Islam Toleran Harus Terus Digaungkan

Islam Toleran Harus Terus Digaungkan

KH. Marzuki Wahid MA sedang menjelaskan isi buku Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon.

Oleh  : Fachrul Misbahudin
Editor : Winarno S.Ag

PELITA PERDAMAIAN, CIREBON – Perbedaan merupakan sunnatullah (keniscayaan), dan seharusnya perbedaan bukan sebagai masalah tapi sebagai peluang dan potensi untuk menjaga kedamaian. Untuk itu, Islam toleran harus terus digaungkan, sehingga tak terjadi perpecahan dan perselisihan antar warga di Indonesia.

Hal itu dikemukakan salah satu penulis buku Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon, KH. Marzuki Wahid, MA yang digelar Fahmina Institut belum lama ini.

Di dalam buku Fiqh Ikhtilaf tersebut, kata dia, ada beberapa poin yang disampaikan. Pertama, dalam buku ini ingin memberikan pemahaman terhadap perbedaan, dan ingin mengatakan bahwa umat Islam mestinya harus kembali pada ajaran Islam yang sangat toleransi.

“Karena kata Nabi (Muhammad SAW) buistu bilhanifiyati samhah (kita diutus untuk membawa agam yang lurus dan toleransi),” ucap Marzuki, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Lakpesdam PBNU.

Namun tantangannya adalah bagaimana masyarakat, tokoh agama, pemuda bisa mengelola perbedaan menjadi maslahat, dan menciptakan kemaslahatan. Perbedaan yang ditawarkan bukan dengan paksaan tapi dengan dialog dan cara-cara lain yang bijaksana dan penuh dengan kasih sayang.

“Ini yang ditawarkan oleh Fiqh Ikhtilaf, karena ada landasan sosiologis, filosofis dan teologisnya,” kata Marzuki.

Selain itu, buku Fiqh Ikhtilaf ini juga berangkat dari catatan-catatan kerja dan pengalaman teman-teman Fahmina, yang ingin mempromosikan dan memberikan penyadaran publik terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB).

Lebih lanjut lagi, sejak kelahirannya Fahmina melakukan pembelaan terhadap korban dan kelompok-kelompok dari pelanggaran KBB. Menurut dia, sudah hampir 18 tahun Fahmina berkiprah pada pembelaan isu-isu KBB.

Ia menambahkan, buku tersebut juga berangkat dari satu kenyataan historis Cirebon pada khitahnya adalah kota toleransi (madinah at-tasamuh). Ini dibuktikan oleh Sunan Gunung Jati baik dalam kiprah kebudayaanya maupun kiprah sosialnya.

“Sunan Gunung Jati tidak pernah menyekat terhadap antar suku dan etnik maupun agama,” tuturnya.

Tak hanya itu saja, Sunan Gunung Jati pun pernah menikahi perempuan dari negeri tirai bambu itu, yakni putri Ong Tien Nio. Bahkan, Sunan Gunung Jati pun pernah berinteraksi dengan semua kalangan baik dari orang Arab, India, China dan lainnya.

“Saya kira itu kemudian dijadikan kekuatan oleh Sunan Gunung Jati yang disimbolkan dalam simbol kebudayaan yaitu Kereta Paksi Naga Liman dan Singa Barong. Ini merupakan simbol pluralisme dan multikulturalisme,” terang Marzuki.

Dalam buku Fiqh Ikhlaf juga berkeinginan ingin mengembalikan Cirebon menjadi kota toleran dengan cara basis agama. Tetapi agama yang kultural bukan formal karena Sunan Gunung Jati menggunakan pendekatan agama kultural.

Oleh karena itu, kata Marzuki, yang terpenting adalah bagaimana agama ini bisa menjawab, mengakomodasi dan bahkan mendorong multikulturalisme dan pluralisme yang ada di Cirebon. “Ini terwujud melalui kehadiraan buku Fiqh Ikhtilaf yang kita tawarkan ini dalam. rangka menggaungkan Islam toleran seperti pendahulu lakukan,” pungkasnya.

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.