Menyelami Praktik Toleransi dalam Kemeriahan Imlek

Menyelami Praktik Toleransi dalam Kemeriahan Imlek

Oleh: Yuri Asriati*

Imlek merupakan hal yang sangat di tunggu-tunggu oleh orang tionghoa, karena imlek dirayakan dengan datangnya musim semi, seluruh orang tionghoa menanti datangnya imlek karena ketika musim semi datang mereka bisa melakukan pekerjaan kembali bagaimana mestinya.

Saya berkesempatan berdialog langsung dengan pemuka agama Budha, Romo Junawi, di sela-sela hiruk-pikuk perayaan Imlek pada 7 Februari 2016. Di hari itu juga, bertepatan dengan tanggal satu penanggalan tionghoa dan hal tersebut bisa dilihat dari posisi bulan yang mengelilingi matahari. Ritual yang dijalankan dalam perayaan ini, terdapat beberapa tahapan, seperti sembahyang dan doa bersama, menyalakan lilin dan ditutup dengan meyalakan kembang api.

Perayaan Imlek, dirayakan oleh seluruh orang Thionghoa khususnya yang beragama Khonghucu dan Budha, karenanya ritual yang dilakukan sejalan dengan agama tersebut tetapi tidak semua orang tionghoa beragama konghuchu dan budha, ada pula yang beragama kristen, protestan, dan Islam.

Di dalam perayaan ini mereka hanya sebatas menghargai atau toleransi karena imlek adalah suatu adat atau budaya. biasanya ketika imlek bagi seseorang yang belum menikah datang ke orang tua melakukan sungkem dan diberikan ampau serta didoakan. Perayaan imlek diselenggarakan pada tanggal satu penanggalan tionghoa. Selain berdiskusi dengan Romo, saya juga berkesempatan berdialog langsung dengan pengurus INTI (Ikatan Thionghoa Indonesia), Ibu Giok, yang saya ditemui di rumahnya di Kanoman Cirebon, pada 04 Februari 2016. Ia menjelaskan perihal sejarah, tradisi dan ajaran, khususnya, pada etnis Thionghoa yang ada di Cirebon.

Juga yang tak kalah penting, yang saya dapati pelajaran dari Pak Tedi tentang ritual-ritual yang ada di Agama Khonghucu, Misalnya saja, ia menjelaskan, bahwa di hari ke tujuh terdapat suatu rituan zis wa yaitu ritual untuk mengusir kesialan yang disimbolkan dengan menerbangkan burung, melepas belut.

Kemudian, pada hari ke lima belas terdapat perayaan pula yang disebut dengan perayaan cap go meh. Cap go meh diambil dari filosofi cap go itu lima belas, yaitu ketika bulan purnama jadi perayaan cap go meh itu dirayakan malam ke lima belas penanggalan Cina bertepatan dengan adanya bulan purnama.

Yang menarik juga, saat sobat-sobat PELITA ikut bersama dalam kemeriahan di perayaan Cap Go Meh, semacam arak-arakan komunitas Thionghoa Cirebon dengan berkeliling sepanjang jalur kota, pada 21 Februari 2016

Harapan orang tionghoa pada tahun baru imlek adalah agar lebih baik dari tahun-tahun yang sebelumnya. Sio pada tahun ini adalah monyet api yang bermakna monyet itu adalah orang yang sangat cerdik dan api itu dilambangkan dengan warna merah jadi orang yang mempunyai semangat yang menggebu-gebu.

Perayaan imlek kemarin bertepatan dengan tanggal 8 januari 2016 itu, saat perayaan berlangsung benar adanya bahwa seluruh orang tionghoa merayakannya baik di vihara atau di klenteng ramai dengan berbagai macam orang-orang yang sedang merayakan tidak memandang apa agamanya namun penghormatan terhadap budaya tersebutlah yang membuat mereka merayakannya ataupun seperti diriku yang ingin menggali berbagai macam mengenai etnis tionghoa khusunya yang beragama konghuchu dan budha.

Di situlah makna toleransi terlihat jelas, bahwa sesama manusia harus saling menhargai satu sama lain tidak memandang apa suku, etnis ataupun agamanya.

*Penulis adalah Sekertaris PELITA

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.