Harmoni Perbedaan: Pertemuan Bulanan di Klenteng Talang Cirebon

Harmoni Perbedaan: Pertemuan Bulanan di Klenteng Talang Cirebon

Untuk mengetahui bagaimana kehakikian sebuah agama perlu ada upaya pendekatan; refleksi mendalam, dalam kaitannya mencapai titik keharmonian dalam perbedaan,

***

PELITA berkesempatan melakukan kunjungan dan silaturahmi dengan warga Khonghucu yang berada di jalan Talang No.2 kota Cirebon, pada minggu 28 februari 2016, pukul 18.30-21.00 WIB, bertempat di Klenteng Talang.

Secara lebih khusus, kunjungan pada Pertemuan Bulanan yang ke-37 ini hadir di antaranya Komunitas Ahmadiah (JAI), Komunitas Katolik, Komunitas Mahasiswa, AMSA, Komunitas Mahasiswa, Komunitas Pemuda Konghucu, Perwakilan Kristen Ortodok, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), Komunitas Syi’ah, Komunitas Budha, Perwakilan Yahudi, Perwakilan Pesantren Babakan Ciwaringin Pondok Jambu, Kristen Protestan, dan tamu undangan lainnya.

Pada saat sesi refleksi bersama Tedi Setiawan, selaku ketua Lintang Makin bercerita tentang sejarah awal mulanya agama Khonghucu. Ia menuturkan, “jika ingin mengenal lebih dekat agama Konghucu yang jelas kami berketuhanan yang maha esa, itu bisa dilihat dari hurufnya.”

Jadi, lanjutnya, keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, sejak zamannya Khonghucu lahir itu sudah ada. Lalu kemudian perjalanan agama Khonghucu sudah dimulai 3000 tahun lampau dan orang yang pertama mengajarkan adalah Konficius.

Agama konghucu memiliki perhitungan tersendiri mengenai Imlek, perhitungan Im dan lek berdasarkan bulan dan matahari. Waktu perputaranya terpaut 12 hari. Makanya jika tahun muharam pasti mundur 11 hari dari tahun sebelumnya. Karena yang dipegang berdasarkan bulan mengelilingi bumi dan setiap tahunnya tidak akan selalu sama.

Pada sesi tanya jawab mubaligh Bashit dari JAI majalengka bertanya mengenai “gong xi fat cai” yang merupakan istilah yang sering digunakan sebagai tanda ucapan selamat ketika hari imlek. Kemudian disambung oleh Romo Surya Pranata mengenai makna tulisan yang terpampang di pintu lithang Makin.

Tedi bersegara menjawabnya, bahwa pernyataan gong xi fat cai itu sebenarnya tidak tepat untuk kami sebagai warga Khonghucu yang berada di Indonesia, karena ucapan gong ci fat cai itu lebih tepat untuk warga konghucu yang berada di Thionghoa, kemudian mengenai makna yang terpampang di pintu masuk lithang makin itu disebut pintu memasuki kebajikan, kesusilaan, dan cinta kasih.

Di akhir, ada cerita menarik perihal proses untuk mencapai pada titik keharmonisasian dalam perbedaan kita tidak boleh hanya melihat pada kulitnya saja, tapi lihatlah pada kehakikian agama itu sendiri. Acara ditutup dengan do’a bersama yang dipimpin oleh romo junawi dari pemuka Agama Budha.

*Reportase oleh: Aini Azkiyatu Ulfah/Pengurus Dept. Bulanan

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.