
Oleh : H. Aghust Muhaimin*
Pelita Perdamaian, Istilah Radikal sebenarnya tidak identik dengan kekerasan, termasuk penyandingannya tidak dengan kelompok agama tertentu. Beragama itu harus radikal, kalau beragama tidak radikal perlu dipertanyakan keberagamaannya. Dalam hal ini sekadar tataran filosofis dan pemahaman, tentu tidak menjadi masalah karena tidak mengakibatkan kerusakan peradaban manusia. Namun, ketika sudah berubah dalam sebuah praksis, biasanya radikalisme ini bermetamorfosis dalam tindakan yang anarkis. Radikalisme yang menghalalkan cara-cara kekerasan dalam memenuhi keinginan atau kepentingan mereka inilah yang harus dihindari, bahkan dilenyapkan. Karena fase sebelum melakukan tindakan teorisme dan ia muncul dari kehidupan intoleransi.
Radikalisme lahir tertuju beberapa hal: Pertama, telaah atas nalar islamisme yang melahirkan radikalisme agama. Karena nalar Islamisme yang telah terkonstruksi dalam ideologi kemudian nalar ini menjadi fondasi, melembaga dalam keyakinan (iman) yang bercorak doktrinal, ia tertutup bagi kebenaran lain. Satu contoh yang masih dapat diperdebatkan adalah istilah “jihad” yang bersifat multitafsir. Apabila pluralitas makna jihad ini diabaikan, bom bunuh diri yang diyakini sebagai jihad merupakan bukti keampuhan nalar ini menggerakkan radikalisme politik, di sini lah terorisme atas nama Islam dijalankan,
Kedua, mengikuti perkembangan evolusi radikalisme Islam. Poin ini merujuk pada tela’ah atas wacana fundamentalisme dalam Islam. Poin ini penting, sebab radikalisme Islam tidak lahir dari ruang hampa. Meski kelahirannya karena pemahaman tekstual atas korpus resmi Islam, sehingga melahirkan penghakiman hitam-putih atas satu persoalan. Di era modern, kita mengenal Sayyid Quthub yang menjahiliahkan peradaban modern, dan karena itu harus diislamkan, jika perlu dilawan dengan pedang. Atau ada juga Abu A’la Al-Maududi yang hendak menghadirkan Tuhan dalam demokrasi, karena kedaulatan rakyat telah mencederai kedaulatan Tuhan. Segenap pemikiran Islam ini merupakan keterputusan dan kesinambungan yang akhirnya menciptakan evolusi radikalisme dalam Islam.
Menghadang gerakan radikalisme perlu menggali modal kultural Islam moderat, khususnya di Indonesia. Dengan menggali perwujudan kultural Islam ini, kita akan menemukan modal sosial pada konteks keindonesiaan. Aspek keindonesiaan menjadi penting, karena sejak abad ke-15, Islam telah berhasil melakukan pribumisasi budaya. Oleh karena itu, Islam Indonesia menjelma penyeimbang utama bagi radikalisme beragama yang hadir bersama dengan globalisasi kontemporer.
Problemnya adalah adanya transformasi lokal menjadi sentral pada radikalisme ini. Misalnya terjadi di Cirebon, Solo, Pamulang bukan lagi terjadi di ibu kota dan kota besar lainnya. Transformasi gerakan Islam radikal di Indonesia dalam sejarahnya sesungguhnya terbagi dalam tiga babak yang tidak berkesinambungan karena gerakan Islam tidak hanya bertransformasi, tetapi juga melakukan metamorfosis yang terpisah-pisah dalam bentuk gerakan yang bermacam-macam. Babak pertama dari gerakan Islam adalah gerakan Islam kebangsaan (kemerdekaan) yang bertransformasi ke gerakan politik praktis dalam perhelatan demokrasi. Meskipun dimasa kolonial gerakan Islam kebangsaan (kemerdekaan) terlibat dalam gerakan politik, seperti yang telah ditunjukkan oleh Syarikat Islam (SI).Dapat disimpulkan menghadapi gerakan radikalisme maka pentingnya:
- Meneguhkan kembali gagasan Islam dan keindonesiaan dan terus mengkaji ulang orientasi dan wawasan keberagamaan yang menjadi karakter organisasi moderat; Muhammadiyah dan NU untuk menyuarakan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan dalam satu nafas, Islam Indonesia.
- Eksistensi organisasi Islam radikal yang memiliki cita-cita merubah atau dapat mengganggu ideologi negara, hemat saya pentingnya membuat ‘Internal security act’ sebagai regulasi untuk mempertahankan keberadaan ideologi Indonesia yang sudah final yaitu Pancasila. Jadi saya setuju pelarangan ormas anti Pancasila.
- Ketidakadilan global, kemaksiatan, aliran sesat dan peredaran miras merupakan lahan subur berkembangnya organisasi Islam radikal dengan berdalil menegakkan ajaran Islam. Sehingga hal ini menjadi urgen bagi pemerintah untuk segera dientaskan, agar tidak terjadi aksi-aksi kekerasan.
- Karena adanya transformasi lokal menjadi sentral, maka strategi solusi deradikalisasi dan kontra radikalisme perlu dilakukan di daerah-daerah. Selama ini upaya deradikalisasi dan kontra radikalisme menghadapi radikalisme hanya dilakukan di tingkat pusat saja.
*Penulis Adalah Dosen BBC dan Kepala Madrasah MA Al-Shigor Gedongan.
Comments Closed