Kehidupan Puisi Bersama DEVIDA…

Kehidupan Puisi Bersama DEVIDA…

 

oleh : omen

Tapi puisi adalah kehidupan. Begitulah yang saya ditemui pada sosok ‘Devida’. Ia adalah puisi yang berjalan.

Devida, demikian nama yang disematkan oleh orangtuanya. Tak jelas betul, apa filosofi dan harapan dari makna nama itu. Tapi, laki-laki yang dilahirkan 27 tahun lalu, 26 Juli 1986 tersebut, memilki berjuta harapan buat semua orang, bukan untuk dirinya. Sementara orang sibuk dengan ‘kemapanan diri’ yang terkadang bersifat artifisial: kemewahan. Bahwa kemudian berjuta harapan itu agar manusia kembali ke fitrahnya sebagai makhluk sosial, cinta-kasih dan  menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.

Begitulah kehidupan puisi. Kehidupan yang mengajarkan kita, bahwa hidup tak lain adalah kesunyian. Sebab kesunyian bukanlah pelarian, tapi pengabdian. Kesunyian adalah ‘kami’, bukan ‘saya’ atau ‘mereka’.

10 tahun silam, awal saya bertemu dengan Devida. Di sebuah bilik pesantren, saat ia kali pertama mengajarkan meminum kopi dengan cara yang semestinya. Menikmati setiap aroma dan rasanya. Bukan dengan nafsu untuk ‘menghabisinya’. Sebab saya tahu, bahwa kemudian hal demikian senyatanya menjadi awal pelajaran dari semangat pengabdian.

Sekali lagi, Devida adalah puisi berjalan. Tak ada semburat keistimewaan yang terpancar dari sosoknya, begitu pula dengan derap langkah kehidupan, ia biasa, selayaknya manusia pada jamaknya. Seperti puisi, sepintas lalu saat membaca bait-baitnya, tak ada keistemewaan. Tak ada tawaran, apalagi berhadiah undian. Begitulah kehidupan puisi, penuh misteri. Sebab ia adalah nurani.

Menjadi pribadi yang senantiasa belajar menggembala, ngangon. Begitulah prinsip laki-laki paruhbaya yang satu ini: Devida. “Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe”.

Sekurang-kurangnya, 7 tahun lebih ia mengabdi untuk sang Kyai di pesantren. berladang, mengurus anak-anak, bahkan sampai urusan tanak-memasak, Devida lalui. Begitulah pengabdian. Untaian hikmah dari Kyia Yahya Masduki, begitu melekat pada dirinya.

Saya berdecak kagum. Ternyata puisi adalah juga firman Tuhan dalam bentuk lain. Begitu-pun kekaguman itu muncul, saat saya tahu, bahwa Devida adalah nafas pluralisme di kota wali ini, Cirebon. ia pendiri, sekali ketua umum Pemuda Lintas Iman Cirebon (Pelita) sampai saat ini. sebuah organisasi, yang menurut hemat saya, adalah kepanjangan tangan dari semangat pengabdian yang diajarkan di pesantren, 10 tahun yang lalu.

Begitulah Devida, ia adalah puisi berjalan.

 

Saat ini aku berhenti sejenak         
Rebahkan angan bercakap diri
Berkata ditemani angin
Riuh di telinga bekukan darah

Aku ingin buka segala hijab
Antara aku dan Tuhan semesta

(Sajak Devida, Tuhan Maha Cuek, 2012)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.