Masalah internal bernuansa agama kian menjadi tantangan paska musim politik 2014. Tahun 2015 dan selanjutny
Bagaimana kelanjutan sikap dan kebijakan pemerintah terhadap hak sipil dan politik komunitas Ahmadiyah Manislor? Bagaimana pula dengan nasib gereja di wilayah Kuningan yang, sampai hari ini, masih terkatung-katung hak menjalankan aktivitas ibadahnya, juga tak lupa, keadilan politik dan sipil bagi komunitas Adat Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan?
Upaya negara dalam penangan kasus-kasus KBB dinilai terkesan lambat, bahkan acuh tak acuh. Oleh sebabnya, beberapa jaringan KBB di wilayah III Cirebon perlu melakukan strategi khusus untuk mendorong negara, melalui pemerintah daerah, agar dapar menjalankan fungsinya memulihkan kembali hak-hak sipil dan politik para korban KBB. Hadir di antaranya: Komunitas Adat Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan, Ahmadiyah Manislor, GKPB (Geraja MDC) Kuningan, PELITA, dan beberapa tokoh agama dan tokoh adat lainnya.
Acara berlangsung pada Rabu, 18 Februari 2015, bertempat di Rumah Adat Paseban Cigugur Kuningan, dimulai sejak pukul 15.00 Wib sampai 18.00 Wib. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung-Jawa Barat yang menjadi fasilitator untuk acara ini, dalam sambutannya, mengingatkan,”Konsolidasi ini bertujuan agar para korban KBB punya daya dan upaya-upaya yang terus dapat dilakukan, utamanya mendorong pemerintah daerah menyelasaikan secara tuntas kasus-kasus KBB di Kuningan. Kita perlu sinergi antar jaringan perdamaian di Jawa Barat,“ Ujar Harold Wilson mewakili LBH Bandung.
Pdt. Rustida sebagai tokoh agama dari GKPB Kuningan berkeluh-kesah persoalan yang selama ini terjadi di lingkungan gereja dan para jemaatnya. Nyaris 2 tahun lebih, aktivitas ibadah jemaat GKPB Kuningan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, “Kadang saat kami ibadah mingguan menyewa hotel, demi kenyamanan ibadah para jemaat”, Ujarnya. Pihaknya juga terus mengupayakan perjuangan agar dapat kembali melakukan ibadah di tempat semula.
Potret Buram Korban
GKPB Kuningan merupakan salah satu tempat ibadah di Kuningan yang tidak bisa mengenyam hak-hak beribadah, karena sampai hari ini masih disegel. Tidak jarang pula, menurut penuturan Pdt. Rustida, saat menjalankan ibadah, para jemaat mendapatkan ancaman dari ormas-ormas tertentu. Hal ini pula yang dialami oleh Komunitas Ahmadiyah Manislor, Kuningan.
Setali tiga uang, Komunitas JAI itu masih terkatung-katung pula dalam masalah adminitrasinya sebagai warga negara Indonesia, yakni memperoleh hak sipil berupa E-KTP. Imbas dari penyerangan oleh pihak-pihak intoleransi tertentu mengakibatkan pemerintah daerah Kuningan masih enggan menjalankan fungsingan sebagai aparatur negara. Bahkan, “Komunitas Ahmadiyah harus membaca syahdat ulang terlebih dahulu apabila ingin mendapat E-KTP, ini akibat Ahmadiyah dianggap telah keluar dari Islam oleh fatwa MUI,”Tutur Nasiruddin dari JAI.
Perlakuan-perlakuan serupa juga turut menimpa Komunitas Adat Sunda Wiwitan Cigugur, yang hanya karena masalah pengosongan kolom agama di KTP kerap mendapatkan perlakuan-perlakuan yang negatif.
Diharapkan konsolidasi ini dapat memulihkan kembali hak-hak warga negara yang telah terciderai. Strategi-strategi yang dilakukan melalui penguatan efektivitas kebijakan melalui peran pemerintah daerah adalah langkah pertama dari sekian cara yang didiskusikan pada kesempatan kali ini.
(By; Sandriyanie Omen)
Comments Closed