Mengokohkan Kebhinekaan

Mengokohkan Kebhinekaan

sumber foto : maratisetyaningsih.blogspot.com

Oleh    : Pdt. Markus*
Editor  : Dias Alauddin

Di tahun 2018 ini (20/5) Gereja merayakan Pentakosta bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Hari peringatan ini didasarkan atas tanggal 20 Mei 1908 yang ditandai dengan lahirnya Boedi Oetomo.

Boedi Oetomo merupakan sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Soetomo dan para mahasiswa STOVIA, yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji. Digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Hal ini menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia, walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa.

Rakyat yang selama ini terkotak-kotak berdasarkan identitas kesukuan dan agama, pada masa itu mulai sadar sebagai ‘orang Indonesia’. Tidak lagi berjuang sendiri-sendiri dalam melawan penjajah Belanda, melainkan bersatu padu.

Pertanyaannya, apa arti dan relevansinya bila Gereja merayakan Pentakosta dan hubungannya dengan Kebangkitan Nasional, bagi kehidupan dan bangsa di masa kini? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita perlu mengetahui apa itu Pentakosta.

Di beberapa gereja, perayaan Pentakosta dilakukan dengan cara persembahan unduh-unduh (persembahan hasil panen). Dahulu, peristiwa turunnya Roh Kudus di Yerusalem terjadi tepat pada hari raya yang sangat populer, yaitu pesta panen. Ini sekaligus peringatan atas diberikannya hukum Taurat di gunung Sinai. Dalam perkembangannya, Pentakosta menunjuk pada ungkapan syukur umat atas Allah yang memberkati mereka dengan hasil panen. Menuntun mereka untuk hidup seturut dengan kehendak-Nya melalui pemberian hukum-hukum-Nya.

Pentakosta diperingati sebagai hari turunnya Roh Kudus menghampiri dan mengasihi manusia. Keyakinan bahwa Tuhan mengasihi dunia ini, tidak pernah bisa digantikan menjadi keyakinan bahwa Tuhan itu mencintai kekerasan. Peristiwa Pentakosta bukan hanya mengubah pendekatan Tuhan kepada manusia, tetapi juga mengubah sikap hidup manusia, menjadi saksi-saksi yang berani, tahu persis apa yang benar, dan peduli kepada dunia.

Menjawab pertanyaan di awal, semestinya Pentakosta membuat kita sebagai tidak hidup dalam ketakutan, menutup diri, membalas permusuhan dengan sikap membenci. Melainkan berani keluar menawarkan pengampunan serta persahabatan dengan semua orang. Pentakosta semestinya mengubah diri kita, dari kecenderungan memikirkan pribadi, dan eksklusif, menjadi peduli terhadap orang lain, inklusif dan rela berkorban.

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita prihatin pada serangan bom bunuh diri pada tiga gereja di Surabaya pada hari Minggu (13/5). Serta di Markas Polrestabes Surabaya, pada keesokan harinya.

Pesan pastoral BPMS GKI mengimbau, agar kita Tuhan bersama-sama dapat meringankan duka cita yang dirasakan keluarga korban. Baik melalui doa-doa pribadi kita sebagai dukungan moral, ataupun materi yang dapat kita berikan.

Tindakan teror itu sendiri tidak dibenarkan menurut ajaran agama mana pun, sebab agama pada hakekatnya mengajarkan cinta kasih dan perdamaian. Oleh sebab itu, kita tidak perlu mengaitkan peristiwa teror yang baru-baru ini terjadi dengan agama tertentu. Sebaliknya, kita mau bergandengan tangan bersama seluruh komponen masyarakat Indonesia, untuk bersama-sama melawan terorisme.

Tindakan membunuh itu sendiri bukanlah tujuan akhir teroris. Mereka melakukan teror supaya masyarakat Indonesia tidak lagi mempercayai pemerintahan yang sah, dan juga pada sesama warganya. Dikuasai rasa takut, curiga, reaktif dan emosional, lalu secara spontan menyebarkan foto atau video melalui media sosial. Dengan demikian secara tidak langsung kita turut dipakai untuk menyebarkan teror. Tujuannya, supaya masyarakat Indonesia terpecah belah dan menjadi lemah sehingga lebih mudah dikuasai.

Semangat Pentakosta semestinya membuat kita berjuang mengalahkan kejahatan dengan kasih, persaudaraan, perdamaian. Ini yang perlu terus kita wujudkan dalam hidup bergereja, bermasyarakat dan bernegara.

Kita juga harus mau melepaskan segenap atribut yang kita kenakan pada orang lain. Misalnya Si A itu biang onar, Si B teroris, Si C kafir, Si D Cina pelit, dan sebagainya. Bisa jadi peristiwa peniadaan nyawa orang lain yang dianggap berbeda ini, berawal dari stereotype yang dikenakan pada mereka. Stereotype yang membangkitkan rasa benci. Sekalipun tanpa alasan jelas, yang kita terima begitu saja semenjak kecil dan kita pelihara terus-menerus hingga dewasa.

Tidak ada cara lain selain memperbanyak perjumpaan dengan sesama yang berbeda. Perbanyak tali persaudaraan, jika kita ingin melepaskan stereotype yang salah dalam diri kita masing-masing. Mungkin awalnya kita dicurigai tidak mengapa, yang penting kita mau bersahabat dengan tulus. Sebuah persahabatan yang tidak lagi didasari pada perbedaan, tetapi pada rasa kemanusiaan yang sama. Sebab sesungguhnya, ada terlalu banyak hal yang menyatukan daripada memecah-belah kita.


* Penulis adalah Pendeta GKI Indramayu

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.