
Di tengah ancaman konflik dan terorisme yang melanda negeri dan dunia, kita bisa belajar banyak dari pemikiran serta gerakan perdamaian yang dibawa oleh Daisaku Ikeda, Presiden Soka Gakkai Internasional (SGI). Artikel ini ditulis dalam rangka merefleksikan peran penting gerakan beliau, sebagaimana Proposal Perdamaian yang ditulis setiap tanggal 26 Januari untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Seperti diketahui, Ikeda adalah presiden organisasi Buddhis terbesar di dunia, yang memiliki 90 organisasi konstituen dan anggota di 192 negara termasuk Indonesia. Ini merupakan organisasi umat awam Buddhis yang bergerak di bidang perdamaian, kebudayaan dan pendidikan.
Letak penting Soka Gakkai dan Ikeda ialah keberhasilannya dalam menempatkan Buddhisme sebagai pendorong perdamaian. Ini dilakukan salah satunya melalui penulisan Proposal Perdamaian yang diajukan Ikeda kepada PBB sejak tahun 1981 hingga sekarang. Hasilnya, pada 1 Januari 2005, PBB menginisiasi program Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan, dan Pendidikam Hak Asasi Manusia, yang keduanya merupakan proposal Ikeda. Atas jasa ini, sejak tahun 1983, Ikeda dianugerahi “Penghargaan Perdamaian”, “Penghargaan Kemanusiaan” dan “Duta Perdamaian” oleh PBB.
Reformasi Internal
Dalam Daisaku Ikeda’s Philosophy of Peace (2010), Olivier Urbain memetakan tiga gagasan utama Ikeda untuk perdamaian; (1) transformasi manusia, (2) dialog peradaban, dan (3) kewargaan global (global citizenship).
Pertama, transformasi manusia ialah gagasan sentral Ikeda tentang perdamaian. Sebab menurutnya, perdamaian tak hanya ditandai oleh ketiadaan perang, melainkan terciptanya kondisi jiwa-damai yang berdampak positif bagi peningkatan martabat manusia sebagai makhluk beradab. Hal ini urgen sebagaimana penegasan Konstitusi UNESCO tentang “pertahanan perdamaian” dalam hati manusia.
Yang dimaksud transformasi manusia ialah reformasi internal kepribadian manusia. Ini merupakan ajaran inti Buddhisme Nichiren -Buddhisme Jepang yang mendasari SGI- tentang “10 Dunia” di dalam hati manusia. Maka para pelaku konflik dan teror adalah manusia yang berada di “Empat Jalur Kejahatan” yang memuat dunia terendah; neraka, kelaparan, kebinatangan dan kemarahan. Reformasi internal berarti proses transformasi dari dunia rendah itu, menaik ke dunia kemanusiaan, Boddhisatwa dan akhirnya Kebuddhaan.
Hal ini membutuhkan proses spiritual sebab dunia kejahatan disebabkan oleh kebodohan ruhani (moha), sehingga hati tak mampu melihat kebenaran (avidya). Ini juga merupakan proses pengosongan diri (Sunnata), dan upaya melepaskan diri dari kemelekatan atas hal-hal di luar pencerahan. Hasilnya adalah peran welas asih yang disumbangkan oleh Boddhisatwa (Buddhis pengabdi umat), dan akhirnya “kondisi kebuddhaan” yang pernah dialami oleh Shidarta Gautama.
Dalam konteks ini, Ikeda menempatkan reformasi internal manusia sebagai alternatif bagi kegagalan ideologi-ideologi dunia yang memaksakan “reformasi eksternal” (sosial-politik) atas manusia. Hasilnya, bukannya ideologi seperti komunisme mampu menaikkan derajat manusia; ia malah memberangus kemanusiaan atas nama klaim ideologisnya. Dengan demikian, Ikeda telah meletakkan dasar bagi peran agama yang pas, dalam perbaikan masyarakat. Ia telah benar ketika menempatkan spiritualitas sebagai perbaikan mental manusia demi perbaikan dunia. Hal ini berangkat dari kosmologi Buddhisme yang tak memisahkan diri-manusia dengan lingkungan. Reformasi manusia secara otomatis akan melahirkan reformasi masyarakat.
Kedua, dialog peradaban. Ini dilakukan Ikeda dengan tokoh-tokoh dunia lintas agama dan bangsa. Di negeri ini, tokoh yang pernah diajak dialog ialah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dibukukan menjadi Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian (2010). Gus Dur sendiri sejak awal mengagumi Ikeda setelah membaca buku dialognya dengan Arnold Toynbee, Choose Life (1976). Dalam hal ini Ikeda percaya dengan kekuatan akal budi -melaui dialog- dalam menepis perbedaan dan merekat persatuan. Prinsip utamanya ialah kemanusiaan, sebagaimana alasannya berdialog dengan Mikhail Gorbachev, karena tokoh komunis ini adalah manusia.
Ketiga, ajakan menjadi warga global (global citizens) untuk memantabkan kepedulian terhadap perdamaian dunia. Sebab persoalan manusia telah sampai pada level global, dan ini tak bisa didekati melalui pandangan kelompok, juga kebangsaan. Tentu yang dimaksud global di sini adalah ranah kemanusiaan yang universal, yang melampui kesempitan sektarian dan nasionalisme chauvinistik.
Perlu Belajar
Umat beragama di negeri ini perlu belajar dari Ikeda dalam menempatkan agama sebagai katalisator perdamaian. Ini penting sebab jika tidak, pemahaman keagamaan justru akan menimbulkan konflik. Ini yang telah terjadi baik di tanah air maupun dunia internasional, terutama dengan hadirnya terorisme atas nama agama.
Sayangnya terutama di agama Samawi, hal ini mendapatkan tantangan besar. Sebab baik Ikeda maupun Buddhisme memang memiliki potensi bagi perdamaian, karena ia murni ajaran spiritual. Apalagi arah Buddhisme yang bersifat (perbaikan) psikologis, sehingga strategis bagi pembentukan karakter manusia.
Dalam Islam misalnya, ceritanya lain. Sebab agama ini memiliki tiga lapisan ajaran; hukum (syari’ah), teologi (aqidah), dan baru spiritualitas (tasawuf). Sayangnya sebagian besar umat terhenti pada hukum dan teologi sehingga menutupi substansi spiritualnya. Disebabkan syariah dan akidah inilah, umat cenderung intoleran karena menonjolkan perbedaan dan tak mampu mencapai kesatuan spiritual yang hakikatnya satu. Hal ini patut diprihatinkan mengingat sisi sufistik mengarah pada tujuan yang sama dengan Buddhisme, yakni pengosongan diri demi perbaikan mental.
Memang kaum moderat juga telah mengarahkan agama demi perdamaian negeri. Hanya saja, gerakan ini belum menemu format pas sebagaimana Ikeda lakukan. Kaum moderat masih sibuk dengan konter-narasi bersifat rasional untuk mendeligitimasi pemahaman radikal atas agama. Perang pemikiran (ghazw al-fikr) ini penting, tapi hanya akan memperkeras benturan antarumat.
Gerakan Ikeda dan Buddhisme SGI perlu dicontoh, melalui perumusan spiritualitas sebagai penegak perdamaian, baik dalam konteks deradikalisasi maupun kontra-terorisme. Jika tidak, maka terorisme akan terus mewabah, dan gerakan agama di negeri ini akan tetap tak menemukan format pas bagi perbaikan bangsa. Hal ini terjadi karena pemahaman agama yang tak menyentuh substansi, karena terhenti pada lapis legalisme hukum dan teologi doktrinal.
*penulis adalah Intelektual Muda NU, tinggal di Jakarta
*Tulisan ini pernah dimuat suara Pembaruan, 2/02/16, publikasi di laman ini ditujukan sebagai edukasi
Comments Closed