Menulis Perdamaian di Setaman (Sekolah Cinta Perdamaian)

Menulis Perdamaian di Setaman (Sekolah Cinta Perdamaian)

Fenomena maraknya berita, tulisan dan video yang berhamburan di sosial media seputar menebar kebencian, ancaman, permusuhan dan kekerasan menjadi sisi gelap kehidupan ruang maya dewasa ini. Nyaris kita disuguhkan setiap detik, sejak bangun tidur sampai terlelap tidur lagi. Keadaan demikian, diperparah lagi dengan absennya negara dan kontrol masyarakat, bagaimana semestinya generasi bangsa mengonsumsi sesuatu yang positif dari dunia maya (baca internet).

Tentu saja, kita tak mungkin menolak segalanya yang berhubungan dengan perubahan pesat di ruang maya, karena ia tak pelak lagi menggiurkan: dengan beragam kecepatan dan kemajuan yang ditawarkan, bagaimana mengakses sebuah informasi. Namun, di sisi lain, lalu-lintas informasi yang berseliweran tersebut penting digarisbawahi: adakah generasi muda hari ini mampu berpartisipasi dalam kontrol yang positif terhadap ruang maya?

Hal inilah yang menjadi salahsatu tema dari sekian suguhan materi yang disampaikan di Sekolah Cinta Perdamaian (Setaman), yang diselenggarakan di Gereja St. Yusuf Kota Cirebon (20 September 2015, 27 September 2015, 04 Oktober 2015), sebuah kegiatan yang dimotori dan dibidani oleh Fahmina Institute dan Pelita Perdamaian. Menginjak agenda yang ke-3, setelah sebelumnya dilakukan di  Setaman Cirebon, Setaman Majalengka. Tujuan mendasar kegiatannya, tidak lain, menyasar dan mendorong keterlibatan pemuda dalam gerakan perdamaian dan toleransi secara massif, baik di lingkungan sekitar dan ruang maya.

Dalam konteks perdamaian dan sosial media, Fasilitator Setaman, Ust. Makmuri Abbas Al-Hafidz, merespon bahwasnya informasi tentang berita-berita yang bernafaskan kekerasan dan peperangan yang terjadi di Timur Tengah masuk ke Indonesia secara meluas, oleh sebabnya, “Materi Menulis Perdamaian menjadi penting disampaikan ke peserta, hal tersebut bertujuan agar menjadi upaya yang riil terhadapa bentuk pencegahan virus-virus kebencian dan kekerasan di internet,”

Menanggapi keterkaitan materi menulis perdamaian, Haryono Direja, menyampaikan seputar tanggapan peserta setaman yang aktif dan partisipasif. Ia menukas, “berita-berita di internet itu kan, yang dimuat di laman-laman website intoleran sangat banyak sekali jumlahnya. Nah, kami menyampaikan kepada peserta setaman, agar mereka mampu menjadi counter wacana dengan isu-isu perdamaian.”

Di samping itu, salahsatu Peserta Setaman, Yuyun (20 tahun), beranggapan bahwa kegiatan-kegiatan seperti setaman harus terus berlanjut. “Saya kenal pertamakali Pelita Perdamaian sewaktu ikut kegiatan di Vihara Welas Asih, acara buka bersama puasa Ramadhan bulan lalu. Berawal dari situlah, perspektik perdamaian saya terbentuk, jadi saat ikut kegiatan setaman sekadar melanjutkan,”

Sungguhpun demikian, menulis perdamaian adalah menulis dengan mengedepankan etika, konfirmasi dan kebenaran. Menyebarkan berita-berita kebencian samahalnya membunuh secara perlahan nilai sebuah peradaban.

Keterangan photo: Fasilator, Vitri, sedang menjelaskan materi di setaman 04/10/2015

(By, Redaksi Pelita Perdamaian)

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.