
Dokumen: Annea Hira
Oleh : Alamsyah M Djafar
Pelita Perdamaian – Membuat indikator penelitian itu tidak gampang. Untuk paham, para peneliti butuh membaca banyak buku dan bahan. Setelah itu masih butuh berpikir-pikir dan merenung-renung. Tidak cukup. Agar makin meyakinkan butuh diskusi dengan ahli. Berdebat panjang lebar. Butuh berbulan-bulan, bahkan bisa hitungan tahun. Setelah jadi indikator dan dipakai dalam penelitian, hasil laporannya belum tentu orang umum paham. Lalu dikritik. Sebagian bilang, ukurannya tidak jelas. Laporannya ditumpuk di gudang. Apa tidak kasihan?
Maka, hargailah mereka. Ingatlah lirik Armada dalam “Hargai Aku”: coba kau lihat dirimu dahulu// sebelum kau nilai kurangnya diriku//apa salahnya hargai diriku//sebelum kau nilai siapa diriku. Jika ambil dari EM, selanjutnya ke Em-Am-D-G dan berakhir di G7.
Jadi meski kita tidak paham dengan hasil penelitian tertentu, setidaknya berbaik sangka saja dan mendoakan agar para peneliti itu mendapat pahala di sisi tuhan. Jika paham dan tak setuju ada baiknya buat riset tandingan.
Kesulitan membuat konsep dan indicator itu contohnya tentang “toleransi keagamaan”. Apa definisi dan bagaimana indikatornya? Untuk paham setidaknya kita perlu baca puluhan artikel atau buku, yang bisa jadi bukan tambah memahami tapi makin bingung. Makin dibaca makin banyak definisi toleransi keagamaan. Bagi yang berpikir pendek mungkin muncul pikiran jahat, kalau begitu tak usah baca saja!
Tapi, kata orang bijak, tak ada yang baru di dunia ini. Jadi kita bisa belajar dari orang lain. Misalnya baca riset Gallup yang dipublikasi pada 2004 tentang toleransi keagamaan. Sejak 2002, lembaga riset di Amerika ini malah sudah membuat The Religious Tolerance Index.
Orang yang memiliki toleransi keagamaan atau tidak diukur dari dukungan terhadap penyataan ini. Pertama, selalu memperlakukan orang dari agama lain dengan hormat. Kedua, sebagian besar keyakinan agama memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Ketiga, tak berkeberatan dengan orang berbeda agama yang pindah ke sebelah rumah, keempat orang-orang dari agama lain selalu memperlakukan saya dengan hormat. Kelima, pada tahun lalu, saya telah belajar sesuatu dari seseorang yang beragama lain.
Dari alat ukur itu, mereka juga membuat tiga kategori yang mungkin juga melemparkan pertanyaan baru: terisolasi (isolated), toleran (tolerant), berbaur (integrated). Apa maksudnya sih?
Mereka yang terisolasi itu adalah individu yang cenderung tak menjadi anggota kelompok agama tertentu, dan kalaupun menjadi anggota, mereka cenderung percaya pada kebenaran perspektif mereka sendiri di atas yang lain. Tak mau tahu, sebodo teuing, tentang agama agama lain, dan tak menghormati atau merasa tak dihormati oleh orang dari agama lain.
Mereka yang toleran diartikan yang punya sikap “hidup-dan-biarkan-hidup” (live-and-let-live) terhadap orang-orang beragama lain, dan umumnya merasa bahwa mereka memperlakukan orang lain dengan kepercayaan agama yang berbeda dengan hormat. Namun, umumnya mereka tak mau belajar dari atau tentang agama lain. Sedang yang berbaur adalah mereka yang secara aktif mencari tahu lebih banyak dan belajar dari orang lain yang berasal dari tradisi agama yang berbeda. Mereka percaya sebagian besar agama lain memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, dan bukan hanya mereka merasa mereka menghormati orang lain dari tradisi berbeda; mereka juga merasa dihormati oleh mereka.
Tim Penelitian The Wahid Foundation
Comments Closed