Imlek: Sebuah Upaya Memahami Budaya dan Keimanan

Imlek: Sebuah Upaya Memahami Budaya dan Keimanan

Oleh: Pdt. Markus Hadinata*

“Siapakah yang merayakan Imlek?”, “Bagaimana Imlek dirayakan pada konteks masa kini?”, lalu “Apakah orang Kristen diperkenankan ikut merayakan Imlek?”

Ketiga pertanyaan ini melatarbelakangi penulisan lembar bina umat kali ini, sehubungan dengan momen perayaan Tahun Baru Imlek yang menjadi hari libur nasional esok Senin, 8 Februari 2016, supaya kita dapat menyikapinya dengan tepat berdasarkan refleksi iman kita selaku umat Kristen.

Berkaitan dengan pertanyaan pertama, agaknya Imlek sudah tidak lagi menjadi perayaan yang hanya menjadi ‘milik’ orang-orang Tionghoa. Mengapa demikian? Dulu ketika penulis kira-kira masih berusia enam sampai delapan tahun, menjelang Tahun Baru Imlek biasanya ada tetangga yang meminta dodol atau kue keranjang (salah satu makanan terbuat dari tepung ketan dan gula merah yang ramai dijual menjelang Tahun Baru Imlek). Penulis sendiri tidak menyadari kalau Tahun Baru Imlek sudah dekat, justru tetangga yang bukan orang Tionghoa lebih tahu daripada penulis yang adalah keturunan Tionghoa! Jadi, orang bukan Tionghoa pun ikut-ikutan merayakan Imlek, khususnya dalam hal makanan, tetapi tidak sampai masuk ke dalam kandungan nilai ‘spiritual’ yang ada di dalamnya, seperti sembahyang dan menyajikan makanan kepada arwah para leluhur sambil memohon kelancaran, kesehatan dan keberuntungan di tahun yang baru.

Imlek pada konteks masa kini pun rasanya tidak lagi menekankan aspek spiritual, etika dan sosial di dalamnya, melainkan lebih kepada orientasi bisnis dan kebiasaan. Coba saja kalau kita pergi ke mall-mall pastilah nuansa Imlek akan terasa kental, mulai dari warna merah bertebaran di mana-mana, lampion-lampion bertuliskan huruf mandarin, kue keranjang, amplop angpau, sampai pakaian yang serba ‘Cina’.

Semula, Imlek atau yang disebut Sin Cia belatarbelakang pada kehidupan pertanian di Cina. Karena itu Imlek dikenal juga dengan Nong Li (baca: nung li), yang artinya ‘penanggalan petani’. Sebab pada hari Imlek, para petani menyambut musim semi (Chun Lie) yang dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama (Cap Go Meh). Secara etimologis, kata Imlek berasal dari kata Im: bulan, dan kata Lek: kalender atau penanggalan. Kalender Cina menggunakan sistem lunar, yaitu berdasarkan sistem peredaran bulan (berbeda dengan kalender Masehi yang menggunakan sistem solar, yaitu berdasarkan sistem matahari). Karena berasal dari kehidupan pertanian, maka tidak mengherankan jikalau dalam perayaan Imlek senantiasa disajikan berbagai jenis makanan. Makanan yang disajikan minimal terdiri dari 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang-lambang shio dalam kalender Cina yang berjumlah 12 shio. Kedua belas hidangan itu disusun di meja sembahyang yang bagian depannya ditutup dengan kain khusus berwarna merah dengan gambar Naga. Pemilik rumah kemudian berdoa memanggil arwah para leluhur agar menyantap hidangan yang telah disajikan. Tujuannya seperti dikatakan tadi, yakni agar di tahun mendatang seluruh keluarga mendapat rejeki serta menjalin persaudaraan dengan kerabat dan tetangga (bai nian, baca: pai nien). Dalam acara bai nian tersebut dilakukan pemberian angpau (dilakukan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda atau belum menikah setelah mereka memberi pai-pai, yakni sikap sederhana, menunduk, introspeksi sesaat, serta menghormat). Inilah yang menggambarkan aspek spiritual, etika dan sosial pada perayaan Imlek mula-mula.

Selain berkaitan dengan latar belakang musim, perayaan Imlek dikaitkan pula dengan mitologi. Orang-orang Cina percaya bahwa menjelang Imlek, monster (Iblis) Nian akan datang mengganggu dan mengancam kehidupan mereka. Monster Nian adalah monster dengan wajah buruk yang akan datang dari gunung untuk memburu ternak, sawah, dan orang-orang sebagai mangsanya. Karena itu menjelak Imlek, orang-orang Cina menutup pintu rumahnya sebelum turun senja dan melakukan beberapa cara guna menyelamatkan dirinya.

Pertama, mereka meletakkan sejumlah makanan di depan pintu pada hari pertama tahun baru dengan keyakinan jikalau Nian makan sajian tersebut, maka ia tidak akan memangsa orang yang tinggal di dalam rumah itu. Kedua, memasang kain merah di depan pintu (Dui Lian) sebab Nian sangat takut dengan warna merah. Ketiga, orang-orang harus membunyikan berbagai alat dan petasan agar Nian segera pergi meninggalkan mereka. Mitologi monster (Iblis) Nian mau menyampaikan pesan bahwa Nian merepresentasikan semua yang buruk dan perubahan atau pergantian waktu yang dapat memangsa manusia. Hal-hal buruk itu dapat membinasakan manusia dari waktu ke waktu, sehingga manusia harus waspada dengan mengantisipasinya. Segi positif dari muatan filosofi perayaan Imlek adalah seseorang hanya akan dapat meraih masa depan yang lebih baik, jikalau ia tidak hanya bersikap pasif menanti rejeki, dan hanya berdoa saja. Masa depan yang cerah dan rejeki berlimpah harus diupayakan dan diperjuangkan dalam tindakan konkret dengan menyingkirkan dan melawan setiap manifestasi ‘monster (Iblis) Nian’.

Dari kedua latar belakang perayaan Imlek ini, kini kita bisa mengetahui bahwa Imlek bukanlah perayaan suatu agama tertentu, misalnya agama Khonghucu. Perayaan Imlek lahir dari budaya dan adat istiadat dari dunia pertanian yang mengandung suatu filosofi hidup yang sarat makna. Berpangkal dari pemahaman ini, maka perayaan Imlek terbuka untuk dirayakan dalam kehidupan berbagai agama, termasuk di dalam liturgi Kristen.

Di Indonesia, perayaan Imlek telah menjadi hari libur nasional sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 19 tahun 2002 oleh Megawati Soekarnoputri kala beliau menjabat sebagai presiden RI, yang dimulai oleh Abdurrahman Wahid ketika beliau menjadi presiden RI mengeluarkan Keppress No. 6/2000 yang mencabut Inpres No. 47/1967 mengenai pembatasan dan larangan segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya hari raya Imlek.

Antara tahun 1968-1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Padahal sebelumnya pada tahun 1946, satu tahun Republik Indonesia baru berdiri, Presiden Soekarno telah mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang hari-hari raya umat beragama No. 2/OEM-1946, yang mana dalam pasal 4 menetapkan empat hari raya orang Tionghoa, yaitu: Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu, Ceng Beng dan hari lahirnya Khonghucu. Penetapan empat hari raya Tionghoa tersebut mengindikasikan bahwa hari raya Imlek merupakan salah satu perayaan agama Khonghucu (meski dari latar belakang sejarah, kita tahu bahwa Imlek bukanlah perayaan suatu agama tertentu, melainkan lebih kepada budaya dan adat istiadat yang lahir dari dunia pertanian di Cina).

Sekalipun Imlek terbuka untuk dirayakan dalam hidup orang-orang Kristen, namun kita juga mesti bersikap kritis terhadapnya, terutama menyangkut unsur-unsur pengajaran yang bersifat ‘politeistis’ agar tidak mencemari iman kepada Allah di dalam Kristus. Selaku umat percaya, kita menolak untuk bersujud di depan altar meja sembahyang, memberi makan dan mendoakan para arwah leluhur, sembahyang Sam Seng (sembahyang pengorbanan tiga hewan seperti babi, ayam, dan ikan bandeng), dan sembahyang Ngo Seng (sembahyang tiga hewan tadi ditambang dengan bebek dan kepiting). Kita juga menolak sikap takhayul, misalnya mitos tidak diperbolehkan menyapu rumah selama tiga hari pada perayaan Imlek, mitos menyalakan petasan untuk mengusir monster (Iblis) Nian. Dengan demikian, orang Tionghoa-Kristen dapat menerima perayaan Imlek sebagai peristiwa perubahan musim, atau tahun baru dalam perspektif iman Kristen, tetapi menolak kepercayaan yang terkandung dalam ritual perayaan Imlek.

Menurut Pdt. Yohanes Bambang Mulyono, secara teologis perayaan Imlek perlu ditafsir dan dimaknai ulang. Tanpa refleksi teologis yang Alkitabiah, maka keterlibatan kita dalam perayaan Imlek hanya merupakan suatu sikap yang dangkal dan ikut-ikutan belaka. Janganlah hanya karena kita keturunan Tionghoa lalu kita latah ikut-ikutan merayakan Imlek sesuai kalender. Sebagai umat Kristen, kita dapat merayakan Imlek dari perspekstif karya penebusan Kristus sebagai Anak Domba Allah. Bukan untuk mencegah monster (Iblis) Nian, tetapi merayakan karya penebusan Kristus di mana Allah melalui kurban Kristus berkenan ‘melewati’ kita dari hukuman dan murka-Nya, yang kita rayakan dalam Paskah dan ibadah Mingguan kita.

Sebagai umat yang telah mengalami karya penebusan Kristus, kita mau hidup dalam kasih Allah yang diejawantahkan dalam hidup bersama. Kalau dalam Imlek ada acara bai nian yang dilakukan dengan memberi angpau dari orang yang lebih tua kepada yang lebih muda atau belum menikah setelah mereka memberi pai-pai, maka kita sebagai umat Kristen memberi hormat kepada orang tua bukan hanya pada hari raya tertentu, namun setiap hari dapat menjadi kesempatan bagi kita selaku anak untuk menunjukkan sikap hormat kepada orang tua (hal ini selaras dengan hukum Allah di dalam kitab Keluaran 20:12, yaitu ‘hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu …’). Tradisi bai nian tidak boleh dimanipulasi maknanya sehingga anak-anak yang telah beranjak dewasa justru bergantung secara ekonomis kepada orang tua mereka. Tradisi bai nian dapat juga dimaknai sebagai media umat untuk menyatakan kasih Allah serta mengembangkan persaudaraan kepada anggota keluarga dan sesama, di mana nilai-nilai kepedulian, cinta kasih, dan kesediaan berkurban bagi sesama dihidupi secara nyata dalam laku hidup sehari-hari.

Acuan Pustaka:

Yohanes Bambang Mulyono, Kekristenan & Ketionghoaan: Telaah atas Imlek dan Filsafat Ketionghoaan, Jakarta: Grafika Kreasindo, 2015


*Penulis dari GKI Indramayu

Gambar: Dokumentasi PELITA


Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.