
Cerpen: Mawaidi D. Mas
FRUSTASI tidak bisa-bisa menghafalkan alfiyah seribu bait, Karomain ingin berubah jadi tuyul. Kopiah hitam yang mulai kemerah-merahan, sarung, serta baju koko warna putih kusam ia tanggalkan. “Sialan, Kau!” lalu dengan segenap ketergesaannya, diambilnya kitab kecil alfiyah itu yang ia dijatuhkan di lantai. Buru-buru diletakkan di atas meja bersama kitab-kitab lainnya.
“Aku ingin jadi tuyul!” Karomain berteriak. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada yang mendengar teriakannya di dalam rumahnya itu.
“Aku ingin jadi tuyul!” Karomain berteriak untuk yang kedua kalinya.
Wanita tua dengan rambut mengabu yang ada di dalam rumahnya tidak mendengar. Ini minggu ke empat wanita tua itu sudah kehilangan kenormalan pendengaran. Sudah minggu yang ke empat pula Karomain tidak pernah tahu bagaimana wanita tua itu menghadapi hari-hari di dalam rumah dan sesekali keluar pintu hanya mencari tempat e’ek. Wanita tua itu tidak pernah berkata pada siapa pun karena tidak mungkin ia punya pekerjaan berat. Tubuhnya sudah tua. Dan lebih akrab pada sebuah liang.
Selagi Karomain tidak bertindak-tindak yang tidak-tidak, meski wanita tua itu tidak bisa berbuat sesuka hatinya, ia tidak pernah mengumpat kesal dan memaki Karomain seperti waktu kecil dengan: “Anak janggol. Nakalnya sejagad. Euuh!” Karomain berubah sejak dimasukkan ke sebuah pesantren di daerahnya.
Karomain hendak jadi tuyul lantaran bosan jadi orang miskin dan susah mendapatkan wanita cantik seperti mantan kekasihnya yang meninggalkan dia setahun yang lalu. Namanya Nuarinta dari keluarga pecinta budaya di daerahnya. Nuarinta semenjak kecil sudah diperkenalkan dengan tradisi Jawa sebagai budaya daerahnya. Kisah-kisah nusantara seperti Gadjah Mada, Majapahit, Trunojoyo, dan bahkan, diam-diam Nuarinta melahap Serat Centhini sebelum lulus sekolah menengah pertama. Ayahnya seorang pedalang lokal. Tetapi sekarang sudah tidak laku di daerahnya karena tak ada satu orang pun di masyarakat itu yang mau membayar ayah Nuarinta dengan harga mahal.
Maka dibubarkannya hubungan Karomain dengan Nuarinta dengan sebuah alasan bahwa pemuda seperti Karomain, menurut ayah Nuarinta, tidak punya etos hidup yang besar dan masa depannya penuh dengan keterpurukan. Nuarinta harus menyiapkan pemuda yang lebih segar pada akhirnya, alim dan berbakti pada kesenian tradisional. Nuarinta hendak menyatakan maksud ayahnya itu pada Karomain suatu sore di sebuah pasar, terlebih dahulu ia telah melihat wajah Karomain yang masam. Nuarinta menjadi bingung apakah lelaki di depannya itu akan ditinggalkan atau diberi kasih sayang. Segenap kekuatan dikumpulkan untuk mendorong maksud hatinya kepada Karomain. Nuarinta berairmata tidak lama. Lalu seolah-olah mendung langit ketika kata-kata yang bagai petir itu menyambar telinga Karomain. Karomain menatap mata Nuarinta, dan ia tahu saat itulah pertemuan mereka berakhir dengan segenap amarah yang tidak bisa dilampiaskan.
Hasrat menghafal alfiyah seribu bait lantaran Karomain diputus tanpa alasan yang jelas oleh Nuarinta. Karomain menduga-duga semua itu dipengaruhi identitas Karomain. Mau tidak mau, rasa malu besar akan tiba di pundak Karomain kalau ia tidak bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik daripada Nuarinta. Karomain menutup diri dari hiruk pikuk kehidupan masa mudanya dengan cara tinggal di sebuah pesantren yang terletak di kaki bukit di daerahnya. Karomain mendapatkan suasana nyaman berupa sebuah siang maupun malam yang selalu memberi cuaca sejuk. Karomain di bulan pertama dapat menghindar dari bayang-bayang Nuarinta. Agustus bulan kedua ia menjadi penghuni lereng bukit itu, cita-cita besarnya mendapatkan pengganti Nuarinta tumbuh berkobar serupa semangat kemerdekaan. Saat itu dengan penuh takdim pada kitab-kitab, Karomain melepas jahitan kitab-kitab—termasuk alfiyah—dan ditempelkan di dinding pondok, sebagian yang lain digantung di ambang pintu pondok.
“Kau sungguh gila santri baru!” seru seorang pengurus pesantren.
“Iya benar. Aku gila pada pengetahuan!” Pengurus pesantren berlalu dengan wadah sabun di tangan dan tidak menjawab lagi.
“Kau sungguh gila tengah malam ini membawa sabun ke kamar mandi pengurus brengsek!” seru Karomain. Sementara pengurus itu tidak mendengar.
Ada sayup-sayup angin menerbangkan kertas-kertas di ambang pintu Karomain. Sayup-sayup dari kamar mandi menerbangkan suara desahan samar-samar ke pondok Karomain.
Empat bulan menghuni pesantren kaki bukit, Karomain memiliki banyak musuh pengurus dan saat itulah ia merasa terteror. Semua itu bermula saat ia secara tidak sengaja mendapatkan sajak-sajak Rumi dan mempelajarinya. Dirasa kurang puas, maka ia mencari buku-buku Gibran yang cenderung romantis kisahnya dan ternyata ia lebih intim mempelajari itu.
Kemudian Karomain membuat sajak-sajak onani yang dipamfletkan di sepanjang gedung pesantren. Wajah pengurus kebakaran jenggot. Pada saat itu pelajaran jurnalistik belum bisa masuk karena ditengarai akan diakibatkan saling hasut-menghasut. Maka tak dapat disalahkan objek-objek sasaran sajak-sajak Karomain jika tidak terima. Kemarahan yang kobarnya seperti bara api itu akhinrya mencapai puncaknya. Karomain digelandang ke luar pagar pesantren dan harus menerima keputusan sebagai santri yang cabul dan liberal. Memiliki pikiran yang tidak sesuai dengan tatakrama pesantren dan syariat agama.
Serentetan pelanggaran yang dijatuhkan padanya ia terima dengan lapang dada. Lembaran kitab-kitab ia susun kembali dan telah memenuhi isi kardus bersama kitab-kitab yang lain. Malam hari sangat dingin. Bukit-bukit itu semakin malam kian kuat mengeluarkan kabutnya. Karomain berjalan menapaki jalan setapak tak beraspal. Di tengah perjalanan yang sunyi, terdengar suara burung hantu yang sedih sekali.
Bagi Karomain malam terasa sangat panjang. Dikeluarkannya kitab yang harus ia hafalkan. Malam itu dirasa sangat mubadzir jika dilewatkan dengan tidur di warung bibir jalan. Karomain tidak dihinggapi kantuk. Ia sudah terbiasa di pesantren setiap malam membaca kitab dan menghafalkan tugas-tugas. Sedangkan teman-teman santri lainnya lebih memilih untuk tidur. Wajar jika di antara santri-santri yang lain, Karomain serupa berlian di antara kumpulan batu-batu. Tetapi, hasrat belajar dan menghafalkan alfiyah selalu terbayang-bayang agar mendapatkan wanita cantik pilihan Tuhan.
Tibalah pagi hari dan kabut-kabut dari bukit menghalau pandangannya melihat matahari. Semalam panjang Karomain telah hafal fasih lima ratus bait alfiyah beserta artinya. Lalu ia berjalan menuju pulang di mana dulu ia mendapatkan jalan setapak tak beraspal. Rumahnya jika ditempuh dengan jalan kaki memakan setengah hari perjalanan. Semangat untuk tiba di rumah membuat Karomain tak pernah merasa lelah.
Di perjalanan ia menggumamkan bait-bait hafalannya. Orang-orang yang berpapasan dengan Karomain berteriak gembira dan kaget melihat penampilannya yang religius. Kata-kata Karomain sangat datar dan menenteramkan hati setiap orang yang mengajak bicara dengannya.
“Calon orang besar tiba di kampung kita!” seru seorang lelaki paruh baya dengan muka penuh haru. Lalu ikut berjejalan berebut tangan Karomain untuk dijabat.
“Siapa yang engkau maksud orang besar, Kang?” tanya Karomain penuh sahaja.
“Siapa lagi kalau bukan engkau. Manusia pilihan yang dititipkan di tanah yang dijanjikan ini,” katanya dengan penuh gelora. Karomain merasa pujaan itu berlebihan dan tidak sesuai dengan yang diinginkan.
“Maaf, Kang. Aku bukan orang besar seperti yang kau maksud,” jawab Karomain.
“Baiklah, kamu adalah calon ulama di kampung ini. Selamat datang wali Tuhan!” katanya. Karomain meninggalkan lelaki paruh baya yang dengan harapan Karomain mau merespons pujian atasnya.
Langkah Karomain sudah jauh dari kerumunan orang-orang yang berlebihan itu. Pintu rumah dan seorang wanita tua sudah tampak di depan matanya. Ia memang tidak berharap akan ada perubahan pada rumahnya setelah ia pergi merantau selama empat bulan lamanya. Bukan itu yang diinginkan Karomain. Mungkin, tidak saat itu juga, atau besok pagi akan ada wanita cantik melebihi kecantikan mantan kekasihnya. Ia membutuhkan sepekan lagi untuk menuntaskan hafalannya yang tinggal lima ratus bait.
Saat itu juga Karomain mengetuk pintu tiga kali. Dirasa tak akan ada jawaban Karomain masuk dan seorang wanita tua tengah berada di balik pintu. Wanita tua itu tidak bermaksud untuk tidak membuka pintunya. Hanya saja langkahnya yang lamban membuat Karomain lebih dulu membuka pintu rumahnya. Senyumnya tumbuh menggoda kenangan masa kecil Karomain. Wanita itu sangat khas ketuaannya. Garis-garis wajahnya berlekuk-lekuk seperti garis-garis tangan.
Tidak lama melepas tatapan bersama wanita tua itu, Karomain sudah menduga wanita tua di depannya sedang menunggu alasan kepulangannya di bulan yang tak lama itu.
“Aku telah menulis puisi untuk mereka dan tentu aku sudah mengantongi lima ratus bait alfiyah. Dan itulah alasan mengapa aku dikeluarkan dari pesantren secara tidak administratif,” kata Karomain.
Wanita tua di depannya tiba-tiba pendengarannya hilang diganti sebuah suara kecil yang panjang mirip dengungan. Wanita tua itu tidak mendengar apa-apa kecuali mulut Karomain megap-megap ketika berbicara.
Semenjak itulah wanita tua itu kehilangan kenormalan pendengarannya. Sementara Karomain tidak pernah bertanya keadaan wanita tua itu. Ia merasa semua perbuatannya telah menjadi resiko terbaik bagi bekal hidup wanita tua. Karenanya, wanita tua dirasa telah banyak berubah semenjak ia kembali dari pesantren kaki bukit. Wanita tua lebih sering diam ketimbang banyak tanya tentang hidup yang dijalani Karomain. Karomain sendiri merasa nyaman dengan hari-hari yang seperti itu.
Hafalan alfiah yang tinggal lima ratus bait terus ditingkatkan. Malam hari ia dikutuk alam untuk tidak bisa tidur. Sehingga baginya zaman sekarang menjadi berubah, tak banyak orang-orang ditemui dalam hidupnya pada tengah malam ketika keluar rumah untuk sekadar jalan-jalan. Dirasa sepekan hampir tiba dalam catatan hariannya, sementara itu hafalannya semakin mengurang. Karomain sontak kaget melihat penyusutan hafalan alfiahnya. Kini hafalan lima ratus bait yang lancar disyairkan menjadi dua ratus lima puluh bait.
Pada malam hari hingga keesokan harinya ia tidak tidur, atau lebih tepatnya tidak bisa tidur memikirkan masa depan hidupnya tanpa seribu bait alfiah yang diinginkannya.
Malam itu Karomain berteriak-teriak tidak jelas dan pagi hari yang remang-remang halaman rumahnya berisi tetangga. Wanita tua menganggap kerumunan orang yang memenuhi halaman rumahnya sedang ingin bertamu dengan Karomain. Dirasa dirinya tidak dibutuhkan, maka wanita tua diam saja dan memikirkan mimpi-mimpi yang mendatanginya selama ini.
Seperti janji para leluhur dalam mimpi wanita tua—tak lama lagi—Karomain akan menjadi tuyul. Karomain adalah bayi yang diambil dari perut mayat perempuan hamil korban tidur-paksa dengan orang-orang di zaman kolonial. Pada saat itu lokalisasi belum dibuat. Orang-orang Belanda secara bebas mendatangi rumah penduduk yang dikira jauh dari keramaian dan memaksa wanita-wanita yang buah susunya sudah setengah matang. Wanita-wanita itu menyumpah serapahi anak yang dihasilkan dari sperma orang Belanda kelak akan menjadi tuyul.
Maka dalam perenungan panjang wanita tua, adapun tanda-tanda bayi itu berubah jadi tuyul, ia akan mengubah malam menjadi siang dan siang menjadi malam. Pada titik puncaknya ia akan mendekam terus di dalam rumah dan berkata seperti ini: “Aku ingin menjadi tuyul!” dan “Aku ingin menjadi tuyul!”
Wanita tua semakin hari tampak aneh di mata Karomain. Ia merasa tak ada satu orang pun yang mau merespons keinginannya jadi tuyul. Wanita tua di dalam hidup Karomain seperti manusia yang usianya ratusan tahun semestinya jasadnya diberangkatkan ke alam bawah tanah. Tepat tengah malam, Karomain merencanakan keberangkatan wanita tua dengan membawa seutas tali yang dilepasnya dari ember kolam yang dipenuhi anak-anak kepiting. Tepat tengah malam itu, tak ada yang tahu keberangkatan wanita tua ke dalam tanah.***
/Agustus, 2014
* Mawaidi D. Mas kelahiran Sumenep Jawa Timur, 14 Oktober 1993.
Lukisan: karya Salvador Dali
Comments Closed