
Beda itu biasa, yang luar biasa ialah bagaimana perbedaan menjadi suatu harmoni. Kampung Bugis, Desa adat Serangan, Denpasar, sudah melakukannya sejak abad 17 lalu.
Sekilas, Kampung Bugis tak jauh beda dengan kampung lainnya di Bali. Hanya saja tak ada pura-pura atau padmasana. Suasana tenang sebab jauh dari jalan raya. Suara kambing sambung-menyambung di tengah lenggang. Beberapa penduduk menyapa dengan salam ala Islam. Terlihat seorang laki-laki paruh baya memasuki teras Masjid Asy-Syuhada, satu-satunya masjid di sana.
Mahmuidin namanya. Ia bicara laiknya rekaman yang diputar ulang. Intinya, ia bercerita ihwal asal-muasal Suku Bugis menetap di Kampung Bugis, hingga harmoni yang terjaga hingga kini.
Ceritanya, Suku Bugis datang dengan kapal-kapal membawa sembako dengan jumlah banyak ke Kerajaan Badung, salah satu kerajaan di Bali kala itu. Hal ini jugalah yang sebabkan migrasi beberapa orang dari Suku Bugis ke Bali. Hal ini diamini masyarakat setempat.
Ialah ketika Verenidge Oost Indesche Compagnie (VOC) menduduki Sulawesi Selatan—yang merupakan permukiman Suku Bugis—seorang bangsawan bernama Syeikh Haji Mu’min dan 40 anak buah kapalnya melarikan diri dari Makasar, Ujung Pandang. Sebab adanya ketidaksamaan pendapat dengan pihak Belanda atas perjanjian Bongaya, yang merugikan pihak Suku Bugis, salah satunya tentang bagi hasil yang dinilai tidak masuk akal. Walaupun sempat dicurigai sebagai mata-mata dari Belanda oleh Kerajaan Badung. Namun Haji Mu’min berhasil meyakinkan pihak Kerajaan Badung, bahwa ia dan anak buahnya bukan mata-mata. Selanjutnya, mereka ditempatkan di Puri Pemecutan. Dari sini, masyarakat lokal dengan mereka mulai berbaur.
Pembauran awalnya adalah ketika Suku Bugis melaut. Masyarakat lokal yang belum mengenal kapal, apalagi melaut, tertarik dan ikut Suku Bugis. Dari proses ini, tak hanya pembauran orang-orang saja, tapi juga budayanya.
Tahun 1891 terjadi perang antara Kerajaan Badung dan Kerajaan Mengwi, banyak warga Bugis menjadi prajurit perang untuk membantu Kerajaan Badung melawan Kerajaan Mengwi. Kerajaan Badung menang. Sebagai hadiah karena telah banyak membantu peperangan melawan Kerajaan Mengwi, raja dari Kerajaan Badung memberikan masyarakat Bugis tempat untuk bermukim di Desa Serangan. Hanya saja, tinggalnya dipisah dengan warga lokal. Dipisah maksudnya disentralkan, tetap dalam satu wilayah. Alasannya sederhana, kepercayaan mereka berbeda, takutnya ada pergesekan saat saling menjalankan ibadah.
Suku Bugis memeluk Islam sementara masyarakat lokal memeluk Hindu. Kedua pihak mampu menjalin hubungan yang harmonis. Hingga kini, masing-masing suku terus menjaga rasa toleransi beragama. Hal ini dikarenakan mereka mampu menjaga garis pemisah antara kebudayaan dan keyakinan (agama). Di Desa Adat Serangan, terdapat masjid bagi umat muslim yang merupakan warga Bugis. Adzan yang berkumandang setiap harinya diterima dengan baik oleh masyarakat Hindu sekitar. Tapi, dalam pergaulan coba dijauhkan. “Pisahkan agama dengan budaya,” kata Mahmuidin serius bercerita, Sabtu (5/3). Hal ini diulang lagi oleh Kepala Lingkugan Kampung Bugis, Muhaedi.
Namun, terdapat hal khusus dilakukan masyarakat Bugis untuk menghormati Hari Raya Nyepi yang datangnya setahun sekali. Hari Raya Nyepi merupakan tahun baru saka menurut ajaran Hindu yang berisikan empat larangan. Diantaranya adalah Amati Gni (larangan untuk menyalakan api atau penerangan lainnya), Amati Karya (larangan untuk bekerja), Amati Lelungan (larangan untuk keluar rumah), dan Amati Lelanguan (larangan untuk menghibur diri seperti bermain atau berpesta). Ketika perayaan Nyepi, umat muslim Bugis menghargai penduduk Hindu setempat dengan tidak membuat ‘suara’ adzan terdengar seperti hari–hari biasa dengan tidak menggunakan pengeras suara.
Merawat Tradisi
Lancar-lancar sajakah?
Keharmonisan kedua belah pihak tak satu dua kali teruji. Hingga saat ini, “persinggungan” terus teruji. Mulai dari hal-hal sepele, sampai pada hal-hal mendasar dalam agama. Ibadah di hari-hari besar yang berlangsung bersamaan misal ketika akan terjadi gerhana matahari total saat 9 Maret mendatang. Ketika saat itu tiba, warga muslim Bugis akan mengadakan sholat gerhana. Saat bersamaan, Nyepi akan dirayakan oleh umat Hindu Desa Adat Serangan. Menyikapi hal ini, kedua tokoh adat sudah berunding hingga menghasilkan kesepakatan bahwa kedua kegiatan akan dilaksanakan secara bersama-sama. Masyarakat muslim Bugis akan diperbolehkan berpergian keluar rumah dan akan dilindungi oleh pecalang adat setempat dalam melaksanakan salat. Masyarakat Islam Bugis akan menghormati perayaan Nyepi dengan berpergian hanya untuk kebutuhan sholat saja dan tidak membuat keributan.
Masing-masing hari raya yang dirayakan kedua belah pihak dilakukan secara bersama-sama secara harmonis dengan batasan–batasan tertentu. Ketika hari raya Idul Fitri saat masyarakat Kampung Bugis melakukan takbiran keliling, masyarakat Hindu sekitar juga mengikuti acara takbiran keliling tersebut.
Pun begitu dengan masyarakat Kampung Bugis. Mereka turut membantu persiapan hari raya masyarakat Hindu. Ketika hari raya Galungan dan Kuningan, misalnya, seperti yang diungkapkan Haji Mahmuidin, Imam Masjid Asy-Syuhada, keterlibatan warga Bugis dalam proses keharmonisan dengan menjadi panitia acara yang mengontrol parkir, keamanan, kebersihan dan lain sebagainya.
Di sisi lain, Mangku Kahyangan, tokoh masyarakat Hindu setempat yang bersebelahan langsung dengan komunitas Bugis, menceritakan bagaimana interaksi antar kedua agama dan budaya yang berbeda itu dilakukan. Baginya, baik warga Kampung Bugis atau pun masyarakat Hindu memiliki keyakinan sendiri- sendiri.
Meski kadang saling berlawanan, dalam prakteknya dapat saling memahami. “Kami (warga Hindu-red), makan babi dan minum arak sebagai bagian dari tradisi. Namun hal itu tidak berlaku bagi mereka, bahkan mengharamkan,” ujar lelaki berkuncir satu ini saat ditemui di pelataran Pura Bale.
Menurutnya, praktik keharmonisan atas keragaman di Banjar Peken antara komunitas Bugis dan Hindu terlihat dalam gotong-royong bersama di kegiatan-kegiatan desa.
Relasi ini bukan terbentuk begitu saja. Ia tumbuh di tengah kebutuhan kedua belah pihak. Perlahan dan terus menjadi lebih matang. Hingga bukan bagaimana lagi cara merancang relasi, tapi cukup dengan menjaga yang sudah ada. Bukan tak ada halang-rintang dalam harmoni ini, mulai dari hal kecil yang menjadi gesekan di kedua belah pihak, sampai pada penyusupan-penyusupan yang bertujuan merusak relasi tersebut.
Made Sedana (46), Bendesa Adat Desa Serangan mengisahkan, pernah ada pengajar di salah satu sekolah dasar menyusupkan ideologi ekstremis saat mengajar ihwal relasi yang tak perlu ada di antara dua kelompok ini. Jadinya, sempat terjadi perang senyap di antara mereka. Hal ini terus berlanjut sampai akhirnya kedua belah pihak merasa tak nyaman dengan situasi tersebut. Perwakilan keduanya bertemu, setelahnya, relasi tersebut kembali harmoni seperti sedia kala. Tak lama, pengajar tersebut juga pindah dari sekolah dasar tersebut. “Mungkin karena merasa gagal,” ujar Sedana tertawa saat dihubungi lewat telepon seluler.
(Reportase oleh: Ida Ayu Maharani & Manda/ Jaringan PELITA di Bali)
Comments Closed