
Oleh: KH. Marzuki Wahid, MA. (Dewan Pembina Pelita Perdamaian)
Pelita Perdamaian.org – Di negeri ini, beberapa kalangan sering kali selalu ingin tampil menjadi pembela Islam. Mereka menjadi pihak pertama dan terdepan yang tersinggung, bahkan marah, apabila simbol-simbol Islam digunakan atau ditempatkan tidak sesuai dengan kebiasaan mereka. Tidak sedikit karena ini orang diperkarakan dan dihukum sebagai penista agama. Kasus terakhir, Sukmawati diadukan ke polisi karena dianggap menista Islam saat baca puisi.
Sebetulnya, ketersinggungan mereka bisa dipahami karena keyakinan simboliknya merasa dilecehkan. Selagi tidak membalas dengan kekerasan dan umpatan kebencian, kita bisa memaklumi. Namun, sulit dipahami bila ketersinggungan ini dipolitisasi sedemikian rupa untuk mendeligitimasi pemerintah. Lebih tidak bisa dipahami lagi, bila dalam waktu yang sama mereka tidak tersinggung dan tidak marah simbol Islam dan nama Islam digunakan untuk penipuan besar-besaran, korupsi berjamaah, dan kejahatan seksual.
Saya jadi penasaran, sebetulnya apa yang mereka perjuangkan. Benarkah mereka sedang memperjuangkan Islam atau sesungguhnya mereka memperjuangkan kepentingan sendiri yang dibalut atas nama Islam. Saya juga penasaran, benarkah sikap dan perbuatan keseharian mereka suci sebagaimana perasaan sucinya membela simbol Islam. Penting diteliti keseharian mereka dalam beribadah, bersikap, dan bertindak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat: apakah mereka benar-benar Islami?
Jika mereka sungguh-sungguh membela Islam karena keyakinannya, saya masih bisa paham. Meskipun, jika ini dasarnya, mereka seharusnya marah juga terhadap agen travel yang menipu atas nama haji dan umrah, korupsi yang menggunakan kode agama, kejahatan yang berjubah agama, dan nilai keadilan kemanusiaan yang dinistakan atas nama agama. Tapi jika Islam hanya digunakan sebagai alat kepentingan, termasuk kepentingan politik kekuasaan, ini yang sulit penulis terima.
*Dari akun Facebook Marzuki Wahid pada tanggal 05/04/2018
Comments Closed