacara Seren Taun pendukung upacara ini tidak hanya satu lingkungan masyarakat saja (Cigugur). Seperti yang telah saya ceritakan di atas, dalam perayaan upacara ini hadir pula masyarakat Purwakarta yang bercampur baur dalam profesi upacara Seren Taun ini.
Dengan kata lain upacara Seren Taun pun mengambil andil dalam langkah memperkuat persatuan dan kesatuan berbagai adat dan daerah yang ada di Jawa Barat pada khususnya di Indonesia pada umumnya.
Sebagai negara-bangsa, Indonesia dihadapkan pada kenyataan heterogenitas atau kebhinnekaan masyarakat sebagai warga negara. Ini realitas yang harus diterima oleh semua warga negara dengan tulus ikhlas dengan tanpa paksaan. Inilah realitas pluralisme masyarakat yang merupakan kenyataan sejarah bangsa.
***
Senjaku disambut nyanyian sunda yang empuk di telinga. Burung berkicau saling menyahut. Kongkorongok ayam tak henti terdengar oleh telinga. Seakan menyuruh ku cepat bergegas menyambut matahari yang hendak keluar. Kerssss…Kerssss…Kerssss… seketika telinga ku terganggu oleh suara itu. Alih-alih ternyata seorang lelaki tua berambut hitam keputihan nan elok di pandang sedang menyapu halaman.
Langkahku mulai bergerak satu langkah. Dua langkah. Dan beberapa langkah menjauh dari tempat penginapan. Badan ini mulai menggigil kecil menahan dinginnya suasana di kaki gunung.
Lautan manusia yang semalam membanjiri halaman Paseban. Pagi itu hanya terlihat beberapa batang hidung saja yang sibuk berlalu lalang di halaman paseban. Mereka sibuk menyiapkan peralatan dan perlengkapan untuk rangkaian acara siang nanti.
Aku pun memutuskan untuk berkunjung ke salah satu pemukiman warga. Rumah bapak Stefanus Mugia menjadi tujuanku. Sesampai di sana saya berbincang-bincang mengenai pluralisme di desa Cigugur dengan Beliau. Menurut beliau desa Cigugur bagaikan ‘Indonesia Mini’. “Pluralisme itu ibaratkan bagian anggota tubuh, berbeda namun saling melengkapi. Dalam anggota tubuh ada tangan, kaki, mata, mulut, telinga dan lain sebagainya. Tangan tidak bisa mengatakan bahwa tangan lebih penting dari mata. Tanpa mata pasti manusia tidak bisa melihat. Dan mulut pun tidak bisa mengatakan bahwa mulut lebih penting dari telinga, karena tanpa telinga manusia tidak bisa mendengar”. Ujar Beliau.
Ketika saya mulai bertanya mengenai asal mula upacara Seren Taun kepada beliau, saya sedikit kecewa karena tidak banyak informasi yang saya dapat. Dengan alasan bahwa ketika mulut ini banyak berbicara yang bukan porsinya dalam arti bahwa beliau menganggap bahwa tidak sepantasnya Beliau berbicara mengenai hal itu. Pikiran saya pun mulai liar, stigma stigma negatif mulai tersirat. “Apakah hal ini di dalamnya terdapat kongkalikong dengan warga Sunda Wiwitan agar hanya mereka sajalah yang pantas menjelaskannya? Dan dengan cara seperti inikah warga Cigugur untuk bersikap toleransi?”. Entahlah pikiran ini mulai licik. Akhirnya ku putuskan untuk mengakhiri stigma tersebut dan mengubahnya menjadi stigma positif.
Dalam masyarakat yang demokratis terdapat hubungan yang saling menghormati antara berbagai kelompok masyarakat. Tidak ada intervensi antara kelompok yang satu atas kelompok yang lainnya, karena masing-masing berjalan sesuai dengan koridornya.
Dalam masyarakat yang demokratis, tidak dibenarkan masing-masing kelompok mencampuri urusan kelompok lain. Dengan sikap saling menghormati tersebut, maka akan tumbuh semangat saling menghargai dan mendukung dalam rangka memajukan masyarakat.
Untuk mencapai hal itu, maka perlu dibangun suatu komunikasi yang intensif. Salah satunya dengan cara komunikasi langsung. Diantara berbagai kelompok masyarakat, baik dari sisi agama, suku, etnis, budaya, golongan, dan lain sebagainya, perlu diadakan sebuah forum dialog yang memberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapat. Hal tersebut telah terlihat dalam salah satu rangkaian upacara Seren Taun yaitu Dialog Bersama Jaringan Desa. Namun sangat disayangkan menurut ketua pelaksana kegiatan, ada beberapa kendala, bahwasanya acara tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Menurut salah satu warga Cigugur, upacara Seren Taun bukan satu-satunya ajang untuk berkomunikasi atau bersilaturahmi. Ketika orang Kristen Katolik sedang merayakan hari Natal, mereka pun ikut berpastisipasi dalam acara tersebut. Selian itu ketika orang Islam pun sedang merayakan hari-hari besar Islam, warga Cigugur yang berlatar belakang agamanya berbeda mendapat undangan untuk andil dalam acara tersebut. Hal lain yang mencerminkan bahwa warga Cigugur menanamkan nilai toleransi yang tinggi adalah satu keluarga yang berbeda tata cara ritualnya. Dalam arti dalam satu keluarga menganut kepercayaan yang berbeda-beda. Seperti keluarga yang sudah 5 hari lamanya saya singgahi. Keluarga ibu Nining. Suaminya beragama Islam, ibu Nining sendiri beragama Kristen Katolik, dan dua orang anaknya serta satu orang menantunya beragama Islam.
Hal unik tersebut jarang sekali saya temui di Desa kelahiran. Walaupun keluarga tersebut menganut kepercayaan yang berbeda namun ibu Nining tidak lepas dari tanggungjawabnya sebagai orang tua untuk selalu membimbing anaknya dalam menjalankan kewajibannya sebagai penganut kepercayaan agama Islam.
Sore itu ketika adzan maghrib berkumandang, terdengar suara ibu Nining yang sedang mengingatkan anaknya untuk menjalankan ibadah sholat maghrib. Dan ketika saya sedikit mengintip, ternyata ibu Nining sedang menyiapkan mukena anak perempuannya untuk dipakai pada saat sholat.
Dari realitas di atas dapat kita pahami bahwa heterogenitas atau pluralisme tidak cukup hanya dengan mengakui dan menerima bahwa masyarakat kita adalah masyarakat majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap tulus dan ikhlas menerima kenyataan kemajemukaan itu sebagai nilai positif dan merupakan rahmat Tuhan kepada manusia.
*Penulis adalah Pengurus Departemen Media dan Publikasi PELITA. Tinggal di Manislor Kuningan, Jawa Barat
sumber gambar: Dokumentasi Foto FB: Ray Bachtiar Drajat II
Comments Closed