Meraih Hati Rakyat

Meraih Hati Rakyat

Oleh : DEVIDA

Pesta demokrasi 9 april 2014 telah usai. Begitu juga dengan pemilihan presiden yang baru-baru ini diselenggarakan. Idealnya, hajatan besar yang menelan anggaran Rp 16 Triliun menjadi harap-harap cemas bagi nasib bangsa Indonesia 5 tahun mendatang. Tentu saja, angka pengeluaran yang sangat fantastis. Betapapun, acapkali dengan memakai strategi meraup suara dengan memakai label atas nama “Rakyat”, menjadi slogan para calon politisi kita yang ditempelkan pada setiap baliho mereka. Ini seolah menjadi daya jual agar mendatangkan banyak suara. Itu hanya daya pikat, jika dieja dari setiap kata akan menimbulkan harapan banyak orang. Namun harapan itu hanya sebagai puing-puing do’a. Praksisnya, masyarakat harus berurusan sendiri tentang nasib mereka untuk bisa bertahan hidup. Meminjam istilah tukang becak di Yogyakarta, “wong cilik iso gemuyu mergo kenthir mikir negoro”.

Padahal, jika kita liha ke belakanga, bagi bangsa yang 68 tahun merdeka, semestinya usia tersebut mencapai kematangan dalam meraih hati rakyatnya. Tentunya pemilu yang sudah diselenggarakan 10 kali, mampu mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi terciptanya kesejahteraan rakyat. Pesta demokrasi, apapun bentuknya, hanya merupakan jembatan menuju pengabdian yang sesungguhnya, yakni kesejahteraan bagi rakyat. Adakah memang faktanya demikian?

Apatisme politik?

Angka Golput di Jawa Barat menurut catatan Tempo lebih dari 9 juta penduduk. Ketua KPU Jawa Barat, Yayat Hidayat mengatakan total pemilih yang terdaftar di Jawa Barat, termasuk pemilih tambahannya, berjumlah 33.344.717 orang. Yang datang ke TPS mencoblos 23.776.359 orang. Dengan begitu, partisipasi pemilih di Jawa Barat mencapai 71,3 persen.

Berbagai alasan dan motivasi yang beragam mewarnai masyarakat kita. Pertama, masyarakat sudah jenuh dengan janji-janji kampanye yang tidak ter -realisasikan saat sudah menjadi kepala daerah. Kedua, memilih tidak ada artinya karena setelah bergantinya kepala Daerah, atau peralihan pemerintahan lama kepada birokrasi yang baru tidak ada dampak perubahan di akar rumput masyarakat. Ketiga, belum adanya pemerintah daerah yang dalam kebijakan  membela hak-hak minoritas sebagai warga Negara. Keempat, kebutuhan yang paling prinsipil masyarakat berupa jaminan pendidikan, kesehatan, keamanan,  berserikat dan bekumpul belum terpenuhi secara maksimal. Kelima, pemerintah Daerah tidak berdiri berdasarkan semangat kebangsaan.

Dari 260 kasus dugaan tindak pidana pemilu yang disampaikan Bawaslu dan Panwaslu, Polri baru menetapkan 312 tersangka.  63 caleg menjadi tersangka ada satu Bupati yang ditetapkan sebagai tersangka. Sisanya 12 kepala desa, 16 PNS, 13 pengurus partai, 50 anggota KPPS, 82 tim sukses dan dari profesi lainya sebanyak 75 orang. Mereka terbukti bersalah dengan melanggar ketentuan dalam berkampanye memakai uang-suap, atau money politik. Paling tidak, kejadian tersebut menandaskan pelajaran bagi bangsa Indonesia, ibarat pisau bermata dua, pesta demokrasi jika dilakukan dengan cara-cara curang akan berpotensi membuat kerugian. Sebaliknya, apabila semangat pengabdian yang dikedepankan memberi manfaat besar dalam meraih hati rakyat, utamanya menjaga iklim demokrasi kita.

Setidaknya masyarakat kita telah cerdas dan bisa menilai kinerja dari pejabat aparatur Negara kita yang kerja asal-asalan dan yang terpenting adalah tidak bertumpu pada kesejahteraan masyarakat pada setiap kebijakan publik. Dalam konteks ini, saya kira, hal demikian sebagai koreksi dan bahan renungan pemerintah, jika ingin meningkatkan tingkat rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah harus ada terobosan baru berupa langkah rill untuk rakyat. Sejauh ini, di lapisan masyarakat paling bawah banyak suara-suara sumbang, berupa pertanyaan mendasar “Apa sih fungsi dari adanya pemerintah?”

Mengutip pernyataan Cak Nun sapaan akrab dari Budayawan asal Jombang yang bernama lengkap Emha Ainun Najib “masyarakat Indonesia tanpa pemerintah bisa mengurus dirinya sendiri”.  Pernyataan ini menegaskan di mana letak kerja pemerintah kita. Apakah hanya mengurusi catatan sipil saja berupa KTP dan angka kelahiran, atau hanya melakukan pengaspalan jalan saja. Kalau toh sebenarnya kerja-kerja teknis yang seharusnya di lakukan oleh birokrasi dikerjakan oleh masyarakat sipil. Contoh kecil saja, misalnya dalam hal keamanan, tugas Polisi sebagai otoritas penjamin keamanan dilimpahkan kepada FKPM (Forum Komunikasi Polisi dan Masyarakat), ini yang akan mendatangkan kesan cuci tangan dalam bertugas. Betul kiranya hak Bela Negara menciptakan keamanan merupakan kewajiban seluruh warga Negara. Ada kewenangan  besar yang telah di atur dalam undang-undang sebagai tugas pokok pemerintah berdasarkan amanat rakyat, yang digaji oleh rakyat.

Langkah kedepan

Bila rakyat sudah memiliki paradigma apatis, maka tidak berlebihan pada Pilpres 2014 mendatang akan bernasib sama. Tidak ada kata terlambat dalam membenahi sistem kepercayaan, reformasi birokrasi perlu kiranya digenjot sedemikian rupa sehingga mengembalikan fungsi awal dari pemerintahan kita. Pertama-pertama, pendidikan politik bagi rakyat adalah sebuah keniscayaan. Idealnya pendidikan politik mensyaratkan pendekatan secara kultur dan emosional antara pemimpin dan rakyat. Sehingga, tidak ada lagi pemisahan antara birokrasi dan rakyat bawah dalam membuat kebijakan yang memprioritaskan kepentingan rakyat.

Apa yang dilakukan oleh polisi dengan reformasi kepolisian menyematkan jargon “Dekat dengan Rakyat”, merupakan terobosan baik disaat masyarakat kita selalu menilai miring terhadap polisi. Nah, langkah serupa seharusnya dilakukan juga oleh seluruh lembaga pemerintahan. Karena kini yang nampak dipermukaan banyaknya Departemen yang korup besar-besaran membuat rakyat lemes memandang para wakilnya.

Tidak lagi berkata gombal saat berkampanye. Masyarakat tidak butuh dengan hal-hal yang bersifat artifisial, seperti pencitraan politik. Atau dengan memakai isu-isu Agama yang tidak lagi seksi apalagi berjanji akan menjadikan Indonesia sebagai mono-kultur. Seperti akan meniadakan Ahmadiyah di Indonesia saat menjadi pemimpin kelak. Kesadaran Bhineka Tunggal Ika seharusnya menjadi bagian alam bawah sadar para birokrasi kita, karna sejak awal berdirinya Bangsa ini, isu tentang keberagaman – kemajemukan merupakan sebuah keniscayaan yang sulit dihindari bagi Bangsa Indonesia. Jika seluruh kebutuhan rakyat terpenuhi dan juga mentalitas para pemimpinya berjiwa Kebangsaan, saya kira angka golput akan menurun. dan rakyat akan menentukan pilihan-pilihan politiknya sendiri tanpa perlu campur-tangan oknum yang tidak bertanggung jawab.

*adalah ketua umum PELITA

*Sumber gambar: yusufandriana.blogspot.com

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.