
Judul Buku: Menangkal Siaran Kebencian Prespektif Islam
Penulis: KH Husein Muhammad dan Siti Aminah
Penerbit: Fahmina Institute
Cetakan Pertama : Februarai 2017
Tebal : 120 halaman
Oleh : DEVIDA (Dewan Penasehat Pelita Perdamaian)
pelitaperdamaian.org – Gandrungnya sosial media dewasa ini menjadikan arus media komunikasi dan informasi tidak terbendung. Ada yang memanfaatkan sebagai kepentingan positf seperti: bisnis, pertemanan, tukar gagasan dan lain-lain. Namun, ada juga sebaliknya memanfaatkan sebagai senjata baru untuk memperpanjang narasi kebencian terhadap kelompok tertentu. Hal ini mendatangkan peluang bisnis online meraup keuntungan yang berlimpah tanpa melihat dampak sosial dari yang diviralkan.
Pada kenyataanya kekerasan terus saja berkelindan di negeri ini, baik yang dilakukan perorangan maupun kelompok. Mengapa tindak keriminal ini begitu mudah dan bebas dilakukan di negara yang menganut ajas “Negara Hukum”. Apakah nurani dari masyarakat kita telah luntur, sejuta tanya tentu akan memenuhi angkasa pikir kita saat ada pemberitaan tentang kekerasan, Apa lagi kekerasan yang menimpa kelompok agama tertentu.
Tanjung Balai Sumatra Utara, Jumat 29 Juli 2016 menjelang tengah malam sekitar pukul 23.00 Wib Terjadi pembakaran enam (6) Vihara dan Kelenteng yang diserang beberapa ratus orang. Mereka membakar dan merusak ornamaen persembayangan, kendaraan yang berada di sekitar rumah Ibadah. Pengeras Suwara Masjid menjadi pemicu kerusuhan tersebut, berawal teguran Meliana (41), seorang perempuan Tionghoa yang meminta agar pengurus masjid Al-Maksum di lingkunganya mengecilkan volume pengeras Suara.
Dari kejadian tersebut, hal yang kelihatanya sepele bisa menjadi pemicu konflik, walau setelahnya ditemukan bahwa kerusuhan tersebut dipicu juga oleh ujaran kebencian Hate speech lewat media sosial. Faktor Konflik memang tidak pernah tunggal, sebelum memasuki fase konflik terbuka berupa pembakaran rumah ibadah perlu dilihat fase laten dan fase damai. Dalam fase laten penulis melihat regulasi volume pengeras suara Masjid yang diatur melalui keputusan Dirjen Bimas Islam Nomer Kep/D/101/1978 menjadi pemicu. Di sisi lain kebijakan itu baik namun bisa menimbulkan dampak pada agama lain yang mengunakan alat tersebut sebagai media. Pada fase damai jika tidak ada komunikasi dan intraksi yang inten antar agama yang baik justru kebijakan tersebut akan menjadi bom waktu konflik.
Kasus kekinian banyak berita-berita Hoax dan ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu yang dilakuan oleh Muslim Cyber Army (MCA), pelaku berasal dari kalangan terdidik. Profesi mereka beragam dari dosen, karyawan, guru, dokter, enginer, saintis. Penyebar hoax dan ujaran kebencian memanfaatkan media internet dengan sasaran masyarakat menengah keatas penguna media sosial. Mereka memainkan emosi, pembaca dari pada nalar. Secara psikologis pembaca yang punya fanatisme yang berlebih terhadap agama atau kelompok tertentau tanpa diimbangi dengan konfirmasi menjadi bahan dasar kebencian yang sewaktu-waktu meledak. Peanyebaran uajran kebencian atau berita Hoax, dalam pikiran mereka menjadi suatu kewajiban.
Islam Menolak Siaran kebencian
Penulis buku ini memilih istilah “siaran kebencian” dari pada “ujaran kebencian”. Kata “ujaran” hanya mencakup ucapan. Sementara “Siar kebencian” bisa mencakup ucapan, tulisan, maupun tayangan suara dan gambar. Dalam konteks ini kebincian yang diproduksi terhadap kelompok minoritas atau terhadap lawan politiknya akan menghasilkan kejahatan komunal yang terencana. Hal ini membutuhkan ruang persemaian untuk capaian mereka terhadap sasaran tembak. Maka siaran kebencian bisa dilakukan oleh siapapun dan dimanapun dengan motif yang beragam.
Husein Muhammad salah satu penulis buku ini melakukan pendekatan teks Agama Islam dalam buku ini. Menurutnya prinsip-prinsip ajaran Islam menolak segala eksperesi yang dikatagorikan sebagai siaran kebencian kerena sifatnya yeng deskrusif. Islam sendiri secara asasi hadir untuk kedamaian, memanusiakan, dan kemaslahatan. Di antara prinsip Islam yang bisa menjadi dasar penolakan siaran kebencian adalah ajaran tauhid dan prinsip saling menghargai sesama manusia. Dengan dua prinsip ini, pada tataran praktis, Islam dengan tegas melarang menghina dan mencemooh keyakinan atau agama laian (Husain Muhammad 2017: 25).
Dalam pendekatan tersebuat Kang Husein sapaan akrab KH. Husein Muhammad, mencoba menghadapakan realitas kekinain dengan Turats (peningalan masa lalu seperti kitab dan manuskrip). Ia menjelaskan bahwa pendekan subtansi atau nalar Kritis dalam melihat teks bisa menemukan semangat Islam itu sendiri tentang prinsip-prinsip kemanusian. Jiaka ditemukan bunyi teks yang melegalkan siaran kebencian itu pasti ada persoalan politik saat penulis itu hidup dan tentu ini sangat bertentangan dengan Islam itu sendiri yang rahmatan lil al-alamin. Dokrin kerahmatan universal meniscayakan sikap penghargaan terhadap keragaman realitas dan penerimaan terhadap pandangan orang lain. Kerahmatan Islam menolak dengan tegas setiap sikap dan pandangan manusia yang menafikan dan menghilangkan hak hidup.
Islam juga menolak pandangan yang penuh prasangka buruk terhadap orang lain dan setiap rencana untuk menengelamkan orang lantaran berbeda pilihan politik, latar belakang sosial, suku, agama, ras dan golongan. Hal tersebut membuktikan bahwa beragama harus memberikan penghormatan yang tertinggi terhadap yang berbeda. Perbedaan dipandang niscaya dalam Islam, tanpa perbedaan manusia tidak akan terjadi intraksi dan pemunuhan kebutuhan secara bersama-sama. Orang yang meresa terancam dengan adanya orang lain itu menunjukan gagal dalam memahami realitas yang majemuk. Memberikan kasih sayang dan perlindungan merupan hal yang terbaik dibandingan dengan selalu mengutuk orang lain yang pada puncaknya ia akan melakukan ujaran kebencian dan menyebarkan berita Hoax. Nabi menyatakan :
“ Aku tidak diutus tuhan untuk menjadi pengutuk, melainkan Aku diutus untuk memberikan kasih sayang” (Sahih Muslim, no. 6778).
Buku ini kaya dengan argumentasi Al-Qur’an, Hadits dan Ilmu Tafsir. Kajian-kajian literatur teks kelasik atau pandangan ulama-ulama salaf dan kontemporer seperti: Imam al-Syafi’i, Imam al- Qurtubi, Imam Nawai, Ibnu Katsir, Ibnu al-Qayyim Imam Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Hajar-Asqalani Sayyed Muhammad Alawi al-Maliki, Imam Ibnu Jarir al-Thabari, Prof. Dr Husein adz-Dzahabi dan Quraisy Shihab.
Cara pandang Hak Asasi Manusia (HAM), yang dilakukan oleh Siti Aminah menambah keabsahan buku ini, ia menjelaskan dengan rinci “siaran kebencian” dari sudut kebahasaan. Menurutnya, istilah-istilah ini muncul berbarengan dengan surat Edaran Kapolri Tahun 2015 (SE/6/X2015) mengenai penanganan ujaran kebencian. Ia juga menjelaskan kata-kata kunci dari pengertian siaran kebencian, unsur-unsur pidana siaran kebencian, bentuk-bentuk siaran kebencian yang berbasis Agama, perbedaan Hate speech dan bukan Hate speech, dan tingkatan bahaya siaran kebencian.
Buku menangkal siaran kebencian prespektif Islam ini menurut penulis mudah dipahami, simpel, ringkas dan dalam tidak begitu tebal, patut dibaca oleh siapapun terutama tokoh Agama dan aktivis toleransi dan perdamaian, karena di dalamnya banyak dasar-dasar argumentasi yang sangat kuat untuk menolak hate speech.
DEVIDA, lahir di Cirebon. Dewan Penasehat Pelita Perdamaian, Dosen Studi Lapangan Perbandingan Agama Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, Staf Islam dan Gender di Fahmina Institute.
*Dimuat di Blakasuta Vol. 46 Nov-Jan 2018
Comments Closed