
Oleh: Neneng Alfiah*
Sosok manusia agung dan mulia, ialah Muhammad SAW., yang menjadi tonggak kepemimpinan umat manusia dalam menyebarkan nilai-nilai dan ajaran islam bagi setiap bani adam. Muhammad adalah kekasih sekaligus utusan Allah bagi umat muslim di seluruh penjuru dunia. Pada hari ini, Kamis 24 Desember 2015, merupakan salah satu waktu yang diperingati umat muslim sebagai peristiwa paling bersejarah atas kelahiran tokoh panutan hidup bagi umat muslim, yakni peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kata maulid berasal dari bahasa arab yang berarti lahir.
Kelahiran Muhammad SAW diperingati setiap tanggal 12 Rabiul ‘Awwal. Muhammad lahir tepat pada Hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal di Tahun Gajah atau pada tanggal 22 April 571 Masehi. Bentuk dan waktu peringatan yang dilakukan umat muslim dalam memperingati Maulid Nabi pun berbeda-beda di setiap tempat. Ada yang berlangsung sangat meriah, dan ada pula yang berlangsung sederhana.
***Ada yang memperingati dari mulai masuknya bulan Rabi’ul Awwal (dalam kalender hijriyah) sampai detik ini, bahkan sampai seterusnya hingga penghujung akhir bulan Rabi’ul Awwal. Ada juga yang memperingatinya dengan cara menggelar jam’iyah atau kumpulan orang-orang untuk membaca lembaran-lembaran sirah atau sejarah Nabi Muhammad dalam Kitab Al-Barzanji yang lumrah disebut dengan marhabanan, sebagai moment untuk menghidupkan kembali ke-tokoh-an Rasulullah yang menjadi inspirasi paling sempurna bagi seorang muslim dalam menjalani realitas kehidupan di dunia ini. Mengapa Rasulullah menjadi inspirasi paling sempurna bagi seorang muslim?
Sebagai contoh peristiwa, pada waktu itu Shalah al-Din al-Ayyubi, (seorang panglima agung muslimin dalam Perang Salib) menggunakan tradisi pembacaan sejarah Nabi sebagai strategi untuk membangkitkan semangat motivasi pasukannya. Ada sisi-sisi sejarah Nabi yang memberikan gambaran sempurna sebuah jiwa yang heroik dan ksatria. Apa itu?
Dalam untaian bait yang termaktub dalam terjemah kitab Maulid Al-Barzanji karya Sayyid Ja‘far bin Hasan bin ‘Abdul Karim bin Muhammad bin Rasul Al-Barzanji, dituliskan bahwa dalam setiap perjalanan bersama sahabatnya atau dalam memimpin pasukannya, Rasulullah bersabda, “Kosongkanlah belakangku untuk Malaikat Ruhaniyah!”
Begitulah kepemimpinan Rasul yang gagah berani dan tak menyombongkan diri, beliau ingin berjalan secara berdampingan dengan sahabatnya, tak ada yang saling mendahului atau membelakangi. Karena kebersamaan dan persatuan dalam memperjuangkan dakwahnya menjadi sangat penting untuk menciptakan kekuatan yang masif. Maka, al-Ayyubi meletakkan Rasulullah sebagai panutan militer tentara melalui tradisi pembacaan sejarahnya. Upaya al-Ayyubi membangkitkan heroisme muslimin dalam bentuknya paling suspensif. Dan, itu mutlak dijadikan sebagai tolak ukur dari sebuah perlawanan dan perjuangan bagi umat muslim dengan mempelajari ajaran-ajaran Rasulullah.
Bentuk-bentuk seremonial lainnya, seperti mengadakan shalawatan, infaq dan sadaqoh kepada fakir miskin, sebagai bentuk kecintaan umat muslim terhadap Muhammad SAW. Sebab, Dalam sebuah hadits, Rasul pun mengatakan:
“Barangsiapa yang memuliakan/memperingati hari kelahiranku maka aku akan memberinya syafa’at (pertolongan) pada hari kiamat. Dan barangsiapa memberikan infaq satu dirham untuk meperingati kelahiranku, maka akan diberi pahala seperti meberikan infaq emas sebesar gunung fi sabilillah.”
Demikian pula sebagaimana perkataan Sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab:
“Barangsiapa yang memuliakan/memperingati kelahiran Nabi SAW berarti telah menghidupkan islam.” Melihat besarnya pahala tersebut maka tak heran banyak kaum muslimin muslimat yang selalu melahirkan rasa cintanya kepada nabi dan mengagungkan hari kelahiran nabi dengan cara-cara yang terpuji seperti disebutkan di atas tadi.
Imamul Mujtahidin Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah pun mengatakan: “Kemuliaan hari Maulid Nabi Muhammad SAW dan yang jika diperingatinya secara berkala sebagaimana telah dilakukan oleh kaum muslim terdahulu sampai saat ini, tentu akan mendatangkan pahala yang besar, mengingat maksud dan tujuannya yang sangat baik, yaitu menghormati dan memuliakan kebesaran Nabi dan Rasul pembawa hidayah bagi semua umat manusia.”
Peringatan Maulid Nabi merupakan suatu tradisi yang berkembang setelah Rasulullah SAW wafat, dengan diperingatinya Maulid Nabi ini merupakan suatu wujud ungkapan rasa syukur dan kegembiraan serta penghormatan kepada Rosul (sang utusan) Allah karena berkat jasa beliau ajaran agama islam sampai kepada kita. Namun, kehadiran sejarah Rasulullah di balik semua perayaan yang berlangsung tersebut, ada hal yang paling urgen untuk kita renungkan bersama agar perayaan itu bukan sekedar seremonial belaka. Allah SWT berfirman, dalam surah Al-Ahzab: 21, “Sesunguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut (nama) Allah. “
Di sini, Allah menyampaikan kepada kita bahwa dalam diri Rasulullah SAW terdapat kemuliaan yang menjadi suri tauladan bagi generasi islam sepanjang zaman, sudah sepatutnya kita sebagai generasi penerus dalam memperjuangkan keutuhan nilai-nilai islam, menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan. Lalu apa saja yang bisa kita teladani dari kepribadian beliau selain semangat kepemimpinannya yang gigih tanpa mengenal kesombongan atas anugerah-anugerah Allah yang telah diberikan kepadanya?
Kepribadian Muhammad SAW yang seyogyanya patut kita teladani adalah kerendahan hati dan sikap beliau yang penuh kasih dan cinta dalam memandang siapapun, tak terkecuali musuh-musuh beliau sekalipun. Dalam terjemah kitab Al-Barzanji disebutkan, bahwasanya pernah suatu ketika Rasulullah dalam perjalanannya ke Thaif, beliau dimaki dengan kata-kata kotor dan dilempari batu, tai unta oleh suku Quraisy yang membenci dan menolak ajaran Muhammad SAW, sehingga darah menetes hingga melumuri kedua sandal Muhammad. Kemudian beliau kembali ke Makkah dengan sedih, malaikat penjaga gunung pun meminta kepadanya untuk mengizinkannya menghancurkan penghuninya yang fanatik. Namun Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku berharap agar Allah mengeluarkan dari tulang punggung mereka orang-orang yang mengurusi agama-Nya.”
Sungguh betapa kerendahan hati dan rasa kasih yang dimikinya kepada setiap sesama umat manusia, tanpa melahirkan dendam, tanpa kepongahan spritual, tanpa merasa berhak menghakimi orang lain atau menganggap diri paling suci dan benar. Kesabaran dan rasa cinta kasih beliau dalam menyampaikan dakwahnya, tidak samasekali menggunakan kekerasan apalagi mengandung unsur pemaksaan.
Beliau begitu toleran dalam menyebarkan kasih dan menjunjung perdamaian secara integral terhadap keseluruhan umat manusia tanpa melihat latar belakang. Disebutkan dalam suatu riwayat, bahwasanya Rasulullah pernah diludahi oleh si fulan (hamba sahaya) yang membencinya, dari kalangan kafir Quraisy, kemudian pada suatu waktu si fulan terjatuh sakit, selang sehari saja Rasulullah pun segera menjenguk si fulan dengan memberikan beberapa makanan dan minuman kepada beliau. Disapanya si fulan dengan penuh keramahan dan kelembutan oleh Rasulullah, betapa si fulan terkejut dan langsung menitikkan airmata. Ia pun langsung memeluk Rasulullah. Betapa indahnya pemandangan ini, bukan? Manusia sesuci dan seagung Muhammad pun selalu rendah hati, tak merasa diri paling benar dan paling suci, tak pernah melakukan kekerasan di dalam menyampaikan risalahnya. Apalagi melakukan kekerasan atas nama agama.
Namun demikian, adanya gesekan budaya dan rentang waktu yang sangat panjang antara masa kehidupan Rasulullah SAW dengan generasi saat ini membuat hal itu tereduksi. Nilai-nilai secara implisit yang terkandung di dalam kesejatian kepribadian Muhammad, tidak terealisasi dan perlahan sirna. Terbukti, masih ada beberapa bagian dari saudara kita, sebagai manusia biasa, yang merasa diri paling benar serta mengklaim kebenaran tunggal milik sendiri tanpa menganggap keberadaan yang lain di luar keyakinan dirinya.
Melakukan tindakan kekerasan dengan atas nama agama. Sedang Allah pun tak menyukai kecerai-beraian. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Imran ayat 103, ”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” Dalam ayat ini Allah menyuruh kita untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah antarsesama umat muslim dan antarumat manusia di dunia ini.
Sudah saatnya kini, generasi islam memaknai maulid Nabi Muhammad sebagai moment spritual untuk merenungkan kemuliaan akhlaq dan suri tauladan yang diwariskan Rasulullah kepada umatnya, memahami dan memperingati Maulid secara lebih mendalam dan fundamental, sehingga kita tidak hanya memahami dan meperingatinya sebatas sebagai hari kelahiran sosok rasul terakhir yang sarat dengan serangkaian ritual-ritual sakralistik-simbolik keislaman semata, Mulid Nabi Muhammad SAW pun bukan lagi dipandang sebagai sebuah kesemarakan seremonial, tapi bagaimana cara kita menjadikan moment ini sebagai permenungan dan pengisian bathin agar kepribadian Rasulullah _sebagai tokoh sejarah panutan islam_ tidak menjadi fiktif dalam diri kita, tapi betul-betul secara kongkret mampu kita teladani. Serta dapat meneguhkan kembali kecintaan kepada Rasulullah SAW bagi seorang mukmin, karena kecintaan terhadap Rasulullah SAW adalah sebuag keniscayaan, sebagai konsekuensi dari keimanan seseorang.
Dalam konteks kekinian, Maulid Nabi pun semestinya dapat diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri menuju perdamaian dan persatuan antarumat manusia dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia kita ini khususnya. Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta social society (masyarakat madani) yg merupakan bagian dari nilai-nilai toleransi, transparansi keadilan sosial, antikekerasan, pluralisme, ruang bebas partisipasi tanpa melihat perbedaan, cinta sesama dan lingkungan, yang kesemuanya mesti kita jaga dan junjung tinggi nilai dari bangunan unsur-unsur humanisme tersebut. Di sinilah, peringatan sejarah secara serentak, seperti maulid nabi, menemukan urgensitasnya yang paling esensial. Sebab, menurut pendapat Buya Husein Muhammad pun, “Perbedaan antarumat manussia sesuatu yang wajar saja, sebagaimana isu particular lainnya. Ruang, waktu dan pengetahuan seseorang lah yang mempengaruhi cara padang diri. Yang harus dihindari adalah saling mencaci-maki, apalagi mengkafirkan. “
Wallahu ‘alam Bisshawaab….
Cirebon, 24 Desember 2015
*Penulis adalah pegiat PELITA. menjadi Mahasiswa ISIF Cirebon dan Santri (pelajar) di Pesantren Jambu AL-Islamy, Babakan-Ciwaringin-Cirebon
Comments Closed